Anwar Saragih
, Simalungun, Sumatra UtaraHAMPIR seluruh negara di dunia mengalami penurunan penerimaan pajak pada masa pandemi Covid-19. Situasi ekonomi yang tidak sehat menjadi alasan pemerintah menunda pemungutan beberapa jenis pajak agar kehidupan ekonomi tetap berjalan.
Berkurangnya lapangan pekerjaan, penerimaan pajak pertambahan nilai dan cukai yang menurun, adalah beberapa hal yang menuntut pemerintah memformulasi kebijakan fiskal yang tepat. Ditambah dengan meningkatnya akumulasi utang, tidak ada pilihan lain kecuali berinovasi.
Apalagi rasio pajak hingga akhir 2020 ini diperkirakan 9,1%. Angka ini mungkin yang terendah dalam 20 terakhir. Capaian rasio pajak 2019 sebesar 10,6% dengan penerimaan pajak terbesar dari industri pengolahan, perdagangan, jasa keuangan, konstruksi, pertambangan dan transportasi.
Setidaknya dalam beberapa waktu ke depan Pemerintah Indonesia akan mengalami ketidakstabilan karena pengeluaran yang jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Sebaliknya, pendapatan yang kebanyakan berasal dari pajak akan mengerut.
Kebijakan fiskal menjadi salah satu instrumen yang bertujuan menciptakan output tinggi untuk laju pertumbuhan. Dengan asumsi bisnis perusahaan butuh dukungan finansial dengan pengangguran yang cenderung tinggi, pengeluaran sosial dalam menyikapi krisis sangat dibutuhkan.
Artinya, pandemi Covid-19 telah mendorong pemerintah melakukan ekspansi besar dalam bidang fiskal. Hal ini mungkin kurang populer, tetapi sangat urgen karena dukungan keuangan langsung pada masyarakat miskin harus dilakukan dalam menghadapi dampak buruk pandemi ini.
Pada Juni 2019, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp688,9 triliun. Saat itu, Indonesia terkena dampak perang dagang Amerika Serikat dan China. Pada Juni 2020, penerimaan perpajakan -9,2%. Perkiraan ini di luar harapan karena Perpres 54/2020 mengasumsikan pertumbuhan -5,4%.
Ada banyak tekanan yang menimpa dunia usaha. Negara tentu tidak bisa maksimal menggenjot penerimaan karena pada saat yang sama ada berbagai keringanan bagi dunia usaha, seperti pengurangan angsuran PPh 25, pembebasan PPh 22 impor, dan penurunan PPh.
Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara melakukan relaksasi pajak untuk mengatasi kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19 untuk memberikan dukungan likuiditas kepada bisnis agar tetap bertahan sekaligus memberikan bantuan pada masyarakat miskin dan rentan.
Ruang Fiskal
NAMUN, UU Nomor 17 Tahun 2003 memberikan ruang kepada pemerintah untuk melakukan eksplorasi kebijakan fiskal dalam menggenjot penerimaan. Hanya, pemerintah harus mempertimbangkan dampak buruk yang mungkin muncul karena situasi ekonomi yang sedang melemah.
Eksplorasi untuk menggenjot penerimaan itu perlu dilakukan karena upaya untuk bangkit dari krisis bisa membutuhkan waktu 5-6 tahun. Sebab, memulihkan penerimaan pajak membutuhkan waktu lebih lama daripada pemulihan memulihkan perekonomian secara umum.
Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, aplikasi layanan digital seperti Spotify, Netfix, Amazon, hingga Zoom perlu dieksplorasi secara efektif untuk menggenjot penerimaan. Tentu tanpa melupakan dukungan politik dan kolaborasi dengan negara asal aplikasi tersebut.
Kedua, sumber rutin penerimaan pajak harus tetap dipertahankan untuk mempertahankan basis pajak. Tidak hanya itu, sumber-sumber rutin tersebut tetap bisa menjadi basis penerimaan untuk mengamankan bantuan sosial pemerintah pada masyarakat terdampak pandemi.
Ketiga, relaksasi pajak sebaiknya mengedepankan sektor produksi. Regulasi pajak untuk barang-barang ekspor atau komoditas unggulan yang dibutuhan negara-negara lain seharusnya tetap stabil agar keunggulan komparatif Indonesia tetap terjaga.
Keempat, menerapkan kebijakan pajak yang adil untuk menutup defisit penerimaan. Hal ini terkait dengan penyesuaian batas pembayaran pajak oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sebaliknya, tarif progresif PPh orang kaya atau pajak yang berbasis atas kekayaan perlu dilakukan.
Kelima, pengenaan cukai bisa diperluas misalnya ke produk minuman berpemanis dan bahan bakar minyak. Memang, setiap kebijakan pajak tidak bisa berjalan sendiri. Perlu dukungan politik dan kerja sama semua pihak untuk menyelamatkan ekonomi, agar rakyat selamat melalui pandemi ini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Setuju dengan ide-ide dalam tulisan ini. Sinergi dari semua pihak diperlukan dalam meningkatkan penerimaan pajak dari sumber rutin dan eksplorasi sumber-sumber baru, dengan demikian pendapatan pajak dapat berkontribusi lebih dalam penyelamatan ekonomi dan rakyat dimasa pandemi ini.
Peran pemerintah memang sangat dibutuhkan sebagai pengatur, pengendali dan pemberi kebijakan dalam kegiatan ekonomi. Semoga beberapa solusi yang ditawarkan dalam artikel ini dapat menjadi referensi bagi pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi yang terjadi selama masa pandemi ini.
Saya setuju dengan tulisan ini dan berharap tulisan ini bisa dipertimbangkan oleh pemerintah. Negara sangat perlu menggenjot penerimaan pajak dalam upaya untuk bangkit dari krisis ekonomi di masa covid 19 ini. Terima kasih
Sepakat, bu..terima kasih responhnya..
soal ini saya sepakat tapi membutuhkan sebuah kepatuhan warga negara untuk mendukung program pemerintah ini..
Setuju bro...
Tidak mudah tapi harus diperjuangkan. Poinnya adalah setiap kebijakan dalam menggenjot penerimaan harus berdasarkan kajian dan tidak boleh sifatnya bar-bar. Harus ada kajian akademis yang dilihat berdasarkan pengalaman negara-negara lainnya yang pernah sukses mengimplementasikan kebijakannya.
Tulisan ini menarik, memang harus ada skenario dalam menggenjot penerimaan..
Tantangannya tentu tidak mudah...
Memang benar, sumber rutin penerimaan pajak harus tetap dipertahankan untuk mempertahankan basis pajak, tentu ini tidak mudah dilaksanakan tapi jika kebijakan dengan konsisten diambil niscaya pasti bisa.