Gesti Utariyanti
,FENOMENA crazy rich tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia saat ini. Crazy rich adalah labelisasi yang diberikan kepada orang superkaya karena memiliki kelebihan harta. Julukan ini tidak hanya ditujukan kepada pengusaha besar, tetapi juga sosialita dan artis papan atas (Kwan Kevin,2013).
Maraknya fenomena crazy rich diawali sejak orang-orang superkaya memamerkan gaya hidup mereka, mulai dari cara berpakaian, penggunaan barang-barang branded, dan postingan kehidupan dalam akun sosial media.
Jumlah orang superkaya di Indonesia terus meningkat meskipun perekonomian dihantam pandemi virus Corona selama dua tahun terakhir. Dalam Knight Frank Wealth Report 2021, populasi orang superkaya atau ultra high net worth individuals (UHNWI) di Indonesia pada 2021 sebanyak 1.403 orang.
UHNWI merupakan orang yang memiliki kekayaan bersih lebih dari US$30 juta atau Rp431 miliar (kurs Rp14.370 per dolar AS) (Capgemi,2017). Jumlah UHNWI di Indonesia diproyeksikan terus meningkat hingga 29% pada 2026.
Sementara itu, jumlah populasi high net worth individuals (HNWI) atau individu dengan kekayaan mencapai US$1 juta ke atas mengalami penurunan hingga 5% secara tahunan, dari 86.651 menjadi 82.012 orang. Namun, HNWI Indonesia diproyeksikan terus naik hingga sebesar 63% dalam lima tahun ke depan.
Proyeksi perkembangan jumlah UHNWI atau HNWI di Indonesia tersebut tentu saja menyiratkan potensi besar dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Hingga saat ini, pemerintah tidak memajaki kekayaan, tetapi penghasilan yang diperoleh tiap orang pribadi.
Tidak mengherankan jika upaya penggalian potensi PPh dari wajib pajak orang pribadi terus dijalankan Ditjen Pajak (DJP). Maklum, hingga saat ini, penerimaan pajak masih lebih banyak ditopang dari setoran wajib pajak badan.
Berdasarkan pada Laporan Kinerja 2021 DJP, PPh badan berkontribusi sebesar 15,5% dari total penerimaan negara. Sementara PPh orang pribadi nonkaryawan hanya 0,96%. Dengan realisasi penerimaan pajak senilai Rp1.277,5 triliun, kontribusi penerimaan PPh orang pribadi nonkaryawan hanya Rp12,35 triliun.
Sementara itu, kontribusi penerimaan PPh orang pribadi karyawan sekitar 11% atau Rp149,7 triliun. Fakta tersebut dapat ditafsirkan kelas pekerja masih menberi ‘subsidi’ orang kaya karena belum optimalnya mekanisme pengumpulan penerimaan dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan alias orang kaya.
Kondisi ini berbeda dengan struktur penerimaan pajak negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi di negara-negara ini tercatat lebih besar dibandingkan setoran wajib pajak badan.
DJP telah membentuk satu unit kantor yang khusus mengelola wajib pajak orang-orang kaya di Indonesia, yaitu KPP Wajib Besar Empat. Sayangnya, dilihat dari aspek keterjangkauan, unit tunggal yang terpusat memiliki kelemahan.
Kelemahan itu adalah kurang optimalnya pengawasan terhadap orang-orang kaya lainnya yang tersebar secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Namun, hal ini tidak berarti DJP harus membentuk unit pengelolaan baru untuk wajib pajak orang-orang kaya berdasarkan wilayah.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, DJP dapat mengoptimalkan pengawasan dan pemeriksaan wajib pajak orang-orang kaya yang tersebar di berbagai wilayah. Pengawasan dilakukan oleh para petugas di kantor wilayah sesuai dengan persebaran orang-orang kaya.
