Aris Rudianto
,DIGITALISASI makin masif. Tak pelak, upaya menuju kematangan digital (digital maturity) menjadi diskursus menarik di berbagai dimensi ekonomi, tidak terkecuali sistem perpajakan. Gradasi digital maturity masyarakat pada saat ini akan menjadi titik penentuan kebijakan yang perlu diadopsi untuk memperkuat ekosistem perpajakan.
Dalam laporan terkait dengan administrasi perpajakan yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2022, penggunaan digital channel sebagai media pembayaran pajak di negara maju dan berkembang tumbuh sebesar 27% secara tahunan.
Artinya, pandemi terbukti mendorong transformasi digital menjadi sebuah kenormalan baru. Masih menurut laporan tersebut, 90% dari administrasi perpajakan global telah menggunakan data science dan analytical tools. Lebih 70% telah menerapkan artificial intelligence dan machine learning.
Pada level domestik, jumlah wajib pajak yang berselancar online untuk membayar pajak juga meningkat secara eksponensial. Artinya, upaya untuk membumikan teknologi ke dalam urat nadi sistem perpajakan sifatnya mendesak untuk dilakukan.
Perkembangan digitalisasi ekonomi juga memunculkan potensi penerimaan. Pada kondisi saat ini, ketika ruang fiskal makin ketat akibat kenaikan imported inflation dan penurunan harga komoditas, windfall profit tax dari perkembangan ekonomi digital memang layak dipertimbangkan.
Sekarang lah waktu yang tepat untuk meningkatkan penerimaan pajak dari ekonomi digital. Ada momentum pemulihan ekonomi dan peningkatan stimulus untuk digitalisasi.
Contoh, program adopsi teknologi digital 4.0 UMKM oleh Kementerian Kominfo yang diharapkan menjangkau 70.000 pelaku usaha pada 2024. Program tersebut mendorong implementasi penggunaan teknologi 4.0, seperti big data, QR code payment, blockchain, dan augmented reality.
Namun, memang perlu racikan kebijakan yang tepat. Sebab, langkah yang salah akan berisiko mengikis porsi pendapatan pajak dari ekonomi konvensional. Hal ini mengingat pelaku usaha ekonomi digital dan ekonomi konvensional boleh jadi entitasnya sama atau masih berhubungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, yang pertama dan utama adalah penguatan teknologi. Jika ekonomi digital adalah ‘tambang emas’ maka teknologi adalah ‘alat keruknya’. Tidak hanya untuk menyempurnakan administrasi, tapi juga untuk mewujudkan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan. Bagaimana caranya?
Teknologi perpajakan tidak selalu soal instrumen supercanggih dan padat modal, tetapi juga tentang desain kebijakan yang efektif untuk menambah basis pajak. Hal ini pada akhirnya bermuara untuk memperbaiki rasio pajak.
Adopsi big data, artificial intelligence, dan machine learning rasanya bukan lagi sebuah terobosan yang outstanding. Hal ini sudah menjadi kenormalan baru pada era 4.0. Sejalan dengan marwah pajak sebagai alat redistribusi kekayaan, optimalisasi teknologi dalam sistem administrasi harus disertai dengan dorongan terhadap individu atau badan untuk naik kelas.
UNTUK memperluas basis pajak ekonomi digital, termasuk e-commerce, diperlukan peran dari perbankan. Hal ini mengingat transaksi yang dilakukan melalui e-commerce pada saat ini juga menggunakan jasa perbankan dan fintech.
Sinergi dengan seluruh institusi keuangan adalah kunci untuk membuat gebrakan masif yang inklusif. Selain itu, sinergi dengan beberapa working group yang berfokus pada digitalisasi atau akses keuangan, seperti Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) dan Tim Percepatan Dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) perlu dilakukan.
Untuk mendorong wajib pajak individu dan badan naik kelas, pemerintah bisa memberikan skema insentif perbankan. Wajib pajak baru dan existing yang membayarkan pajak melalui fintech atau perbankan akan mendapatkan insentif berupa hak penawaran pembiayaan oleh perbankan.
Selain itu, track record pembayaran pajak juga dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian credit scoring perbankan maupun fintech. Sinergi yang apik ini setidaknya akan mendorong 2 hal, yakni peningkatan basis pajak dan kenaikan kapasitas usaha karena ada pembiayaan perbankan atau fintech.
Ada adagium tak seorang pun senang membayar pajak. Melalui penerapan skema insentif berupa pembiayaan di atas, rasanya adagium tersebut dapat terpatahkan.
Adanya integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi single identity number (SIN) patut diapresiasi. Selain memudahkan masyarakat, kebijakan ini jelas akan memperluas basis pajak.
Mengutip data DJP, jumlah pemilik NPWP hanya 45 juta orang. Angka ini sekitar 16% dari total penduduk. Dengan adanya integrasi NIK dan NPWP, potensi pendapatan PPh dan PPN dari e-commerce dan sektor digital lainnya dapat didongkrak.
Pasalnya, digitalisasi telah merevolusi dikotomi sistem ekonomi desa-kota. Pelaku usaha di desa saat ini memiliki ‘semesta digital’ yang sama dengan di perkotaan, baik itu transaksi e-commerce, NFT, maupun transaksi digital lainnya. Dengan demikian, ada dorongan terwujudnya praktik administrasi perpajakan yang lebih adil dan merata.
Regulator harus senantiasa ahead the curve. Tsunami digital yang bersembunyi di balik punggung pandemi hanyalah awal. Masih banyak tugas rumah terkait dengan aspek perpajakan yang menunggu untuk diselesaikan.
Tugas rumah yang dimaksud antara lain penanganan shadow economy, pengaturan transfer pricing, penanganan dampak dari bonus demografi ke depan, dan sebagainya. Kita perlu memproyeksikan apa saja yang akan terjadi setelah gelombang digital terjadi. Dengan demikian, orkestrasi sistem administrasi perpajakan dapat lebih awal dipetakan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Terima kasih atas informasinya, sangat membantu para masyarakat yang mulai aware terhadap perkembangan teknologi. Perlahan, Indonesia akhirnya mulai implementasi teknologi yang canggih semacam Virtual Reality bahkan Metaverse. a href”https://iptek.co.id/”Jasa Augmented Reality/a terutama Indonesia pun diharapkan mulai semakin banyak digunakan di era Global.