Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Audit kepabeanan bukan dilakukan untuk menilai atau memberikan opini tentang laporan keuangan (lapkeu). Audit kepabeanan dilaksanakan untuk menguji kepatuhan pihak tertentu terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 86 ayat (1a) huruf a Undang-Undang (UU) Kepabeanan. Selain itu, tujuan audit kepabeanan juga telah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 200/2011 s.t.d.d PMK 258/2016 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai.
“Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan orang ... atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai,”bunyi Pasal 3 PMK 200/2011, dikutip pada Senin (16/9/2024).
Orang yang dimaksud adalah importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS), pengusaha tempat penimbunan berikat (TPB), pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), atau pengusaha pengangkutan sesuai dengan UU Kepabeanan.
Dalam melaksanakan audit kepabeanan, pejabat bea dan cukai memiliki sejumlah kewenangan salah satunya meminta data audit. Adapun data audit adalah lapkeu, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan.
Untuk itu, orang yang diaudit (auditee) wajib menyerahkan data audit yang diminta pejabat bea dan cukai, termasuk lapkeu. Namun, pejabat bea dan cukai meminta lapkeu tersebut bukan untuk memberikan penilaian atau opini seperti audit pada umumnya.
Adapun lapkeu diminta dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan yang diberikan oleh adalah pembukuan yang sebenarnya. Artinyanya, pembukuan yang diberikan memang yang digunakan untuk mencatat kegiatan usaha dan pada akhir periode diikhtisarkan dalam lapkeu.
Selain itu, dengan lapkeu, pejabat bea dan cukai dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang berkaitan dengan kepabeanan. Untuk menjamin kerahasiaan, UU Kepabeanan melarang pejabat bea dan cukai memberitahukan informasi mengenai auditee kepada pihak yang tidak berhak.
“Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang dilaksanakannya,” bunyi memori penjelasan Pasal 86 ayat (1a) huruf a UU Kepabeanan
Selain data audit, auditee juga wajib memberikan keterangan lisan serta menunjukkan sediaan barang untuk diperiksa. Sediaan barang adalah barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) PMK 200/2011 s.t.d.d PMK 258/2016, auditee juga wajib menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus.
Perincian ketentuan mengenai audit kepabeanan dapat disimak dalam UU Kepabeanan, PMK 200/2011 s.t.d.d PMK 258/2016, serta Perdirjen Bea dan Cukai No. PER-35/BC/2017 s.t.d.d Perdirjen Bea dan Cukai No. PER-24/BC/2019. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.