Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah terus memperkuat pengawasan terhadap wajib pajak penerima insentif pajak pada masa pandemi Covid-19. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (30/11/2021).
Berdasarkan pada informasi dalam Laporan APBN Kita edisi November 2021, Ditjen Pajak menyadari isu pengawasan pemanfaatan insentif cukup krusial. Untuk merespons hal ini, DJP memperbaiki skema distribusi data pemanfaatan insentif pajak.
“DJP menyadari betapa krusial isu ini maka segera melakukan distribusi data insentif pajak secara merata, langsung, dan periodik melalui aplikasi,” tulis otoritas dalam laporan tersebut.
Langkah yang ditempuh DJP tersebut sesuai dengan rekomendasi Itjen Kemenkeu. Dengan distribusi data insentif pajak secara merata, langsung, dan periodik, kantor pelayanan pajak (KPP) dapat segera melakukan pengawasan.
Hingga 19 November 2021, realisasi pemanfaatan insentif perpajakan telah mencapai Rp62,47 triliun atau 99,4% dari pagu Rp62,83 triliun. Pemerintah memastikan terus mengakomodasi klaim insentif pajak meskipun pagunya habis melalui langkah realokasi dari pos stimulus lainnya.
Selain mengenai pengawasan pemanfaatan insentif pajak, ada pula bahasan terkait dengan nasib ketentuan pelaksana UU Cipta Kerja setelah dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Ditjen Pajak memiliki tim khusus yang bertugas mengawasi pemanfaatan fasilitas pajak pada masa pandemi Covid-19. Tim yang dibentuk melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-287/PJ/2020 tersebut bernama Tim Penilaian Kepatuhan Wajib Pajak Penerima Insentif dan/atau Fasilitas Pajak.
Tim bertugas menganalisis kepatuhan dan memberikan rekomendasi strategi pengawasan dan penegakan hukum atas ketidakpatuhan wajib pajak penerima insentif. Tim juga menganalisis dampak pemberian insentif dan memberikan strategi komunikasi agar insentif dapat dimanfaatkan secara maksimal. Simak ‘DJP Punya Tim Khusus Awasi Pemanfaatan Insentif Pajak’. (DDTCNews)
Pemerintah menyatakan seluruh ketentuan pelaksana UU Cipta Kerja, termasuk terkait dengan perpajakan, masih tetap berlaku. Pernyataan pemerintah ini menyusul dinyatakannya UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan seluruh aturan turunan dari setiap klaster UU Cipta Kerja telah diundangkan sebelum Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan. Dengan demikian, seluruh aturan turunan UU Cipta Kerja masih berlaku.
"Kemudahan usaha di bidang perpajakan dan pelaksanaan perizinan berusaha atau OSS tetap berjalan untuk perizinan berusaha baru atau perpanjangan," ujarnya.
Kendati demikian, pemerintah dan DPR akan merevisi UU 11/2020 dan UU 12/2011 s.t.d.d UU 15/2019 untuk menindaklanjuti putusan MK. Keduanya akan dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Perubahan atas Pasal 18 UU Pajak Penghasilan melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dinilai dapat mencegah praktik penghindaran pajak, khususnya yang dilakukan melalui transaksi artifisial.
Merujuk pada Laporan APBN Kita edisi November 2021, Kementerian Keuangan menilai revisi atas pasal penjelas dari Pasal 18 UU PPh di UU HPP memberikan penegasan atas transaksi artifisial yang tidak sejalan dengan prinsip substance over form.
Dengan ketentuan Pasal 18 UU PPh yang telah direvisi melalui UU HPP, prinsip substance over form dapat diimplementasikan ke semua jenis transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak. Simak ‘UU HPP Dapat Cegah Penghindaran Pajak Lewat Transaksi Artifisial’. (DDTCNews)
Direktur Keberatan dan Banding DJP Wansepta Nirwanda mengatakan upaya untuk menekan sengketa yang berlaku pada keberatan dan banding terdiri dari 4 program. Pertama, peningkatan kapasitas dan kompetensi fiskus.
Kedua, pelaksanaan evaluasi atas putusan sengketa untuk memperbaiki pada bidang regulasi. Ketiga, perbaikan proses bisnis. Keempat, pelaksanaan integrasi semua sistem yang terkait dengan penanganan sengketa. (DDTCNews)
DJP menyatakan kegiatan ekonomi secara daring tidak menggugurkan kewajiban pajak. Oleh karena itu, setiap pelapak online wajib mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku, seperti mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
“Jualan online tetap kena pajak kalo udah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif," tulis akun Instagram DJP. Simak ‘Heboh Jualan Online Tetap Dikenai Pajak, Ini Solusi dari DJP’. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi instrumen untuk meningkatkan kualitas belanja daerah. RUU ini juga akan menjadi alat untuk melakukan sinergi kebijakan fiskal pada tingkat nasional dan daerah.
Dia menegaskan RUU HKPD bukan upaya pemerintah menarik kembali desentralisasi fiskal yang diatur melalui UU 33/2004. RUU ni merupakan bentuk evaluasi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang diharapkan mampu memperkuat pengelolaan fiskal di tingkat daerah.
"Jadi, peningkatan kualitas belanja dan sinergi fiskal ini bukan upaya resentralisasi. Ini bagian dari upaya meningkatkan akuntabilitas penggunaan keuangan negara," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.