Petugas itu harus memahami dengan baik tentang pola kegiatan bisnis. Hal ini dikarenakan karakteristik orang-orang kaya memiliki kompleksitas proses bisnis. Otoritas dapat memanfaatkan big data untuk mengetahui kegiatan dan mengawasi perilaku orang-orang kaya melalui serangkaian analisis.
Hasil yang diharapkan adalah bisa dilakukannya pendeteksian berbagai jenis fraud. Kemampuan otoritas pajak harus konsisten ditingkatkan guna melahirkan budaya organisasi data-driven culture dalam merumuskan strategi dan kebijakan.
Di samping kemampuan dalam analisis big data, kemampuan untuk berkoodinasi serta berkolaborasi dengan pihak-pihak eskternal juga krusial. Kebutuhan data eksternal akan memperkaya analisis yang dilakukan karena sistem self assessment.
Hal tersebut berarti dalam pengujian kepatuhan wajib pajak, diperlukan adanya data pembanding dari pihak eksternal. Saat ini, data-data instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) yang memuat informasi terkait orang-orang kaya belum dapat diakses secara otomatis oleh otoritas pajak.
Belum ada sistem yang secara langsung terintegrasi dengan para pemberi data. Sesuai dengan teori ekonomi makro, konsumsi terwakili dari perbankan sedangkan investasi dari kepemilikan aset. Data pemerintahan dapat dilihat pada data Kantor Pelayanan Pajak Perbendaharaan Negara (KPPN).
Cara untuk mengetahui aktivitas ekspor dan impor didapatkan dari data pemberitahuan ekspor barang (PEB), pemberitahuan impor barang (PIB), dan devisa hasil ekspor (DHE). Berdasarkan pada kondisi tersebut, otoritas harus segera membangun sistem yang terintegrasi langsung dengan ILAP.
Kedua, DJP dapat menyediakan basis data khusus terintegrasi secara nasional untuk memuat daftar nama orang kaya lama yang telah terdaftar sebagai wajib pajak serta daftar nama baru yang memiliki potensi untuk dikategorikan wajib pajak orang kaya.
Berbekal daftar nama tersebut, otoritas dapat melakukan pengecekan status terdaftar atau tidaknya sebagai wajib pajak. Apabila belum terdaftar, DJP dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila sudah terdaftar, bisa dilakukan pencocokan data Surat Pemberitahuan (SPT).
Dengan adanya basis data khusus tersebut, otoritas dapat memproyeksikan penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan dari wajib pajak orang kaya dan orang yang potensial sebagai Wajib pajak orang kaya.
Dengan demikian, pemungutan pajak kepada orang kaya dapat meminimalisasi unnecessary high administrative cost bagi otoritas pajak serta mengoptimalkan penggunaan kapasitas teknologi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Bagus, inovatif dan kreatif. Tapi ya kalo dasarnya data apalagi membuat basis data tersendiri sepertinya sulit karena kualitas data terpusat kita masih belum singkron/lengkap/menyeluruh. Apalgi tentang harta 😼
mantaaappppp👍👍
Siip.... Crazy Rich harus diawasi pajaknya 👍👍
Luar biasa, topik yang sangat menarik dan sangat relatable dengan semakin bertambahnya populasi Jumlah Orang Kaya di Indonesia. Penulisan artikel disini dapat membantu membuka wawasan pembaca bahwa pentingnya pemberlakuan pajak bagi Orang Kaya, sebagai menambah wawasan untuk masyarakat awam. Semoga gagasab optimalisasi kebijakan ini membawa dampak positif bagi pemerataan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
keren artikelnya. sundul terus yuk biar crazy rich semakin sadar dan taat pajak👍
keren....mantabs dan memberi motivasi untuk crazy rich lebih bijak dan sadar akan pajak....untuk penerimaan negara👍👍👍
wah artikelnya keren😍makasii infonya kak
informasi dalam artikel sangat menarik dalam mengoptimalisasi pajak..👍
bagus artikelny...smngat ya mbak gesti...sukses yaaa😊
Mantaps mbak Gesti.....semangat😍💪