MENINGKATNYA pengaruh globalisasi dan digitalisasi pada dunia usaha turut memacu perkembangan metode transaksi bisnis antaryurisdiksi. Namun, pesatnya perkembangan tersebut, mendorong pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.
Untuk merespons berbagai praktik penghindaran pajak, negara-negara yang tergabung dalam G20 telah bekerja sama dengan OECD untuk meramu rencana aksi untuk menangkal praktik base erosion and profit shifting (BEPS Action Plan).
Salah satu dari 15 BEPS Action Plan yang telah disusun, ialah upaya untuk menetralisir akibat dari ketidaksesuaian antarnegara mengenai entitas dan karakterisasi instrumen yang disebut sebagai “Neutralising the Effect of Hybrid Mismatch Arrangement” (BEPS Action 2).
Pembahasan mengenai hybrid mismatch arrangement menarik diulas mengingat pemerintah Indonesia baru saja merilis Peraturan Pemerintah No. 55/2022. Dalam beleid itu, turut memuat penanganan hybrid mismatch arrangement. Lantas, apa itu hybrid mismatch arrangement?
Definisi
HYBRID mengacu pada apa pun yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang berbeda (Coyle, 2002). Dalam konteks ini "hybrid arrangement" dari frasa "hybrid mismatch arrangement” mengacu pada dua negara yang tidak sepakat atas klasifikasi atau karakterisasi suatu aturan untuk tujuan perpajakan (Harris, 2015).
IBFD International Tax Glossary (2015) tidak menguraikan pengertian hybrid arrangement, tetapi terdapat definisi hybrid transaction. Adapun hybrid transaction memiliki arti suatu transaksi yang dikualifikasikan berbeda untuk tujuan perpajakan di dua negara.
Lebih lanjut, pengertian mismatch merujuk pada perbedaan pandangan dari dua negara terhadap suatu aturan yang menimbulkan hasil yang inkonsisten apabila dilihat secara keseluruhan (Harris, 2015).
Sementara itu, arrangement adalah suatu kontrak, kesepakatan, kesepahaman, rencana, atau skema, baik yang dapat dilaksanakan maupun tidak, termasuk semua langkah dan transaksi yang terkait dengan arrangement tersebut (OECD, 2015).
Kemudian, istilah hybrid arrangement mengacu pada situasi dua negara yang memiliki posisi berbeda dan tidak konsisten sehubungan dengan perlakuan pajak dalam suatu aturan.
OECD tidak memberikan definisi yang baku mengenai pengertian atas hybrid mismatch arrangement sebagai sebuah frasa yang utuh. Namun, OECD memberikan gambaran bahwa hybrid mismatch arrangement memiliki satu atau beberapa elemen dasar berikut.
Pertama, hybrid entities, yaitu entitas yang untuk tujuan perpajakan diperlakukan sebagai entitas transparan di satu negara dan non-transparan di negara lainnya.
Kedua, hybrid instrument, yaitu instrumen yang untuk tujuan perpajakan diperlakukan secara berbeda di negara-negara yang terlibat dalam transaksi tersebut. Biasanya di satu negara dianggap sebagai utang dan di negara lainnya dianggap sebagai penyertaan modal.
Ketiga, hybrid transfer, yaitu suatu aturan yang untuk tujuan perpajakan diperlakukan sebagai pengalihan kepemilikan atas suatu aset di suatu negara, tetapi tidak bagi negara yang lain. Pada umumnya, negara lain menganggap sebagai penjaminan utang.
Keempat, dual resident entities, yaitu entitas yang menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN) untuk tujuan perpajakan di dua negara yang berbeda.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dipaparkan, definisi sederhana dari hybrid mismatch arrangements adalah suatu transaksi atau aturan yang dikategorikan berbeda untuk tujuan perpajakan oleh dua negara atau lebih yang didasarkan pada ketentuan domestik di masing-masing negara tersebut.
Perbedaan ketentuan domestik tersebut menimbulkan hasil inkonsisten yang berdampak pada posisi kewajiban fiskal yang sangat rendah atau tidak dikenakan pajak sama sekali di negara manapun bagi wajib pajak (Tambunan, 2016).
Hybrid mismatch arrangements timbul akibat ketidakpaduan pengaturan perlakuan perpajakan antara satu negara dengan negara lainnya. Ketidakpaduan tersebut memungkinkan adanya mismatch berupa inkonsistensi pandangan pajak dari dua negara yang berbeda atas suatu karakteristik instrumen atau entitas yang sama.
Inkonsistensi tersebut pada akhirnya dapat berdampak pada pengenaan pajak berganda (double taxation) atau tidak dikenakan pajak di negara manapun (double nontaxation). Perbedaan ketentuan pajak antarnegara inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para penghindar pajak.
Para penghindar pajak berupaya memodifikasi transaksi atau entitas yang menyebabkan perlakuan pajak yang inkonsisten dari dua negara yang berbeda sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif sangat rendah atas transaksi tersebut
Hal ini berarti hybrid mismatch arrangements digunakan dalam perencanaan pajak agresif untuk mengeksploitasi perbedaan dalam perlakuan pajak suatu entitas atau instrumen berdasarkan undang-undang dari dua atau lebih yurisdiksi pajak untuk mencapai double nontaxation, termasuk penangguhan perpajakan jangka panjang (OECD, 2015).
Keuntungan pajak yang diperoleh dari skema hybrid mismatch arrangements dapat diperoleh pada tiga kondisi.
Pertama, adanya skema pengurangan berganda (double deduction scheme), yaitu suatu aturan di mana pengurangan penghasilan (pengakuan biaya) untuk tujuan perpajakan dilakukan di dua negara yang berbeda.
Kedua, skema pengakuan pengurangan dan noninklusi (deduction/no inclusion schemes), yaitu pada saat ketentuan pajak di suatu negara menyebabkan adanya pengakuan biaya di satu negara, biasanya dianggap sebagai biaya bunga, tetapi tidak dianggap penghasilan di negara lain.
Ketiga, pengumpul kredit pajak luar negeri (foreign tax credit generators), yaitu situasi apabila berdasarkan ketentuan di satu negara suatu entitas berhak mendapatkan kredit pajak luar negeri yang seharusnya tidak diterima, tanpa adanya kesesuaian dengan penghasilan yang diterima negara lain.
Ilustrasi mengenai tiga kondisi di atas dapat disimak dalam buku terbitan DDTC bertajuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi. Selain itu, hybrid mismatch arrangements juga menjadi salah satu topik bahasan dalam Inside Tax Magazine Edisi 38. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.