KEPALA BAPENDA KOTA BOGOR DENI HENDANA

'Data Pajak dari Pusat Berguna untuk Intensifikasi Lewat Pemeriksaan'

Muhamad Wildan | Minggu, 26 Februari 2023 | 13:05 WIB
'Data Pajak dari Pusat Berguna untuk Intensifikasi Lewat Pemeriksaan'

Kepala Bapenda Kota Bogor Deni Hendana.

PEREKONOMIAN di daerah terus menunjukkan pemulihan sejalan dengan makin dekatnya status endemi Covid-19. Di Kota Bogor, Jawa Barat, realisasi pajak daerah pada 2022 telah sanggup menembus capaian normal sebelum pandemi melanda.

Tak cuma mengebut pemulihan ekonomi, Pemerintah Kota Bogor juga menyiapkan strategi optimalisasi penerimaan pajak daerah. Salah satunya, mendesain insentif pajak daerah yang berkeadilan demi mendongkrak kepatuhan. 

Pemkot Bogor juga dikejar waktu untuk bergegas menyesuaikan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Naskah akademiknya sudah rampung pada akhir 2022 lalu dan perdanya ditargetkan terbit pada tahun ini.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor Deni Hendana mengenai persiapan pelaksanaan Perda PDRD yang baru, termasuk gambaran dampaknya terhadap penerimaan. Berikut petikannya:

Apakah kinerja peneriman pajak di Kota Bogor sudah kembali ke level sebelum pandemi Covid-19?

Jika dibandingkan dengan sebelum Covid-19, total pendapatan pajak daerah 2022 sudah mengalami kenaikan meski baru 1 digit, yakni 8,04%. Jadi sudah kelihatan kondisi ekonomi Kota Bogor pada 2022 sudah mulai beranjak normal kalau dibandingkan dengan 2019.

Nah, kalau dibandingkan dengan 2021, penerimaan pajak daerah naik 19,24%. Terlihat geliat ekonomi lokal itu sudah terlihat kemajuannya. Kalau laporan pertumbuhan ekonomi, jika nasional di 5,3% dan Jawa barat 5,4%, Kota Bogor ada di atasnya. Geliat ekonomi kota Bogor sudah kelihatan, indikator kecilnya adalah kemacetan sudah kelihatan lagi, sudah normal atau bahkan lebih dari normal.

Apakah pajak yang berbasis konsumsi sudah kembali ke level prapandemi? Utamanya hotel dan restoran.

Kalau untuk hotel dan restoran, jika dibandingkan 2019 sudah meningkat. Kalau pertumbuhan total mencapai 8,04%, restoran itu tumbuh signifikan, di atas rata-rata. Kalau 2019 realisasi pajak restoran ada di Rp153 miliar, pada 2022 ada di Rp171 miliar. Naik hampir Rp20 miliar.

Pajak hotel sesungguhnya juga naik tapi tidak terlalu signifikan dibandingkan 2019. Pajak hotel ada di Rp95 miliar pada 2019 menjadi Rp97 miliar pada 2022. Ada kenaikan tapi tidak signifikan karena kapasitas hotel di Bogor kan terbatas ya, kenaikannya benar-benar hanya di weekday, kalau weekend sudah full. Kalau weekday nambah pajaknya bisa nambah.

Jumlah hotel di Kota Bogor ini tidak bertambah karena ada moratorium pembangunan hotel. Itu sejak tahun berapa gitu. Jadi hotel di Kota Bogor tidak bertambah, di seputaran Kota Bogor yang masuk di kabupaten itu jadi banyak hotel-hotel. Itu meng-capture orang-orang yang sudah penuh di kota.

Bagaimana dengan PBB? Apakah ability to pay masyarakat sudah kembali dan kepatuhan dalam membayar PBB meningkat?

Sejak pandemi sampai sekarang, 2 jenis pajak yang berkaitan yakni PBB dan BPHTB itu terdampak minim oleh pandemi karena pendapatannya naik terus. Kalau hotel restoran 2020 turun, kalau PBB dan BPHTB continuous naik. Walau tumbuh lambat, tapi naik.

