SISTEM self-assessment yang dipilih Indonesia telah memberikan wajib pajak kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya ke kantor pajak. Sistem ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dengan kepatuhan pajak.
Besarnya peran yang diberikan kepada wajib pajak untuk melaporkan pajak yang harus dibayar memberikan celah bagi wajib pajak memanipulasi data, karena keterlibatan fiskus sebatas mengawasi dan tidak turut campur dalam proses perhitungan pajak tersebut.
Proses pembayaran pajak dan pelaporan itu juga kerap merepotkan wajib pajak, karena peraturan pajak yang sering berganti dan perhitungan pajak yang rumit. Di sisi lain, wajib pajak ditekan untuk membayar pajak tepat waktu dan akan dikenakan denda apabila terlambat menyetor.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya berbagai kasus korupsi yang dilakukan oknum Ditjen Pajak (DJP) sendiri. Akhirnya, wajib pajak enggan membayar pajak. Karena itu, perlu ada kemudahan administrasi, penyebaran informasi, dan transparansi penggunaan uang pajak.
Kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah dan bersifat paksaan karena denda dan pemeriksaan. Hal ini dibuktikan dengan tax ratio yang hanya 11,5%, di bawah rata-rata anggota OECD (34,2%), dan rata-rata kawasan Amerika Latin dan Karibia, juga Afrika yang masing-masing 22,8% dan 18,2%.
Oleh sebab itu, perlu diadakan reformasi sistem pemungutan pajak dengan kemudahan melalui teknologi atau digitalisasi. Tidak hanya dari sisi mekanisme pelaporan dan pembayaran, tetapi juga dari sisi transparansi penggunaan uang pajak.
Sejauh ini, berbagai inovasi teknologi telah dilakukan DJP dalam memberikan kemudahan pelayanan kepada wajib pajak. Sejak 2007, DJP telah menghadirkan e-filling dengan fitur penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara online.
Pada 2014, e-faktur hadir hingga 2016 pembayaran pajak dapat dilakukan secara online. Pada 2019 pun muncul e-Bupot untuk melancarkan pelayanan administrasi. Memang, masih banyak ada masalah dalam teknologi itu karena sistem yang belum sempurna atau sumber daya manusia yang minim.
Namun, melihat berbagai inovasi yang dihadirkan itu, terlihat DJP telah berusaha memudahkan wajib pajak untuk menunaikan kewajiban pajaknya. Sayangnya, DJP belum fokus pada sosialisasi aturan dan transparansi penggunaan uang pajak demi meningkatkan kepercayaan wajib pajak.
Selain itu, masifnya data dan informasi wajib pajak yang dimiliki DJP dengan sendirinya memberikan tanggung jawab besar dalam penggunaannya. Perlindungan data dan informasi wajib pajak mutlak diperhatikan untuk menciptakan digitalisasi administrasi pajak yang efisien, edukatif, dan aman.
Oleh karena itu, DJP perlu melakukan pembenahan atas berbagai aturan terkait dengan inovasi dan digitalisasi pelayanan administrasi pajak. Hal ini sekaligus merupakan langkah menjamin kepastian hukum dengan tetap memprioritaskan kepentingan wajib pajak.
Dengan menerbitkan aturan yang memihak kepentingan wajib pajak itu, secara perlahan tentu akan timbul kepercayaan masyarakat luas kepada DJP. Upaya DJP dalam mengamankan data wajib pajak ini tidak bisa diremehkan, karena yang dipertaruhkan adalah kredibilitas pemerintah.
Dengan demikian, digitalisasi pelayanan administrasi pajak tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk membangun itu semua dibutuhkan sistem sistem yang kuat, sumber daya manusia yang mumpuni, serta aturan hukum yang melindungi wajib pajak.
Akan tetapi, apabila hal-hal tersebut dapat terpenuhi, maka hasil dari pelaksanaan digitalisasi pelayanan administrasi pajak itu tidak hanya akan dirasakan wajib pajak, tetapi juga dinikmati oleh DJP dan meningkatnya perekonomian negara secara keseluruhan.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
bermanfaat sekali, membantu tugas kuliah saya. arigatou