BEA METERAI

Dirjen Pajak: Tarif Memang Naik tapi Kami Kurangkan Objeknya

Muhamad Wildan | Senin, 30 November 2020 | 11:55 WIB
Dirjen Pajak: Tarif Memang Naik tapi Kami Kurangkan Objeknya

Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam webinar bertajuk Bea Meterai di Era Digital, Apa dan Bagaimana?, Senin (30/11/2020). (tangkapan layar Youtube BPPK Kemenkeu RI)

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan penetapan tarif bea meterai baru senilai Rp10.000 telah mempertimbangkan produk domestik bruto dan inflasi serta faktor sosial dan ekonomi masyarakat.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menegaskan meski tarif bea meterai naik dari sebelumnya yang hanya sebesar Rp3.000 dan Rp6.000, batas nilai dokumen yang wajib dipungut bea meterai juga ditingkatkan guna meringankan beban banyak masyarakat, terutama UMKM.

"Concern-nya tidak hanya meningkatkan tarif tetapi juga ada konsiderasi mengenai banyaknya masyarakat yang terdampak oleh bea meterai ini. Dengan demikian, kami atur pula mengenai batasan nilai dokumen yang wajib dilekati meterai," ujar Suryo dalam webinar bertajuk Bea Meterai di Era Digital, Apa dan Bagaimana?, Senin (30/11/2020).

Baca Juga:
Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Berdasarkan pada ketentuan baru UU 10/2020 tentang Bea Meterai, dokumen yang wajib dilekati meterai adalah dokumen yang memuat nilai uang di atas Rp5 juta. Batasan tersebut meningkat bila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.

Berdasarkan UU sebelumnya, dokumen dengan nilai uang senilai Rp250.000 hingga Rp1 juta dikenai bea meterai Rp3.000, sedangkan dokumen dengan nilai uang di atas Rp1 juta wajib dilekati meterai Rp6.000.

"Tarif memang naik tapi kami kurangkan objeknya. Transaksi di bawah Rp5 juta ini banyak dilakukan oleh UMKM sehingga kami dudukkan bahwa di atas Rp5 juta tidak kena bea meterai baik kertas maupun digital," ujar Suryo.

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung pun menerangkan kenaikan batasan pengenaan bea meterai ini akan semakin meringankan masyarakat dalam pembayaran langganan listrik PLN hingga pembayaran tagihan kartu kredit.

Dengan batasan nilai dokumen yang meningkat menjadi Rp5 juta, maka 90% bukti pembayaran PLN tidak lagi dikenai bea meterai. Menurut Bonarsius, hanya 10% bukti pembayaran PLN yang memiliki nilai di atas Rp5 juta.

Hal yang sama juga terjadi pada tagihan kartu kredit. Secara rata-rata, hanya 11% tagihan kartu kredit yang nominalnya di atas Rp5 juta. Dengan demikian, sekitar 89% tagihan kartu kredit nantinya tidak terutang bea meterai.

"Ini konteks yang dipertimbangkan pemerintah untuk meringankan masyarakat bawah. Dengan ini, mudah-mudahan masyarakat makin paham," ujar Bonarsius. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

04 Desember 2020 | 18:52 WIB

tujuannya agar penerimaan gak terlalu merosot.. krn dgn meterai nilai 3000 dan 10 ribu banyak yang lolos.. gak ditaati.. kecuali ketika menjadi alat bukti baru ditempel via kantor pos . perlu direnungkan..tuh.

04 Desember 2020 | 18:50 WIB

Harapannya bt gradasi progresif dari 5 ribu - 10 ribu - 15 ribu dan 25 ribu.. ada penecualiann yitu transaksi krn lalulintas uang bebas. .. namun transaksinya yng dikenakan. lalu yang mono peneganaannya untuk suatu tanda spt kartu kredit, SIM, Pasport, setifikat Tanah dll yng dianggap sbg legalitas kepemilikan atau tanda yang berharga.. yi cukup 10 rb saza.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan