Ilustrasi. Warga mengusung gunungan saat kirab Merti Tirta Amerta Bhumi di Situs Liyangan kawasan lereng Gunung Sindoro Desa Purbosari, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (15/10/2023). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/nz
JAKARTA, DDTCNews - Sejak era Kerajaan Hindu-Buddha hingga Kerajaan Mataram Islam, tanah yang berada di dalam wilayah kerajaan adalah sepenuhnya milik raja. Raja juga memiliki kewenangan untuk menarik pajak dari tanah-tanah yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyat.
Namun, ada beberapa jenis tanah yang dibebaskan dari pungutan pajak. Pada era Mataram Islam, tanah bebas pajak ini disebut sebagai tanah perdikan (merdeka). Tanah perdikan secara umum berkaitan dengan tempat-tempat suci keagamaan atau balas jasa raja kepada seseorang yang dinilai berjasa terhadap kerajaan.
"Tanah [perdikan] ini dibebaskan dari kewajiban-kewajiban penyerahan hasil bumi dan tenaga kerja. Penetapannya dilakukan melalui pemberian piyagem [surat keputusan] dengan cap kerajaan (Juwono, 2011)," mengutip hasil kajian yang ditulis Hendri Gunawan dan Muhammad Anggie Farizqi berjudul Kisah Dua Tanah Perdikan: Perubahan Status Wilayah Bebas Pajak di Kerajaan Mataram Islam Abad VIII dan Kerajaan Siam Abad XX.
Berdasarkan latar belakang penyerahan dan sifatnya, tanah perdikan di Era Mataram Islam terbagi menjadi 4 jenis (Tauchid, 2009).
Pertama, pamijen (geprivelieerden dorp), yakni tanah yang diberikan raja kepada seseorang yang dianggap berjasa. Raja memberi damang, selaku pemilik tanah, hak-hak istimewa atas tanah dan tenaga kerja yang berlaku secara turun-temurun.
Kedua, pesantren (godsdienteschooldorp), yakni tanah yang diberikan raja kepada seorang ulama yang dianggap berjaga. Pesantren dapat didirikan di lahan kosong maupun tanah yang sudah masuk dalam lingkungan desa.
Kyai demang selaku pemimin pesantren memiliki hak istimewa untuk memanfaatkan tanahnya demi membiayai operasional pesantren, di samping yang didapat dari pungutan para santrinya. Kyai demang juga dibebaskan dari pajak dan kewajiban kerja kepada raja.
Ketiga, keputihan atau mutihan (vrome liedendorp), yakni tanah yang dibebaskan dari pajak seperti tanah pesantren. Tanah ini diserahkan oleh raja kepada golongan putihan (kaum ulama) dan digunakan untuk kepentingan agama Islam.
Keempat, pakuncen, yakni tanah yang dibebaskan dari pajak karena di dalamnya terdapat makam keramat para raja, wali, dan orang-orang terpandang. Demang pakuncen ditugasi raja untuk merawat dan menjaga kekeramatan serta kehormatan makam.
Tanah Perdikan Dihapuskan
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan tanah perdikan dihapuskan melalui UU 13/1946. Aturan penghapusan tanah perdikan juga dipertegas melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor B/P/13/I/7. Beleid itu menyeragamkan seluruh desa di Indonesia dan menghapus keberadaan desa-desa perdikan yang memiliki kedudukan istimewa. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.