ABUSE of law atau penyalahgunaan hukum merupakan upaya menggunakan atau menuntut suatu hak dengan cara yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari suatu peraturan. Konsep abuse of law sering kali dikaitkan dengan praktik penghindaran pajak yang tidak diperkenankan.
Beberapa penelitian menyatakan penghindaran pajak merupakan abuse of law karena termasuk eksploitasi peraturan perundang-undangan dengan tujuan meminimalkan beban pajak yang merupakan pelanggaran secara tidak langsung terhadap ketentuan perpajakan.
Sebaliknya, mayoritas hakim Mahkamah Agung Kanada dalam putusan Alta Energy Luxembourg S.A.R.L pada 2021 menyatakan penghindaran pajak bukan merupakan penggelapan pajak dan tidak seharusnya disamakan dengan abuse of law.
Selain itu, jika suatu transaksi dirancang untuk tujuan penghindaran pajak dan bukan untuk tujuan nonpajak yang bonafide, seperti tujuan ekonomi atau komersial, tidak berarti transaksi tersebut bersifat abusive menurut pengertian GAAR.
Adapun General Anti-Avoidance Rule (GAAR) merupakan ketentuan antipenghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak memiliki substansi ekonomi.
Selain GAAR, pemerintah di berbagai negara juga memberlakukan aturan antipenghindaran pajak yang bersifat spesifik (Specific Anti-Avoidance Rule/SAAR) dalam upaya untuk mendefinisikan dan meminimalkan praktik penghindaran pajak.
Namun, legislator memiliki kesulitan untuk mendefinisikan seluruh skema transaksi pajak yang berpotensi disalahgunakan (potentially abusive) dengan jumlah yang hampir tidak terbatas.
Oleh karena itu, hakim harus diberikan suatu diskresi untuk menentukan transaksi yang bersifat tax abusive melalui ketentuan antipenghindaran pajak yang dikembangkan oleh pengadilan (judicial doctrine) atau melalui aturan GAAR suatu negara.
Adapun judicial doctrine merupakan seperangkat asas, langkah-langkah prosedural, atau penilaian dalam suatu masalah hukum tertentu, yang umumnya dibentuk oleh keputusan hakim terdahulu/preseden dalam sistem hukum common law.
Beberapa judicial doctrine yang sering kali digunakan dalam kasus penghindaran pajak adalah sham transaction, substance over form, fraus legis, dan business purpose test. Fitur utama dari doktrin-doktrin tersebut adalah manfaat pajak tidak dapat diberikan apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan substansi/tujuan utama/niat dibalik suatu skema transaksi adalah bukan semata-mata untuk penghindaran pajak.
GAAR merupakan seperangkat aturan yang didesain untuk menangkal penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, dengan berfokus pada substansi dan skema dari suatu transaksi. Fitur utama dari GAAR adalah untuk membatasi atau membatalkan manfaat pajak dari praktik penghindaran pajak yang tidak diperkenankan.
Lantas, siapa yang harus membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan telah sejalan dengan maksud dan tujuan suatu peraturan dan tidak bersifat abusive? Kemudian, sejauh mana pembuktian harus dilakukan untuk meyakinkan hakim?
Mengetahui siapa yang menanggung beban pembuktian dalam sengketa pajak dapat membantu memandu pihak-pihak dalam proses pengadilan dan membantu pengadilan untuk mencapai keputusan yang konsisten.
Fitur tersebut bahkan lebih penting dalam kasus abuse of law karena dalam peraturan antipenghindaran pajak, satu karakteristik yang menonjol adalah persyaratan subjektif yang harus dipenuhi oleh wajib pajak. Persyaratan yang dimaksud adalah intensi di balik skema transaksi yang dilakukan, apakah hanya semata bertujuan untuk mendapat manfaat perjanjian atau tidak.
Melalui ketentuan principal purpose test, manfaat pajak dapat ditolak ketika tujuan utama dari suatu skema transaksi adalah untuk memperoleh manfaat pajak yang bertentangan dengan tujuan dibentuknya peraturan tersebut.
Di Uni Eropa, European Court of Justice (ECJ) pada awalnya memperbolehkan beban pembuktian untuk ditanggung seluruhnya oleh wajib pajak. Namun, sejak putusan ECJ dalam kasus Foggia pada 2011, ECJ mengalihkan sebagian beban pembuktian kepada otoritas pajak dan mengalihkan seluruh beban pembuktian kepada otoritas pajak melalui putusan Danish cases pada 2019.
Tidak hanya itu, ECJ juga memperketat syarat penetapan adanya penghindaran pajak dalam suatu transaksi. Menurut ECJ, fakta pembayaran dilakukan ke negara dengan tarif pajak lebih rendah bukan merupakan bukti utama untuk menetapkan suatu transaksi bersifat artifisial dengan tujuan penghindaran pajak. ECJ tidak dengan mudah menerima klaim adanya penyalahgunaan pajak.
Di Amerika Serikat, penerapan beban pembuktian dalam kasus pajak umum dan kasus penghindaran pajak sedikit berbeda. Dalam kasus pajak umum, beban pembuktian awalnya berada di pihak wajib pajak.
Kemudian, sejak 1988, beban pembuktian dapat dialihkan kepada otoritas pajak apabila beberapa kriteria terpenuhi oleh wajib pajak (seperti memberikan bukti yang kredibel dan tingkat kepatuhan wajib pajak). Namun, dalam kasus penghindaran pajak yang diatur dalam Section 7701(o), beban pembuktian selalu seluruhnya berada di pihak wajib pajak.
Di samping itu, transaksi yang tidak diungkapkan dan tidak memiliki substansi ekonomi akan dikenakan penalti 40%. Sementara itu, transaksi yang diungkapkan tetapi tidak memiliki substansi ekonomi atau gagal memenuhi ketentuan serupa dikenakan penalti 20%.
Akibatnya, wajib pajak di Amerika Serikat berada di bawah banyak tekanan untuk memenuhi beban pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, menempatkan seluruh beban pembuktian pada wajib pajak dapat menimbulkan risiko otoritas pajak akan menerapkan Section 7701(o) secara berlebihan.
Berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, beban pembuktian dalam kasus penghindaran pajak di Kanada dibagi secara merata antara wajib pajak dan otoritas pajak. Singkatnya, wajib pajak bertanggung jawab untuk membuktikan fakta (seperti manfaat pajak dan skema transaksi), sedangkan otoritas pajak membuktikan transaksi tersebut tidak sejalan dengan maksud dan tujuan dari ketentuan pajak yang berkaitan.
Indonesia tidak memiliki GAAR untuk menangkal praktik penghindaran pajak. Namun, Indonesia menganut prinsip substance over form yang kini terdapat di dalam perubahan Pasal 18 UU Pajak Penghasilan melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebelum adanya peraturan tersebut, pada praktiknya, tidak jarang otoritas pajak menggunakan prinsip substance over form dalam kasus penghindaran pajak. Namun, argumen yang digunakan oleh otoritas pajak umumnya tidak disertai dengan bukti konkrit yang membuktikan adanya (motif) penghindaran pajak dalam transaksi tersebut.
Oleh karena itu, meskipun pihak yang memikul beban pembuktian dalam kasus penghindaran pajak belum diatur secara khusus, wajib pajak berada dalam posisi terbaiknya untuk memberikan bukti-bukti yang diperlukan. Hal ini dilakukan untuk membela transaksi yang dirancangnya apabila klaim yang dilakukan oleh otoritas pajak hanya didasarkan pada dugaan adanya penghindaran pajak.
Pepatah kuno yang mengatakan ‘with great power comes great responsibility’ dapat diaplikasikan dalam hal ini. Salah satu bagian terpenting dari GAAR adalah kemampuan otoritas pajak untuk merekonstruksi suatu transaksi, sehingga memungkinkan pengenaan pajak atas suatu transaksi, seolah-olah hasil pajak yang berbeda telah terjadi.
Mengikuti pendekatan Uni Eropa dan Kanada, beban pembuktian sebaiknya dipikul secara bersama-sama oleh wajib pajak dan otoritas pajak atau seluruhnya oleh otoritas pajak.
Alokasi beban pembuktian seperti ini dianggap adil karena pembuktian tidak didasarkan pada dugaan semata. Alokasi ini juga efisien karena masing-masing pihak berada dalam posisi terbaik untuk mengumpulkan dan memberikan bukti yang relevan.
Alokasi beban pembuktian seperti itu juga dianggap wajar karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas ‘ciptaannya’. Wajib pajak membuktikan transaksi yang dirancangnya dan otoritas pajak membuktikan transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak tidak sejalan dengan maksud dan tujuan legislator.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.