Ketua Umum PBNU 2010-2020 Said Aqil Siradj.
SABTU, 14 September 2012, muncul berita mengagetkan dari Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, tempat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Beritanya: PBNU menyiapkan fatwa memboikot pajak.
Bergerak cepat, Jusuf Gunawan Wangkar, staf khusus Presiden, langsung mengontak Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Tak hanya kalangan istana, di Kementerian Keuangan, Dirjen Pajak Ahmad Fuad Rahmany juga kelabakan. Mereka merasa sangat kocolongan.
Said sendiri mengatakan para ulama NU di Munas itu memang sedang mengkaji ulang kewajiban masyarakat membayar pajak. Pasalnya, uang pembayaran pajak itu selalu dikorup, seperti terlihat dari meletusnya kasus Gayus Tambunan yang dilanjutkan oleh oknum-oknum lainnya.
“Hukum membayar pajak ini kita angkat terkait dengan korupsi besar-besaran di sektor pajak. Apakah kita tetap wajib membayar atau tidak. Jika dana pajak bisa dikelola dengan baik, kita dukung. Tapi jika hasilnya ternyata dikorupsi, bagaimana? Nanti para ulama akan merumuskan hukumnya,” katanya.
Menurut Said, PBNU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak akan ragu memboikot pembayaran pajak jika sistem perpajakan tidak berhasil dibenahi. “Kalau tidak dibenahi sungguh-sungguh, kami akan benar-benar menyerukan moratorium membayar pajak, boikot pajak, paling tidak kepada warga NU,” katanya.
Tanda-tanda PBNU akan memutuskan fatwa itu sebetulnya sudah muncul ke permukaan. Sebulan sebelumnya, Lily Chodidjah Wahid, adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga mantan Ketua Umum PBNU, bersama sejumlah ulama, telah mencanangkan maklumat menunda pembayaran pajak.
Maklumat itu dikeluarkan karena pemerintah tidak segera menyelesaikan pembayaran obligasi rekap. “Pajak yang berasal dari rakyat harus kembali ke rakyat. Bukan untuk membayar tanggungan bank. Jika tidak, kami akan menunda pembayaran pajak,” katanya di Pondok Pesantren Al Kamal, Blitar.
Kritik yang lain muncul dari kalangan DPR. Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, alumnus Himpunan Mahasiswa Islam ini, mengatakan sudah waktunya tindak pidana pajak dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dengan hukuman berat, sehingga memberikan efek jera bagi yang lain.
“Sudah waktunya korupsi pajak diklasifikasi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab negara dan rakyatlah yang paling dirugikan oleh kejahatan seperti itu. Dengan klasifikasi kejahatan luar biasa, hukuman terhadap pelakunya pun harus luar biasa alias maksimal, agar tumbuh efek jera,” katanya.
Memang, praktik korupsi pajak seringkali dikritisi oleh berbagai kalangan, termasuk para agamawan muslim. Lebih jauh dari itu, topik pajak sendiri di kalangan Islam pun masih diselimuti kontroversi. Topik itu juga jadi salah satu topik yang dihindari, baik dalam kajian, hadist atau di buku-buku klasik.
Kalangan yang menolak pajak mengambil dalil antara lain larangan agar tidak memakan harta sesama dengan cara yang batil, QS.[2]:188 dan QS.[4]:29. Kemudian hadist tentang pemungut Al Maks yang berbunyi, ”Sesungguhnya pemungut Al Maks (pemungut pajak) masuk neraka” (HR Ahmad 4/109)
Namun, kalangan yang menerima pajak juga mengambil dalil seperti QS [2]:177, dan QS. [6]:141. Ada pula hadist ”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais RA., Kitab Zakat, Bab 27, No.659-660 dan Ibnu Majah, kitab Zakat, Bab III, No.1.789)
Pertentangan antara kalangan yang pro dan kontra terhadap pajak memang belum akan berakhir. Masing-masing memiliki tafsir, pembenar, sekaligus pendukung sendiri-sendiri. Seperti masalah sosial yang lain, perdebatan tentang hal ini tentu masih akan berumur panjang.
Namun, kita tahu, rencana fatwa boikot pajak PBNU itu berakhir happy ending. Ternyata, tidak ada seruan memboikot pajak. Pemerintah hanya diminta lebih transparan dan bertanggungjawab atas penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran.
Pemerintah juga diminta mengutamakan kemashlahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak. Dan terakhir, PBNU diminta mengkaji kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan kedua poin di atas.
Selasa, 17 September 2012, rekomendasi tersebut diserahkan kepada Presiden. “Secara umum, saya menerima dan menyambut baik rekomendasi itu. Akan mengkaji, mempelajari dan menindaklanjuti,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat menutup Munas dan Konbes NU tersebut. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Om SAS ..kok diam saja sih.. maraknya korupsi duit utangan beban rakyat (pembayar pajak) ... malah nambalnya pakai utang.. mungkin bisa dikatakan hampir kelelep.. lho.