Ilustrasi. (Foto: DDTCNews)
WASHINGTON D.C., DDTCNews - Data country-by-country reporting (CbCR) Amerika Serikat (AS) per 2017 menunjukkan masih maraknya praktik penggerusan basis dan penggeseran laba atau base erosion and profit shifting (BEPS) oleh korporasi di negara adidaya tersebut.
Calon profesor hukum dan kebijakan pajak dari University of California Kimberly Clausing berpendapat laba dan akumulasi penghasilan korporasi multinasional secara disproporsional telah dicatatkan oleh korporasi multinasional AS di yurisdiksi suaka pajak.
"Yurisdiksi suaka pajak memainkan peran yang dominan dalam praktik penggeseran laba. Terdapat ketidaksesuaian antara laba dan aktivitas ekonomi yang dicatatkan korporasi multinasional AS di negara suaka pajak," tulis Clausing, seperti dikutip Selasa (10/11/2020).
Pada 2017, data CbCR menunjukkan sebesar US$513 miliar atau Rp7.220 triliun dari laba luar negeri korporasi multinasional AS dilaporkan di 20 yurisdiksi baik suaka pajak maupun bukan suaka pajak.
Dari total laba luar negeri yang dilaporkan di luar AS tersebut, tercatat sebesar US$355 miliar dilaporkan oleh korporasi multinasional AS di 11 yurisdiksi suaka pajak.
Yurisdiksi suaka pajak yang dimaksud yakni Cayman Islands, Singapura, Swiss, Belanda, Puerto Rico, Bermuda, Irlandia, Luxembourg, Hong Kong, Jersey, dan Isle of Man.
Laba luar negeri korporasi AS yang dilaporkan di 9 yurisdiksi nonsuaka pajak tercatat hanya sebesar US$158 miliar. Sembilan yurisdiksi yang dimaksud yakni Kanada, China, Jepang, Inggris, Meksiko, Australia, India, Italia, dan Jerman.
Rata tarif pajak efektif di 11 yurisdiksi suaka pajak tersebut tercatat hanya sebesar 3,9%, jauh lebih rendah bila dibandingkan tarif pajak efektif di 9 negara nonsuaka pajak yang mencapai 26,9%.
Clausing mencatat negara suaka pajak memiliki populasi dan produk domestik bruto (PDB) yang kecil. Secara kumulatif, populasi 11 yurisdiksi suaka pajak hanya 1,5% dari populasi 9 negara nonsuaka pajak. PDB 11 negara suaka pajak juga hanya 8,4% dari PDB negara-negara nonsuaka pajak.
"Meski demikian, total laba yang dilaporkan oleh korporasi multinasional AS di negara suaka pajak 2 kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan laba yang dilaporkan di negara-negara bukan suaka pajak," tulis Clausing seperti dilansir Tax Notes International.
Indikasi praktik BEPS oleh korporasi multinasional AS melalui negara suaka pajak juga semakin tampak bila dilihat dari ketimpangan antara rasio laba per karyawan dan aktivitas ekonomi riil di negara suaka pajak.
Laba per karyawan di 11 yurisdiksi suaka pajak tercatat mencapai US$488.000 per karyawan, sedangkan di 9 yurisdiksi nonsuaka pajak tercatat hanya sebesar US$22.900 per karyawan.
Padahal aktivitas ekonomi riil di negara suaka pajak tergolong minim dan jumlah karyawan korporasi multinasional AS yang dipekerjakan di yurisdiksi suaka pajak hanya sebanyak 5,6% dari total karyawan yang dipekerjakan.
Dari data CbCR AS per 2017 tampak semakin rendah tarif pajak efektif suatu yurisdiksi, maka semakin tinggi rasio laba per karyawan yang tercatat pada yurisdiksi tersebut. Sebagai contoh, laba per karyawan yang dicatatkan korporasi multinasioal AS di Cayman Island mencapai USD37,35 juta.
Tarif pajak efektif di negara tersebut hanya sebesar 0,1%. Di India yang memiliki tarif pajak efektif sebesar 33,9%, total laba per karyawan korporasi multinasional AS di negara tersebut hanya sebesar US$8.328.
Clausing memperkirakan revenue forgone atau pajak yang tidak dapat dipungut akibat praktik BEPS yang tampak pada CbCR 2017 bisa mencapai lebih dari US$100 miliar dalam setahun. Dengan demikian, perbaikan ketentuan pajak atas penghasilan lintas batas negara sangat dibutuhkan.
"Perdagangan dan investasi lintas batas negara memang memiliki potensi yang besar guna meningkatkan kesejahteraan. Meski demikian, perlu dipastikan sistem pajak sudah siap merespons derasnya aliran modal antaryurisdiksi yang terjadi saat ini," tulis Clausings.(Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.