KEBIJAKAN PAJAK

Beda Pajak Karbon dan Dagang Karbon, Ini Kata Arcandra Tahar

Redaksi DDTCNews | Jumat, 13 Agustus 2021 | 17:00 WIB
Beda Pajak Karbon dan Dagang Karbon, Ini Kata Arcandra Tahar

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Mantan Wamen ESDM Arcandra Tahar menjelaskan upaya mengurangi emisi karbon tidak hanya bisa dilakukan melalui instrumen pajak, tetapi juga bisa dijalankan melalui mekanisme perdagangan karbon.

Arcandra mengatakan pajak karbon dan perdagangan karbon merupakan dua entitas yang berbeda. Namun, keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk mengurangi efek emisi karbon. Penerapan pajak karbon merupakan bentuk pinalti bagi pelaku usaha yang menghasilkan emisi berlebih dalam kegiatan produksi.

Dia menerangkan skema pajak karbon dikenakan atas emisi yang dihasilkan melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah. Misal, suatu kilang minyak menghasilkan 1 juta ton CO2 dalam kegiatan produksi selama satu tahun.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Sementara itu, tingkat emisi CO2 maksimal yang boleh dihasilkan hanya 700.000 ton per tahun. Dengan demikian, perusahaan kilang minyak harus membayar pajak karbon atas 300.000 ton CO2 yang dihasilkan.

"Misalnya [tarif pajak karbon] sebesar US$ 10/ton. Sehingga tiap tahun kilang itu harus membayar pajak karbon sebesar US$ 3 juta," katanya dalam akun Instagram @arcandra.tahar dikutip pada Jumat (13/8/2021).

Mengingat sifat pajak karbon sebagai bentuk pinalti maka pelaku usaha tidak akan dikenai pungutan tersebut sepanjang tingkat emisi dalam kegiatan produksi yang dilakukan industri di bawah ambang batas ketentuan pemerintah.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Dengan demikian, skema kebijakan fiskal tersebut pada intinya hendak mendorong para pelaku usaha untuk memperbaiki cara produksi sehingga emisi yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Sementara itu, skema perdagangan karbon tidak mengenal sistem denda seperti pungutan pajak atas kelebihan emisi yang dihasilkan. Setiap sektor usaha diberikan kuota atau kredit karbon. Misal dengan nilai yang sama dengan ambang batas pajak karbon sebesar 700.000 ton CO2 per tahun.

Jika kegiatan produksi melebihi kuota maka perusahaan wajib membeli kekurangan kredit karbon sebesar 300.000 juta ton dari perusahaan lain yang memiliki tabungan C02. Sistem tabungan tersebut berlaku jika kegiatan produksi sektor usaha dibawah kredit karbon yang sudah ditetapkan.

Alhasil, tercipta mekanisme pasar perdagangan karbon secara alami. "Harga dari kredit CO2 ini akan bergantung supply dan demand atau bisa juga diatur pemerintah," jelas Arcandra. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra