Mohamad Komarudin
,"PEMILIHAN umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira."
Itulah penggalan awal lirik mars pemilihan umum (pemilu) yang biasa terdengar di stasiun radio dan televisi setiap kali menjelang pesta demokrasi, sejak beberapa dekade lalu.
Kalau sekarang, tanda-tanda makin dekatnya pemilu adalah banyaknya bendera partai-partai, baliho, atau poster calon presideden serta calon wakil rakyat yang diusung oleh partai politik.
Bicara soal pemilu, pemilih pemula yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya biasanya lebih antusias dalam mengkritisi gagasan dan ide para peserta pemilu. Apalagi, jumlah pemilih pemula dalam pesta demokrasi tahun depan terbilang banyak. Alasannya, Indonesia tengah masuk dalam periode bonus demografi dengan populasi penduduk usia produktif yang jauh lebih banyak ketimbang jumlah penduduk usia nonproduktif. Fenomena ini diprediksi akan berlangsung hingga 2040 mendatang.
Dengan adanya fenomena ini, sudah semestinya pemilih pemula menaruh perhatian yang lebih terhadap janji-janji kampanye yang disodorkan peserta pemilu, termasuk yang berkaitan dengan isu pajak. Namun, kesadaran anak muda terhadap isu pajak tidak dapat muncul secara instan. Perlu ada peran otoritas pajak, dalam hal ini Ditjen Pajak (DJP) agar generasi muda lebih melek tentang kebijakan pajak.
DJP sebenarnya tidak tinggal diam untuk menangkap peluang di tengah bonus demografi. Dengan jumlah penduduk muda yang tinggi, DJP mulai berfokus meningkatkan inklusi pajak dengan memasukan pendidikan pajak ke dalam kurikulum sekolah.
Tak cuma itu, otoritas juga menggelar sosialisasi yang digelar setiap tahunnya melalui program Pajak Bertutur. Program tersebut sekaligus memeriahkan Hari Pajak yang diperingati setiap tahun. DJP juga bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi yang memiliki tax center untuk membina relawan pajak. Upaya-upaya tersebut dilakukan DJP demi menyiapkan generasi mendatang yang sadar pajak dan patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Tak cuma itu, selama ini DJP juga menyediakan program atau layanan yang secara khusus menyasar wajib pajak berusia muda. Karena populasi penduduk berusia muda bakal terus bertambah, otoritas memang tidak boleh kehilangan momentum ini.
Salah satu bentuk layanan yang diadakan adalah pendampingan pelaporan SPT Tahunan khusus untuk wajib pajak muda. Hal ini didukung reformasi pajak yang juga menyentuh aspek layanan administrasi perpajakan. Penyampaian SPT Tahunan yang dulu dilakukan secara manual di atas kertas, kini bisa dipenuhi secara elektronik.
Namun, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian. Pelaporan SPT Tahunan secara elektronik melalui DJP Online berpeluang terkendala teknis seiring jumlah wajib pajak yang terus meningkat.
Berdasarkan data DJP, sampai dengan 31 Maret 2023, jumlah SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi yang masuk mencapai 11.682.479 laporan. Angka tersebut meningkat 2,88% dari periode yang sama pada 2022 (CNBC Indonesia, 2023). Situasi inilah yang perlu diantisipasi oleh pemerintah. Apa yang perlu disiapkan ketika jumlah penduduk usia produktif makin meningkat?
Penulis berpandangan pemerintah perlu merancang sistem perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, sistem tersebut tidak boleh malah menambah beban administratif petugas pajak.
DJP dapat mengurangi beban administrasi tersebut dengan mengecualikan wajib pajak yang menerima penghasilan dari satu pemberi kerja. Pengecualian ini sejatinya merujuk kepada Pasal 3 ayat (8) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) s.t.d.t.d UU HPP. Saat ini, pengecualian baru diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang memilih status non-efektif ketika penghasilan yang dilaporkan pada SPT Tahunan tidak lebih dari Rp60 juta.
Wajib pajak yang menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, menurut penulis, perlu diberikan pengecualian untuk tidak melaporkan SPT Tahunan. Penghasilan yang mereka terima seharusnya sudah dilakukan pemotongan PPh 21 oleh pemberi kerja.
DJP lebih baik memprioritaskan pengawasan kepada pemberi kerja yang berkewajiban memotong dan melaporkan PPh 21 tersebut dibandingkan dengan memonitor pelaporan SPT Tahunan pegawai. Dengan begitu, pengawasan wajib pajak menjadi lebih efektif dan efisien.
Jika kebijakan tersebut berjalan, sumber daya fiskus dapat dialihkan untuk pengawasan yang lebih menyasar kepada wajib pajak poetensial sehingga penerimaan pajak bisa dioptimalkan. Di sisi lain, wajib pajak yang mempunyai penghasilan yang dikecualikan dari pelaporan SPT Tahunan dapat fokus bekerja tanpa disibukkan dengan administrasi pelaporan pajak.
Pekerjaan rumah (PR) selanjutnya, DJP perlu menyempurnakan sistem yang mampu melacak apakah wajib pajak mendapat penghasilan hanya dari satu pemberi kerja atau tidak. Sistem ini perlu terhubung dengan data bukti potong PPh Pasal 21 yang dilaporkan oleh pemberi kerja pada akhir tahun. Wajib pajak yang diketahui memiliki penghasilan dari satu pemberi kerja atau memiliki usaha sendiri bakal menerima notifikasi tentang kewajiban penyampaian SPT.
Akhirnya, dengan adanya kebijakan ini wajib pajak yang memiliki penghasilan dari satu pemberi kerja tidak lagi 'direpotkan' dengan pelaporan pajak. Fiskus juga bisa 'menghemat energi' dengan berfokus melakukan pengawasan kepada wajib pajak potensial.
Akankah kandidat calon pemimpin bangsa sanggup memperjuangkan kemudahan administrasi perpajakan bagi rakyat? Maukah mereka mengoptimalkan sumber daya fiskus untuk mengejar target penerimaan pajak? Mari cermati ide dan gagasan dari calon pemimpin pilihan Anda!
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.