PBB pada 2019 itu [penerimaannya] Rp144 miliar, pada 2022 kita bisa mengumpulkan Rp164 miliar. Jadi naik Rp20 miliar tanpa ada perubahan NJOP. Kondisi Covid kami tidak naikkan NJOP, baru tahun ini kita naik. Kita memaklumi kondisi masyarakat, tidak terlalu populis kalau kita keluarkan kebijakan itu. Kemendagri juga menyarankan kita untuk memberikan relaksasi dan stimulus ke wajib pajak.

Begitu juga BPHTB, dari Rp178 miliar pada 2019 pada 2022 ini Rp208 miliar. Kondisi Covid-19 pun tetap naik. Dua jenis pajak ini yang menjadi tulang punggung pendapatan di Bapenda karena kedua pajak ini tidak terlalu dipengaruhi Covid-19.

Apakah kepatuhan wajib pajak di Kota Bogor sudah cukup tinggi? Seperti apa gambarannya?

Kalau kepatuhan itu kita melihat dari pelaporan dan pembayaran. Kedua, kita juga melihat jenis pajaknya. Kalau yang pelaporan itu yang jenis pajak self assessment yakni hotel, restoran, parkir, dan hiburan. Kalau dari sisi lapor, pajak self assessment ini relatif bagus. Kalau 100% terlalu tinggi, realisasinya mungkin 99%. Ada beberapa yang telat melaporkan memang.

Mengenai pembayaran, ini perlu diuji apakah pelaporannya sesuai. Oleh karena itu kami lakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dari sisi pembayaran. Kalau dari sisi pelaporannya sudah sangat baik, belum tentu sisi pembayarannya juga baik.

Sejak 2020 kami sudah ada kerja sama pengawasan dan pemeriksaan bersama dengan Kemenkeu. Jadi kita sudah ada support data, imbal balik data antara wajib pajak yang sama.

Mengenai PBB, Bogor tergolong rutin memberikan insentif PBB sejak awal tahun. Desainnya, makin awal wajib pajak membayar maka makin tinggi diskonnya. Mengapa didesain demikian? Apakah untuk mengamankan kas daerah sejak awal tahun?

Tujuannya ada 2 sisi, sebagaimana saya laporkan ke Pak Wali Kota [Bima Arya] kenapa kita perlu memberi insentif ini kepada masyarakat. Pertama, wajib pajak ketika masa pandemi dan pemulihan ekonomi masih memerlukan stimulus pengurangan itu. Kemampuan ekonomi masyarakat sedang bertumbuh lagi, belum pulih banget untuk beberapa kalangan.

Kedua, dari sisi cashflow juga. Pada awal tahun itu kas daerah pasti belum terisi kecuali kalau ada SiLPA. Terkadang SiLPA bisa jadi kritik tapi kadang juga diperlukan. Ketika DAU turun, dana transfer provinsi juga belum, stimulus ini memberikan ruang mengisi kas daerah yang masih kosong itu. Dalam waktu 3 bulan insentif itu kita mendapatkan setengah dari target setahun. Pada Agustus itu nanti realisasi PBB sudah mencapai 90% karena kan bulan jatuh tempo. Sisanya tinggal di 3 bulan terakhir.

Pemkot Bogor tercatat sudah melaksanakan kerja sama pertukaran data dengan DJP dan DJPK sejak piloting, bagaimana implementasinya?

Jadi kita di pengawasan, pemeriksaan, dan bahkan pengembangan IT juga kami jalankan. Itu sudah level implementasi kita itu, bukan hanya perjanjian kerja sama.

Apakah tidak ada kendala mengenai pertukaran datanya?

Tentunya itu sama di setiap pemda karena data yang diminta pusat itu banyak, sementara yang kita minta meski sedikit, prosesnya panjang. Pada saat ada rancangan UU HKPD, Pak Wali selaku ketua Apeksi sudah mengusulkan baik secara tertulis dan lisan kepada perumus undang-undang untuk diatur pasal tentang sinergi otoritas pajak daerah dan pusat, jadi tidak terbelenggu oleh kerahasiaan pajak.

Ada daerah tertentu yang mungkin enggan kasih data ke pemerintah pusat karena pemerintah pusat juga sulit memberikan data. Ini realitas kita, bukan rahasia umum lagi bahwa beberapa daerah enggan memberi data ke pusat. Akhirnya dilakukanlah perjanjian kerja sama ini.

