INTERNATIONAL TAX CONFERENCE 2024

Antisipasi 2 Pilar, Pemerintah Bakal Sederhanakan Administrasi Pajak

Dian Kurniati | Kamis, 03 Oktober 2024 | 12:02 WIB
Antisipasi 2 Pilar, Pemerintah Bakal Sederhanakan Administrasi Pajak

Salah satu slide yang dipaparkan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah bakal menyiapkan administrasi pajak yang sederhana dalam menerapkan Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solution).

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan penerapan 2 Pilar bisa menimbulkan kompleksitas dalam sistem pajak di dunia. Untuk itu, administrasi pajak perlu disederhanakan sehingga implementasi Solusi 2 Pilar tidak menambah beban pada wajib pajak.

"Tentu saja kami berusaha membuat administrasi semudah mungkin sehingga para wajib pajak tidak diberikan beban tambahan dalam penerapan pajak pada solusi Pilar 1 dan Pilar 2 ini," katanya dalam acara International Tax Conference 2024, Kamis (3/10/2024).

Baca Juga:
NPWP Sementara 9990000000999000, Dipakai Jika NIK Tak Valid di e-Bupot

Yon menuturkan dunia saat ini sedang dihadapkan pada tantangan yang muncul akibat digitalisasi ekonomi. Seiring dengan perluasan bisnis dan teknologi digital yang mengaburkan batas-batas negara, sistem pajak tradisional menjadi makin ketinggalan zaman.

Perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara tanpa kehadiran fisik sehingga memunculkan ketidakselarasan antara tempat laba dihasilkan dan tempat pajak dibayarkan.

Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan banyak negara, khususnya negara-negara berkembang, berada pada posisi yang kurang menguntungkan, termasuk Indonesia.

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Ketidakseimbangan ini juga memperdalam kesenjangan ekonomi global sehingga kerangka kerja tradisional tak mampu mengakomodasi tantangan-tantangan yang muncul akibat digitalisasi ekonomi. Untuk itu, beberapa negara telah mengambil langkah seperti penerapan pajak layanan digital.

Di sisi lain, Yon menyebutkan bahwa tak sedikit negara dalam beberapa dekade terakhir ini saling bersaing menggunakan tarif pajak yang lebih rendah untuk menarik investasi. Sejak 1980, tarif pajak perusahaan rata-rata global telah turun dari 40,18% menjadi 28,45% pada 2023.

Tarif pajak yang lebih rendah memang dapat menarik investasi. Namun, hal ini juga bisa mengurangi penerimaan negara yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur, pemberian bantuan sosial, dan pelayanan kesehatan, terutama pada negara berkembang.

Baca Juga:
Tenang! Surat Teguran ‘Gaib’ karena Coretax Eror Bisa Dibatalkan DJP

Dalam menghadapi 2 persoalan tersebut, negara-negara OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS pun bekerja sama untuk memberikan solusi melalui Solusi 2 Pilar.

"Dengan memerangi penghindaran pajak, kami meyakini akan dapat menstabilkan dan meningkatkan penerimaan serta menyediakan basis keuangan yang lebih kuat untuk mendukung upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi," ujar Yon.

Dia menjelaskan Pilar 1 bertujuan mengalokasikan kembali porsi hak perpajakan ke yurisdiksi pasar dengan memastikan distribusi laba dan pendapatan pajak yang adil sesuai dengan aktivitas ekonomi perusahaan di setiap yurisdiksi.

Baca Juga:
Hal-Hal yang Diteliti DJP terkait Pengajuan Pengembalian Pendahuluan

Pilar 1 terdiri atas Amount A dan Amount B. Amount A pada dasarnya mendistribusikan kembali sebagian dari laba residual ke yurisdiksi pasar melalui konvensi multilateral.

Sementara itu, Amount B berupaya untuk menyederhanakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana diterapkan pada kegiatan pemasaran dan distribusi.

Pemerintah Indonesia berharap Pilar 1 dapat diimplementasikan pada 2025. Sembari pembahasan terus berlanjut, pemerintah juga sedang mempersiapkan semua peraturan domestik yang diperlukan untuk pengimplementasiannya.

Baca Juga:
DJP Terbitkan Panduan Coretax terkait PIC, Impersonate dan Role Akses

Di sisi lain, Pilar 2 juga berupaya mengatasi fenomena race to the bottom sehingga diusulkan pajak minimum global sebesar 15% untuk menyamakan kedudukan dan mencegah pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.

Pajak minimum global akan berlaku terhadap perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun.

"Sebenarnya kami berencana untuk menerapkan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), income inclusion rule (IIR), dan juga undertaxed profit rule (UTPR) secara bersamaan. Namun, waktu penerapannya akan sangat bergantung pada pembahasan yang berlangsung," tutur Yon.

Baca Juga:
Optimalkan Setoran Pajak Kendaraan di Kota Ini, Razia Akan Digencarkan

Yon menambahkan perubahan lanskap pajak tersebut memerlukan reformasi yang komprehensif dalam kebijakan pajak domestik agar selaras dengan standar global dan mempertahankan daya saing. Salah satu konsekuensi penerapan Pilar 2 ialah pemerintah harus mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang berlaku saat ini.

Terdapat 3 skema insentif yang terkait dengan Pilar 2, meliputi insentif pajak Ibu Kota Nusantara, insentif pada kawasan ekonomi khusus (KEK), serta kebijakan tax holiday secara umum.

Menurut Yon, pemerintah akan terus mengamati perubahan kebijakan mengenai insentif pajak yang ada di negara lain dalam merespons Pilar 2.

Baca Juga:
Simak! Ini Daftar Peraturan Perpajakan yang Terbit 1 Bulan Terakhir

Selain itu, pemerintah juga mulai membicarakan skema-skema insentif yang dapat menjadi alternatif kepada para pemangku kepentingan, terutama wajib pajak.

Terlebih, apabila insentif pajak di Indonesia mengarah pada tarif pajak efektif di bawah 15% maka hal ini akan memungkinkan yurisdiksi lain mengeklaim hak pemajakan melalui top-up tax atas laba yang kurang dipajaki. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

NPWP Sementara 9990000000999000, Dipakai Jika NIK Tak Valid di e-Bupot

Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:45 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Tenang! Surat Teguran ‘Gaib’ karena Coretax Eror Bisa Dibatalkan DJP

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Hal-Hal yang Diteliti DJP terkait Pengajuan Pengembalian Pendahuluan

BERITA PILIHAN
Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

NPWP Sementara 9990000000999000, Dipakai Jika NIK Tak Valid di e-Bupot

Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:15 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Naikkan Biaya SLO Listrik, Kecuali Pelanggan 450 dan 900 VA

Sabtu, 01 Februari 2025 | 14:30 WIB PILKADA 2024

Prabowo Ingin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024 segera Dilantik

Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:30 WIB LAYANAN KEPABEANAN

Pengumuman bagi Eksportir-Importir! Layanan Telepon LNSW Tak Lagi 24/7

Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:45 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Tenang! Surat Teguran ‘Gaib’ karena Coretax Eror Bisa Dibatalkan DJP

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Hal-Hal yang Diteliti DJP terkait Pengajuan Pengembalian Pendahuluan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:00 WIB CORETAX SYSTEM

DJP Terbitkan Panduan Coretax terkait PIC, Impersonate dan Role Akses