Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan mengubah aturan tentang pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) oleh instansi pemerintah.
Perubahan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.231/PMK.03/2019. Beleid yang diundangkan pada 31 Desember 2019 ini berlaku 3 bulan setelahnya. Berlakunya beleid ini sekaligus mencabut ketentuan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.563/KMK.03/2003.
Adapun ketentuan pada KMK No.563/2003 yang dicabut adalah penunjukan bendaharawan dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara sebagai pemungut PPN atau PPnBM. Dalam beleid yang baru Kemenkeu menunjuk instansi pemerintah sebagai pemungut.
“Instansi pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak (PKP) rekanan pemerintah kepada instansi pemerintah,” demikian bunyi Pasal 16 ayat (1) PMK No.231/2019.
Dengan demikian, instansi pemerintah wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPnBM yang terutang pada PKP Rekanan. Adapun yang dimaksud dengan PKP rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) kepada instansi pemerintah. Simak pula artikel 'Instansi Pemerintah Pusat, Daerah, & Desa Wajib Ber-NPWP'.
Lebih lanjut, jumlah PPN yang wajib dipungut sebesar tarif PPN dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) sesuai dengan UU PPN. Merujuk pada Pasal 1 angka 17, yang menjadi DPP adalah harga jual, penggantian, nilai impor/ekspor, dan nilai lain yang diatur pada PMK 121/PMK.03/2015.
Dalam hal BKP yang diserahkan juga terutang PPnBM maka jumlah PPnBM yang wajib dipungut oleh adalah sebesar tarif PPnBM yang berlaku dikalikan dengan DPP. Melalui beleid baru ini, pemerintah juga merevisi transaksi yang tidak dipungut PPN dan PPnBM.
Secara lebih terperinci, terdapat 7 transaksi yang tidak dipungut PPN dan PPnBM oleh instansi pemerintah. Pertama, pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2 juta, tidak termasuk PPN atau PPnBM dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah.
Jumlah maksimal tersebut meningkat dibandingkan ketentuan dalam KMK 563/2003 yang hanya dipatok senilai Rp1 juta. Kedua, pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja instansi pemerintah Pusat. Transaksi ini merupakan ketentuan baru yang belum diatur pada beleid terdahulu.
Ketiga, pembayaran untuk pengadaan tanah. Ketentuan ini agak berbeda dengan KMK 563/2003 yang membebaskan pembayaran untuk pembebasan tanah. Keempat, pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT. Pertamina (Persero).
Kelima, pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi. Keenam, pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan. Ketujuh, pembayaran atas BKP/JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan.
Keempat jenis transaksi yang terakhir telah diatur dalam beleid terdahulu. Kendati 7 transaksi tersebut tidak dipungut PPn/PPnBM oleh instansi pemerintah, bukan berarti menggugurkan kewajiban PPN/PPnBM yang terutang. Kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan atas ketujuh transaksi tersebut beralih pada PKP rekanan pemerintah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Berdasarkan siaran pers DJP terkait PMK ini, disebutkan bahwa salah satu tujuan menaikkan batasan pemungutan PPN oleh instansi pemerintah adalah untuk "menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada pelaku UMKM sebagai rekanan bendahara pemerintah". Namun kita tahu bahwa tidak dipungutnya PPN/PPnBM oleh instansi pemerintah ini tidak menggugurkan kewajian pemungutan PPN/PPnBM karena nyatanya kewajiban pemungutan tersebut hanya dialihkan ke pihak rekanan. Yang menjadi pertanyaan saya, keberpihakan kepada pelaku UMKM-nya di mananya ya?