Kalau kami di Kota Bogor melihat dari sisi kemanfaatan. Walau Kota Bogor tidak mendapat data sebanyak data yang kami kasih ke pusat, setidaknya kami bisa memanfaatkan data itu. Setidaknya berguna untuk intensifikasi lewat pemeriksaan dan pengawasan. Sepanjang itu berjalan pada level implementasi, saya pikir ini sangat bermanfaat.

UU HKPD mengamanatkan kepada pemda untuk menyesuaikan perda pajak daerah dengan undang-undang paling lambat 5 Januari 2024. Bagaimana progresnya sejauh ini?

Untuk raperda, naskah akademiknya sudah selesai Desember 2022 dan draf raperda sudah siap akhir tahun lalu. Saat rapat dengan Bapemperda DPRD, kami sudah memiliki pemahaman yang sama untuk menyelesaikan perda pada tahun ini. Kalau tidak, kita akan bermasalah dalam pemungutan pajak dan retribusi tahun depan. UU HKPD mengamanatkan perda jadi pada tahun ini.

Perda juga harus diharmonisasi ke Kanwil Kemenkumham dan Biro Hukum Pemprov Jabar, ini semua on progress. Ada dari catatan Kemenkumham yang harus kita perbaiki, kita dengan Bapemperda juga terus melakukan rapat kerja terkait raperda PDRD.

Tinggal nanti oleh Bapemperda dimasukkan ke rapat paripurna dan membentuk pansus. Nantinya dibahas dengan pansus.

UU HKPD memberikan fleksibilitas ke pemda, Kota Bogor mau keluarkan kebijakan apa dengan fleksibilitas ini?

Terkait dengan aturan di UU HKPD tentang PBB, disitu ada ruang tarif maksimal 0,5% dan kena pajaknya antara 20% hingga 100%. Kota Bogor, berdasarkan Perda 5/2018, saat ini kami sudah menerapkan tarif berjenjang progresif, ada 8 lapisan.

Mengapa demikian? Supaya kalau ada kenaikan NJOP enggak langsung loncat. Kalau ada kenaikan NJOP, PBB-nya naik bertahap. Di Kota Bogor, rencananya kami tidak mengubah ketentuan yang ada. Tetap dengan 8 tarif tadi. Jadi kalau pemerintah memberikan keleluasaan sampai 0,5%, kami tetap di 0,25% maksimal.

Menurut kami, yang lebih penting adalah pemutakhiran NJOP. Keadilannya ada di pemberian NJOP yang sangat objektif di lapangan. Kalau naik ya harus naik, kalau turun ya harus turun. Di Kota Bogor ini NJOP masih relatif rendah dibandingkan dengan harga pasar. Keadilannya adalah di penyesuaian NJOP. Ini yang menjadi bahan diskusi kami dengan akademisi.

Untuk tarif, disesuaikan dengan perda lama. Nantinya kita lebih banyak masuk di penyesuaian NJOP. Tantangan yang lebih tinggi ada di situ. NJOP per bidangnya sudah betul atau tidak. Kita perbaiki dulu itu.

Saya lebih memilih untuk memperbaiki NJOP. Mengapa? Karena ada multiplier di BPHTB. Kalau tarif yang dimainkan, BPHTB tidak akan terpengaruh sepanjang NJOP-nya tidak dibetulin. Saya lebih memilih memperbaiki NJOP agar ada multiplier di BPHTB.

Adakah masukan dari Pemkot Bogor mengenai aspek teknis pajak pada UU HKPD?

Mengingat undang-undangnya sudah ada maka kita jalankan saja. Di daerah tentu harus mendukung keputusan itu, bukan tetap mempermasalahkan usulan yang tidak diakomodasi. Menurut saya itu tidak produktif, sudah dijalankan saja.

Untuk saat ini, usulan kami adalah segera terbitkan aturan teknisnya yang sekarang ditunggu oleh daerah. Membentuk perda ini dipertanyakan juga teknisnya, jangan sampai ini jadi pembahasan yang berkepanjangan di DPRD karena teknisnya belum keluar. Tolong PP-nya segera dikeluarkan untuk kelancaran daerah membentuk perdanya. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:13 WIB KANWIL DJP JAKARTA KHUSUS

Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 14:00 WIB PROVINSI DAERAH KHUSUS JAKARTA

Opsen Pajak Kendaraan Tidak Berlaku di Jakarta, Ternyata Ini Sebabnya

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP