DDTCNEWS TAX COMPETITION 2019

Big Data dalam Manajemen Risiko Kepatuhan Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 10 September 2019 | 11:55 WIB
Big Data dalam Manajemen Risiko Kepatuhan Pajak
Reno Septiargo & Felia Aprina Fiorenza, Institut Pertanian Bogor

PESATNYA perkembangan teknologi telah memicu masifnya digitalisasi di hampir seluruh lini kehidupan. Pajak yang merupakan sektor esensial dalam penerimaan negara juga tidak dapat menghindari efek digitalisasi. Kondisi tersebut telah memunculkan keharusan bagi otoritas untuk memodernisasi sistem, baik di tataran teknis maupun administrasi.

Perkembangan teknologi informasi di Indonesia memunculkan banyak penafsiran terhadap keberlangsungan sistem perpajakan. Pada kenyataannya, sistem yang belum optimal dituding sebagai salah satu penyebab rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio). Di samping itu, ada juga efek dari rendahnya kepatuhan wajib pajak (tax compliance).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih tergolong rendah. Pada 2016, dari 257 juta populasi penduduk di Indonesia, terdapat 30,08 juta wajib pajak terdaftar. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 12,7 juta wajib pajak yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh).

Adapun tax ratio Indonesia pada 2018 tercatat sebesar 10,3%. Menurut Bank Dunia, angka tersebut masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar tax ratio negara-negara di seluruh dunia yaitu sebesar 15%. Permasalahan tersebut merupakan faktor penghambat terbesar sektor perpajakan yang harus segera dituntaskan.

Di sisi lain, pemerintah perlu bergerak cepat untuk mengambil keputusan kebijakan pajak yang konsisten. Bagaimanapun, tantangan pertumbuhan penerimaan realisasi pajak meningkat setiap tahunnya. Itu artinya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah haruslah dapat memberikan dampak signifikan bagi perpajakan.

Berpijak dari kondisi tersebut, rekonstruksi perpajakan menuju sistem yang baru sangat penting. Hal tersebut sejalan dengan upaya Ditjen Pajak (DJP) yang sedang mengusung agenda reformasi perpajakan. Reformasi tersebut terdiri dari lima pilar utama, yaitu organisasi, sumber daya manusia, proses bisnis, regulasi, dan teknologi informasi.

Di era digitalisasi, dunia perpajakan dapat mengoptimalkan pemanfaatan teknologi yang handal. Dengan demikian, DJP dapat dengan mudah mengidentifikasi permasalahan pajak. Selain itu, penggunaan teknologi dapat mempermudah otoritas dalam mencapai target pajak. Hal ini sebagai kemajuan dan kesuksesan pengelolaan pajak di masa yang akan datang.

Peran Big Data

BERBAGAI upaya intensifikasi dan ekstensifikasi yang relevan dengan perkembangan zaman harus terus digencarkan agar target penerimaan pajak bisa tercapai. Teknologi big data diharapkan mampu meningkatkan tingkat kepatuhan membayar pajak. Apalagi, selama ini, banyak pihak yang cenderung tidak memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dengan big data, salah satunya melalui analisis fraud, kecenderungan untuk tidak patuh itu dapat dikurangi. Penerapan analisis big data dalam konteks penerimaan pajak memiliki banyak potensi, seperti memperkaya profil wajib pajak, melihat relasi antarwajib pajak, dan mengidentifikasi risiko ketidakpatuhan setiap wajib pajak.

Profil wajib pajak dapat diperkaya dengan informasi tentang perilaku dan kebiasaan hidup wajib pajak. Dengan demikian, adanya profil wajib pajak dapat diberdayakan untuk mengungkap harta maupun penghasilan yang disembunyikan.

Selanjutnya, terkait dengan relasi antarwajib pajak, otoritas bisa dapat mendeteksi grup-grup wajib pajak yang saling berhubungan, khususnya dalam urusan finansial. Dengan demikian, seluruh transaksi finansial yang terjadi di antara mereka dapat dideteksi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk membaca pola-pola penipuan ataupun penghindaran pajak.

Adapun pengawasan dapat difokuskan pada kelompok wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan yang tinggi. Pada intinya, penggunaan big data dengan implementasi teknologi yang tepat mengandung potensi yang besar dalam memerangi penghindaran pajak.

Tidak hanya mampu mendeteksi pengemplang pajak, sistem big data ini membuat pengolahan data perpajakan menjadi labih cepat. Adanya big data membuat pengolahan menjadi 7.200 kali lebih cepat dari sistem Relational Database Management System (RDBMS) yang digunakan oleh DJP sebelumnya.

Compliance Risk Management

PENGAWASAN yang berdasarkan level risiko wajib pajak ini dilakukan dengan sistem manajemen risiko kepatuhan atau compliance risk management (CRM). CRM menjadi instrumen untuk memetakan wajib pajak berdasarkan tingkat risikonya. Melalui analisis data tersebut, DJP dapat membuat algoritme khusus untuk membuat peringkat risiko Wajib Pajak.

Tindak lanjutnya diteruskan kepada wajib pajak tergantung tingkat risikonya, yakni diperiksa, diawasi atau cukup diberikan edukasi. Sistem CRM akan menjadi driver strategi kepatuhan wajib pajak. Otoritas bisa mendirikan unit khusus dengan sumber daya manusia yang mengelolanya.

Selain itu, CRM perlu dikembangkan sesuai kelompok grup wajib pajak atau sektor tertentu yang didukung oleh pemanfaatan analisis data prediksi, tren, dan perilaku wajib pajak. Otoritas juga perlu mengembangkan self-service analytic dan melakukan analisis terintegrasi dalam business intelligence.

Pada akhirnya, digitalisasi sistem perpajakan dan penegakan aturan diharapkan dapat mendorong kenaikan kepatuhan pajak yang berkolerasi dengan tax ratio. Tentunya. dalam mewujudkan revolusi pajak tersebut, pemerintah membutuhkan keterlibatan banyak pihak dalam implementasinya. Dengan demikian, rencana pemajuan sistem perpajakan itu terwujud sesuai dengan perencanaan.

Para ahli dalam big data harus bersinergi dengan berbagai pihak misalnya financial data analyst untuk menghasilkan informasi dalam bentuk data yang nantinya akan diinterpretasikan oleh para praktisi pajak. Konsep sinergi ini merupakan suatu upaya strategis untuk memprediksi model penyelewengan pajak yang akurat.

Selain itu, konsep perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) perlu difokuskan untuk memperbaiki sistem yang ada saat ini. Hal ini pada gilirannya mampu menciptakan sistem perpajakan yang tepat, efektif, dan efisien bagi Indonesia.*

*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Sabtu, 23 November 2024 | 12:25 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Babak Final Tax Case TIF FEB UI, Bahas Kenaikan PPN 12%

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Senin, 07 Oktober 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Hingga September, Setoran Pajak Sektor Digital Tembus Rp28,91 Triliun

BERITA PILIHAN