OPINI PAJAK

4 Alasan Kenapa Insentif PPnBM Kendaraan Bermotor Kurang Efektif

Selasa, 16 Februari 2021 | 11:31 WIB
4 Alasan Kenapa Insentif PPnBM Kendaraan Bermotor Kurang Efektif

Rinida, pegawai swasta

PANDEMI Covid -19 telah memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap berbagai industri Tanah Air, termasuk industri otomotif. Berdasarkan data ASEAN Automotive Federation (AAF), angka penjualan mobil di Indonesia mengalami penurunan yang paling tinggi di ASEAN, yaitu sekitar 50%.

Keadaan ini direspons oleh Kementerian Perindustrian dengan mengajukan usulan relaksasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor pada 2020.

Tujuannya untuk mendorong percepatan pemulihan industri otomotif dan diharapkan dapat memberikan efek domino terhadap sektor pendukung otomotif lainnya. Namun, usulan ini ditolak Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita pada Oktober 2020.

Namun belakangan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam siaran pers tanggal 11 Februari 2021 mengumumkan pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa penurunan tarif PPnBM untuk kendaraan bermotor.

Pemberian insentif ini akan diberikan dalam tiga tahap selama 9 bulan. Tahap pertama Maret-Mei 2021 akan diberikan insentif PPnBM 100%, tahap kedua Juni-Agustus 2021 akan diberikan insentif PPnBM 50%, dan tahap ketiga September-November 2021 akan diberikan insentif PPnBM 25%.

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pemulihan industri dan perdagangan otomotif mengingat kontribusinya terhadap PDB Indonesia yang cukup besar, yaitu Rp199 triliun dan Rp272 triliun (BPS, 2021).

Selain itu, industri otomotif memiliki rantai pasok yang panjang dan melibatkan 1,5 juta tenaga kerja sehingga kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memberikan multiplier effect pada sektor pendukung lain.

Contohnya, industri bahan baku otomotif seperti baja, busa, kulit sintetis, plastik, dan kaca. Terlebih lagi, negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand juga telah menerapkan insentif sejenis untuk mendorong industri otomotifnya.

Kurang Efektif
TERLEPAS dari harapan di atas, perlu dipertimbangkan beberapa potensi yang dapat menyebabkan kebijakan insentif ini kurang efektif dalam pelaksanaannya. Pertama, potensi terjadinya kanibalisme terhadap sektor perdagangan mobil bekas.

Insentif penurunan tarif PPnBM atas kendaraan bermotor akan memperkecil perbedaan harga antara mobil baru dan mobil bekas. Hal ini dapat memengaruhi konsumen dari yang semula ingin membeli mobil bekas menjadi mobil baru, sehingga menyebabkan terpuruknya pasar mobil bekas.

Kedua, potensi kecemburuan sosial dan rasa ketidakadilan dalam masyarakat. Selama pandemi Covid-19, pemerintah telah memberikan berbagai insentif ke masyarakat berpenghasilan rendah, seperti bantuan langsung tunai, insentif pegawai dengan upah di bawah Rp5 juta, dan kartu pra kerja.

Berbeda dengan insentif sebelumnya, insentif PPnBM untuk kendaraan bermotor ini ditujukan untuk golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019, tarif PPnBM untuk kendaraan bermotor sampai dengan 3.000 cc dimulai dari 15%.

Jika harga mobil baru Rp200 Juta, berarti insentif PPnBM yang diberikan Rp30 juta. Angka ini jauh lebih besar dari insentif yang diterima masyarakat berpenghasilan rendah. Kesenjangan inilah yang dinilai berpotensi menyebabkan kecemburuan sosial dan rasa ketidakadilan dalam masyarakat.

Ketiga, insentif PPnBM tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh para spekulan. Periode pemberian insentif yang cukup singkat memungkinkan pemanfaatan oleh spekulan untuk mengeruk keuntungan di masa mendatang.

Para spekulan akan membeli dan menumpuk mobil saat masa insentif berlaku, lalu menjualnya saat masa insentif berakhir dan harga mobil kembali normal. Hal ini dapat mengganggu kondisi pasar perdangangan otomotif di kemudian hari.

Keempat, ada risiko insentif PPnBM tidak dimanfaatkan. Hal ini karena tren penghasilan masyarakat menurun selama pandemi dan terdapat kecenderungan menabung karena kondisi yang belum pasti terkait dengan Covid-19, sedangkan kendaraan bermotor merupakan kebutuhan tersier.

Selain itu, kebutuhan atas kendaraan juga berkurang karena PSBB dan banyak pekerja yang bekerja dari rumah. Meski pemberian insentif kendaraan bermotor ini diharapkan dapat memberikan jump-start terhadap perekenomian 2021, tetapi pelaksanaannya harus dilakukan hati-hati.

Selain rencana dilakukan evaluasi setiap 3 bulan, pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi yang tepat dan pengawasan yang ketat terhadap pemberian insentif ini. Sosialiasi yang tepat diperlukan untuk meredam potensi gejolak kecemburuan sosial dan rasa ketidakadilan dalam masyarakat.

Pengawasan yang ketat perlu untuk mencegah pemanfaatan insentif ini oleh pihak tertentu seperti spekulan. Dengan sosialiasi, pengawasan, dan evaluasi yang baik diharapkan kebijakan ini menjadi langkah yang tepat bagi pemerintah dalam membangkitkan kembali perekonomian Indonesia.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Jumat, 20 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dorong Pertumbuhan Ekonomi, DJBC Tawarkan Fasilitas Kepabeanan

Jumat, 20 Desember 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Insentif Cuma untuk Mobil Listrik dan Hybrid, Ternyata Ini Alasannya

Rabu, 18 Desember 2024 | 09:01 WIB KURS PAJAK 18 DESEMBER 2024 - 24 DESEMBER 2024

Kurs Pajak: Bergerak Dinamis, Rupiah Masih Melemah terhadap Dolar AS

BERITA PILIHAN