KEBIJAKAN PAJAK

Potongan Fee untuk Driver Ojek Online Tinggi, Sudah Termasuk Pajak?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 29 Agustus 2024 | 18:11 WIB
Potongan Fee untuk Driver Ojek Online Tinggi, Sudah Termasuk Pajak?

Massa yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON) berunjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (29/8/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/tom.

JAKARTA, DDTCNews - Driver ojek online (ojol) menyayangkan tingginya potongan aplikasi yang dibebankan kepada mitra driver. Selama ini upah yang mereka terima dipotong 20% hingga 30% untuk disetorkan kepada aplikator. Hal ini menyebabkan pendapatan bersih yang diterima menjadi makin sedikit.

Sebenarnya, pemerintah membatasi potongan biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15%. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KP-667/2022. Hanya saja, ada potongan-potongan biaya lainnya yang membuat pendapatan driver makin kecil.

“Perusahaan aplikasi menerapkan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15%,” bunyi ketetapan kedelapan Kepmenhub KP-667/2022, dikutip pada Kamis (29/8/2024).

Baca Juga:
Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Sebagai informasi, terdapat beberapa jenis potongan aplikasi pada tiap pesanan ojek online, di antaranya potongan biaya layanan aplikator, biaya jasa aplikasi, hingga biaya perjalanan aman. Jika ditotal, seluruh potongan yang dibebankan kepada driver melebihi 15%.

Tingginya potongan fee yang ditanggung driver itulah yang menjadi salah satu penyebab aksi off bid driver ojol se-Jabodetabek pada hari ini. Mereka menuntut pengurangan potongan fee yang dibebankan.

Jika dilihat lebih terperinci, ternyata potongan fee yang dibebankan kepada driver belum termasuk pajak. Lantas, bagaimana perlakuan pajak untuk pengemudi ojek online?

Baca Juga:
Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Pajak Penghasilan Driver Ojol

Pada prinsipnya, driver ojol selaku mitra aplikasi ditawarkan dua skema penghitungan pajak penghasilan (PPh). Pertama, menggunakan rezim PPh final UMKM sebesar 0,5%. Kedua, menggunakan skema normal dengan ketentuan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan mengikuti tarif pajak Pasal 17 UU PPh.

Jika memilih skema pertama, basis pemajakan berdasarkan peredaran bruto atau omzet usaha yang kemudian dikalikan dengan tarif 0,5%. Sementara itu, jika memilih skema kedua maka wajib pajak baru membayar pajak setelah pendapatan di atas PTKP.

Kendati begitu, perlu diingat bahwa 2024 ini merupakan tahun terakhir penggunaan PPh final 0,5% bagi wajib pajak orang pribadi yang sudah terdaftar lebih dari 7 tahun atau sudah menggunakan fasilitas PPh final UMKM sejak 2018. Artinya, mulai tahun depan, pengemudi ojek online yang tak lagi menggunakan tarif PPh final 0,5% bisa menjalankan kewajiban pajaknya menggunakan tarif umum PPh Pasal 21.

Baca Juga:
Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Wacana Pajak Ojol dan Online Shop

Pada 2023, sempat muncul wacana pemungutan pajak ojol dan online shop (olshop) yang disampaikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Namun, wacana kebijakan ini menuai masukan dari sejumlah pihak.

Director of Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji menilai wacana ini sebaiknya dirampungkan di ranah pemerintah pusat ketimbang pemerintah daerah (pemda). Menurutnya, pemda tidak memiliki kewenangan untuk mengenakan pajak atas ojek online ataupun online shop.

Hal tersebut disebabkan daftar jenis pajak yang diatur dalam Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) bersifat closed list.

Bawono menambahkan apabila pemda berencana menerapkan pajak atas transaksi digital termasuk ojek online dan online shop maka ada 2 hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, kebijakan yang disusun tidak boleh menimbulkan pajak berganda. Kedua, basis dari jenis pajak yang menjadi kewenangan pemda tidak boleh bersifat mobile atau mudah berpindah. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Heriyansyah 01 September 2024 | 23:28 WIB

Coba bikin skema pajak ojol.. Yg bener contohnya yg jelas ya...? Jangan ngasal... Butuh contoh yg real di lapangan... Kalo media ini ( ddtc.co.id ) Tidak buta... Lihatlah dengan nyata tidak asal asalan...

Heriyansyah 01 September 2024 | 23:23 WIB

Ada 2 skema Kalo yg 0.5% itu darimana omzetnya? Dari uang yg diterima setelah potongan dari Aplikator..? Atau setelah di potong biaya bensin+biaya perawatan+biaya cicilan mobil (biaya produksi atau biaya operasional) Lalu yg kedua Untuk skema Ke2 di hitung darimana ?menggunakan PTKP pph21 pengurangan nya seperti apa? Pendapatan bersih uang setelah bawa kerumah? Biasanya jika pendapatan bersih driver setelah di potong oleh Aplikator senilai 500rb maka pendapatan bersih dalam sehari itu 250rb bisa dibawa pulang ke rumah... 500rb dikurangi bensinnya 50% dari pendapatan jadi 250rb... Itu juga belom makan di jalan... Biasanya kalo mau irit makan sekali di jalan, sebelum berangkat makan pagi di rumah... Makan siang di jalan... Lalu makan malam jam 23.00 dirumah... Ini baru bisa irit. Dari 250rb disisihkan buat penyusutan dan perawatan mobil 50rb.. jadi terima bersih 200rb kasih istri... Apakah pemerintah tega majakin supir ojek online... Tolong pencerahannya..

Firman Syah 31 Agustus 2024 | 11:48 WIB

Gak di pungut pajak saja nasib driver udah susah, apalagi di tambah pajak. Pungutan pajak bisa menjadi celah alasan aplikator memotong pendapatan driver.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Reformasi Berkelanjutan DJBC, Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru