RESENSI JURNAL

Adaptasi Kebijakan PPN di Uni Eropa

Redaksi DDTCNews | Jumat, 23 Juli 2021 | 13:00 WIB
Adaptasi Kebijakan PPN di Uni Eropa

PEMULIHAN dari pandemi Covid-19, yang menjadi musibah terbesar pada abad ke-21, membutuhkan biaya sangat besar. Kondisi tersebut memicu Uni Eropa (UE) untuk beradaptasi dari sisi kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) agar sesuai dengan dinamika yang ada.

Para ahli di seluruh spektrum politik setuju bahwa perubahan UU PPN UE sangat dibutuhkan. Pasalnya, sistem tersebut memiliki banyak masalah dan inefisiensi. Kompleksitas sistem yang makin meningkat juga membuat biaya kepatuhan dan tingkat penipuan menjadi tinggi.

Pada saat yang bersamaan, masih terkait dengan situasi pandemi Covid-19, negara-negara anggota UE membutuhkan biaya untuk program stimulus besar-besaran. PPN menjadi salah satu mesin untuk membiayai pandemi tersebut.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Alexandra Bal, dalam publikasinya berjudul Emerging from Crisis: The Changing EU VAT Landscape, memaparkan beberapa pertimbangan dan poin perubahan yang direncanakan. Pada dasarnya, Komisi Eropa harus bertindak tegas untuk mencegah hilangnya pendapatan PPN akibat dampak krisis Covid-19 dan kegiatan ilegal.

Selain itu, ada kebutuhan untuk membuat perpajakan lebih adil dan sederhana berdasarkan pada peraturan yang ada. Wajib pajak yang berada di UE harus mendaftar untuk keperluan pemungutan PPN jika omzet kena pajaknya melebihi ambang batas (threshold) tertentu. Masing-masing anggota UE memiliki threshold berbeda-beda, dari yang terendah sekitar US$6.700 (Denmark) dan US$65.000 (Italia).

Wajib pajak yang memiliki operasi lintas batas mungkin menghadapi kewajiban yang berbeda-beda di setiap negara anggota UE. Merespons kondisi ini, Komisi UE akan mengajukan proposal penerapan sistem pendaftaran PPN tunggal UE yang memungkinkan terdaftar di satu negara anggota untuk memasok barang dan jasa di semua negara anggota. Proposal ini akan diajukan pada 2022 atau 2023.

Baca Juga:
Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Kegiatan bisnis lintas batas memiliki kewajiban yang berat dari sistem pelaporan PPN UE karena format dan informasi yang mereka perlukan berbeda-beda di setiap negara anggota. Dengan adanya format Standard Audit File for Tax (SAF-T), lapisan kompleksitas bagi perusahaan yang melakukan bisnis di beberapa negara anggota UE bertambah.

Tantangan yang hadir akibat sistem tersebut membuat Komisi UE melakukan modernisasi kewajiban pelaporan PPN pada 2022 atau 2023. Adanya aturan baru tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih terperinci kepada administrasi pajak dan real time. Selain itu, ada harapan dari sisi perluasan terhadap e-faktur.

Pada 2022 atau 2023, Komisi Eropa bermaksud untuk memperluas cakupan One-Stop Shoping (OSS). The OSS adalah skema opsional yang memungkinkan bisnis untuk memasok layanan telekomunikasi, penyiaran, atau elektronik kepada orang tidak kena pajak di negara anggota lain untuk memperhitungkan PPN. Hal ini termasuk pembayaran yang biasanya akan jatuh tempo di beberapa negara UE.

Baca Juga:
DPR Sebut Penundaan Kenaikan PPN 12% Bisa Bangkitkan Kelas Menengah

Nantinya, seorang wajib pajak harus dapat melaporkan semua transaksi business to consumer (B2C) di UE menggunakan pengembalian PPN tunggal yang diserahkan di negara bagian pendirianya. Komisi juga mengkaji kemungkinan untuk mewajibkan penggunaan impor OSS dan merevisi ambang batas penggunaanya.

Kehadiran Eurofisc akan diperkuat untuk memerangi penipuan PPN dalam transaksi lintas batas. Eurofisc adalah jaringan ahli anti-penipuan dari berbagai administrasi pajak nasional yang didirikan pada 2010 untuk meningkatkan kemampuan negara-negara anggota umemerangi penipuan PPN terorganisasi, terutama penipuan carousel yang marak terjadi di UE. Untuk itu, Eurofisc akan dijadikan sebagai pusat informasi pajak dengan cakupan yang diperluas.

Sistem perdagangan intra-UE yang rumit dan rentan terhadap penipuan terus dibenahi. Meskipun menyediakan data untuk otoritas pajak di negara anggota tujuan, VAT Information Exchange System (VIES) memiliki kelemahan yaitu tidak memungkinkan untuk verifikasi data tepat waktu.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Biasanya, pelaku akan menghilang sebelum pihak berwewenang mendeteksi operasi penipuan. Komisi UE akan menggunakan teknologi baru dalam mengidentifikasi pembayar pajak yang tidak patuh.

UE tidak memiliki instrumen hukum khusus dalam menyelesaikan sangketa terkait dengan penerapan PPN atau pengenaan pajak berganda PPN. SOLVIT – jaringan pemecahan masalah informal Komisi Eropa – bisa menjadi instrumen yang dapat digunakan ketika ada perlakuan yang tidak menyenangkan dari otoritas publik terkait dengan keputusan PPN lintas batas.

Kemudian, lembaga keuangan yang segera dimodernisasi harus mempertimbangkan kebangkitan ekonomi digital dan teknologi keuangan, di samping tetap ada peningkatan layanan oleh lembaga keuangan dan asuransi.

Baca Juga:
PPN Rumah Masih Ditanggung Pemerintah, DJP Harap Ekonomi Meningkat

Biaya pajak masukan yang tidak dapat dikurangkan menjadi masalah yang harus diselesaikan. Komisi Eropa berjanji untuk melakukan modernisasi aturan PPN untuk jasa keuangan pada 2022 dan 2023.

Dengan semua aspek yang sedang dipertimbangkan Komisi UE tersebut, jalan menuju pasar tunggal UE yang kuat dan antipenipuan hanya akan tercapai jika para anggota satu suara dalam memberlakukan UU perpajakan UE.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 16:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Punya Usaha Kecil-kecilan, Perlu Bayar Pajak Enggak Sih?

Jumat, 18 Oktober 2024 | 19:05 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DPR Sebut Penundaan Kenaikan PPN 12% Bisa Bangkitkan Kelas Menengah

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja