Immanuela Yolanda Nainggolan
, Politeknik Keuangan Negara STAN, BintaroABSURD. Mungkin inilah gambaran dari pajak ketika dahulu masyarakat memandangnya. Namun, kini hampir seluruh kegiatan atau transaksi keuangan harus bersinggungan dengan pajak. Hal ini menjadikan pajak menjadi primadona yang diagungkan dalam postur anggaran dan belanja negara.
Realisasi APBN terbesar disokong oleh pajak, dengan persentase rata-rata setiap tahunnya sebesar 70%-80%. Persentase yang besar inilah yang membuat pajak menjadi pusat perhatian dan perdebatan, terutama mengenai ketentuan dan tata caranya. Pajak akan terus dijadikan bahan koreksi untuk menghasilkan solusi.
Pada dasarnya, memang tidak mudah untuk mengelola puluhan juta wajib pajak orang pribadi, jutaan wajib pajak badan, Bentuk Usaha Tetap serta warisan yang belum terbagi sebagai objek pajak penghasilan. Tidak mudah juga mengelola pajak daerah dan retribusi daerah, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, dan berbagai pungutan lainnya.
Proporsi jumlah fiskus dengan jumlah wajib pajak hanyalah gambaran kecil bahwa pajak memang sulit untuk dikelola dengan baik. Belum lagi peraturan perundang-undangannya yang terbilang cukup rumit, sehingga memungkinkan kekeliruan kecil untuk timbul. Belum lagi, persoalan wajib pajak yang berusaha menghindari kewajinan pajaknya atas nama dan dalm bentuk apapun juga. Lalu, apa solusi yang bisa kita hadirkan demi pajak yang lebih baik?
Negara ini perlu memberikan kebijakan yang lebih real dan solutif, lebih kepada perbaikan sistem pajak. Terutama sistem pajak penghasilan (PPh). Pada PPh, ada yang dinamakan deductible expense atau biaya yang dibebankan sebagai pengurang pajak. Ada juga non-deductible expense atau biaya yang tidak dapat dikurangkan. Namun, beberapa jenis biaya yang tergolong ke dalam non-deductible expense seperti biaya promosi atau biaya entertainment dapat dijadikan pengurang dengan syarat mewajibkan adanya daftar nominatif.
Daftar nominatif adalah daftar yang memuat rincian transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak. Rincian transaksi tersebut berisikan nomor urut, tanggal dan jenis, nama tempat, alamat, jumlah, nama relasi, posisi, nama perusahaan, dan jenis usaha. Daftar nominatif akan membuat fiskus dapat lebih jeli dan mempersingkat waktu untuk menelusuri transaksi wajib pajak dengan tepat. Melalui daftar nominatif, setiap kegiatan transaksi akan dicocokkan dengan rekan transaksinya sehingga meminimalisasi adanya manipulasi data transaksi.
Lantas bagaimana jika ada manipulasi data transaksi? Bagaimana bila wajib pajak memang melakukan perubahan data penjualan dan pembelian, dan terlebih lagi, pajak yang seharusnya bisa didapat melalui wajib pajak tersebut sangat besar nilainya? Bagaimana bila tidak hanya satu wajib pajak orang pribadi/badan yang melakukan hal tersebut?
Oleh karena itu, sangat perlu merekonstruksi ulang kebijakan sistem perpajakan terutama PPh sebagai donatur utama penerimaan pajak. Perlu adanya sebuah solusi pencatatan tiap transaksi dengan menggunakan model yang mirip seperti daftar nominatif yang harus disertakan oleh wajib pajak, di samping lampiran laporan keuangan.
Sudah saatnya model baru tersebut diterjunkan sebagai kewajiban wajib pajak terkait menyampaikan laporan keuangannya, bukan hanya daftar nominatif sebagai syarat biaya yang dapat dikurangkan. Persoalan mekanisme yang semakin mempersulit wajib pajak, terutama untuk wajib pajak yang memiliki transaksi atau aktivitas ekonomi yang begitu besar dan kompleks untuk dijabarkan satu per satu serta penyampaiannya, bukanlah hal yang harus diperdebatkan lagi.
Karena, saat ini telah ada e-SPT yang mampu memudahkan wajib pajak untuk melaporkan kewajiban perpajakannya dan menjawab persoalan kepatuhan. Bukan tidak mungkin, sebuah terobosan baru, dapat diluncurkan dan disosialisasikan kepada para wajib pajak. Dengan adanya model baru tersebut, maka tentu saja akan membuat pencapaian target penerimaan pajak bukan lagi hanya sekedar kampanye, namun dapat diwujudkan, bukanlah sesuatu yang absurd.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.