MONEY laundering agaknya menjadi istilah yang kerap menghiasi berbagai tajuk pemberitaan tindak kejahatan atau tindak pidana. Istilah money laundering juga terkait erat dengan dirty money (uang kotor) atau terkadang juga disebut sebagai ‘uang haram’.
Uang kotor tersebut merupakan uang yang diperoleh pelaku dengan cara melawan hukum, seperti mencuri, merampok, memproduksi dan menjual narkotika, menipu, korupsi dan sebagainya. Agar aparat hukum tidak mencurigai asal dari uang kotor itu, salah satu modus yang kerap dilakukan pelaku adalah money laundering.
Di Indonesia, money laundering disebut sebagai pencucian uang. Guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, pemerintah pun telah menerbitkan Undang-Undang No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Mengacu pada UU TPPU, tindak pidana di bidang perpajakan termasuk ke dalam salah satu tindak pidana asal dari praktik pencucian uang. UU TPPU juga telah memberikan kewenangan kepada penyidik DJP untuk menyelidiki tindak pidana pencucian uang sebagai tindak lanjut penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kendati kerap tersiar dan terkait dengan berbagai bidang, tentu masih terdapat masyarakat yang belum memahami arti dari money laundering. Terlebih, istilah money laundering bukanlah suatu konsep yang sederhana, melainkan sangat rumit karena melibatkan permasalahan yang kompleks. Lantas, apa itu pencucian uang (money laundering)?
Pencucian uang secara sederhana didefinisikan sebagai suatu perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal (Nursobah, 2021).
Senada dengan itu, Yurizal (2017) mengartikan pencucian uang sebagai perbuatan dengan cara-cara licik untuk mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan supaya hasil kejahatan itu seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan usaha yang legal.
Merujuk Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud alias perbuatan yang tergolong pencucian uang tercantum dalam Pasal 3 hingga Pasal 6 UU TPPU, yaitu:
Harta kekayaan yang dikategorikan sebagai harta hasil dari tindak pidana tidak melulu berasal dari perdagangan narkotika atau korupsi. Lebih luas dari itu, Pasal 2 ayat 1 UU TPPU menyatakan hasil tindak pidana berarti harta kekayaan yang diperoleh dari 26 jenis tindak pidana.
Tindak pidana tersebut meliputi: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; dan penculikan.
Ada pula pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; tindak pidana di bidang perpajakan; tindak pidana di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.
Selain dilakukan di wilayah Indonesia, tidak pidana tersebut juga bisa dilakukan di luar wilayah Indonesia sepanjang merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Secara umum, proses pencucian uang terdiri atas 3 tahap, yaitu placement, layering, dan integration (Otoritas Jasa Keuangan; Yurizal, 2017; Nursobah, 2021)
Pertama, placement. Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan ‘uang kotor’ tersebut ke dalam sistem keuangan. Pada tahap placement, pergerakan uang sangat rawan terdeteksi. Untuk itu, uang tersebut harus dipecah menjadi satuan yang lebih kecil guna menyembunyikan asal-usulnya dan agar tidak dicurigai.
Misal, menempatkan uang tersebut ke dalam instrumen penyimpanan uang yang berbeda-beda, seperti cek dan deposito, menyelundupkan uang atau harta hasil tindak pidana ke negara lain, melakukan penempatan secara elektronik, dan menggunakan beberapa pihak lain dalam melakukan transaksi.
Kedua, layering. Pada tahap ini, pelaku berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui berbagai transaksi agar sulit ditelusuri. Misal, memindahkan uang tersebut dari 1 bank ke bank lain, hingga beberapa kali.
Cara lain yang biasa digunakan adalah dengan membeli aset, berinvestasi, atau dengan menyebar uang tersebut melalui pembukaan rekening bank di beberapa negara. Selain itu, ‘para pencuci’ juga bisa membeli barang bernilai tinggi (seperti kapal, rumah, dan berlian), serta mendirikan perusahaan ‘fiktif’.
Ketiga, integration. Integration merupakan upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah. Uang tersebut dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan legal, misal kegiatan bisnis.
Dengan cara tersebut, akan tampak aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya. Pada tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci. Selain itu, pada tahap ini uang masuk kembali ke sistem keuangan dalam bentuk yang tampak sah.
Pada hakikatnya, pencucian uang dilakukan agar uang atau harta dari hasil tindak pidana tersebut seolah-olah diperoleh secara sah. Pencucian uang umumnya disebut sebagai tindak kejahatan ganda karena ada kejahatan utama atau asal (core crime) dan pencucian uang sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime).
Misal, pelaku tindak pidana di bidang perpajakan biasanya melakukan penyamaran atau menyembunyikan asal-usul harta hasil dari tindak pidana perpajakan tersebut ke dalam lembaga keuangan.
Dengan demikian, pelaku tidak hanya melakukan tindak pidana perpajakan, tetapi juga telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Adapun tindak pidana perpajakan merupakan tindak pidana asal, sementara pencucian uang merupakan tindak lanjutan.
Terdapat beragam dampak yang ditimbulkan dari tindakan pencucian uang. Dampak tersebut di antaranya berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak dan secara tidak langsung merugikan pembayar pajak yang jujur (Yurizal, 2017). (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.