Arles Ompusunggu
,PERBEDAAN pendapat antara wajib pajak dan fiskus mengenai penerapan arm’s length principle (ALP) atas transaksi afiliasi (transfer pricing) sering terjadi saat dilakukannya pemeriksaan. Sementara itu, identifikasi adanya skema transaksi afiliasi bermula dari pelaporan pada lampiran khusus 3A SPT 1771 mengenai Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa.
Dewasa ini, risiko transfer pricing semakin menjadi perhatian. Isu tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan (SE-15/PJ/2018). Dalam SE tersebut, ditetapkan indikator modus ketidakpatuhan wajib pajak.
Salah satu indikator tersebut adalah perencanaan pajak agresif yang mengindikasikan risiko transfer pricing. Berdasarkan SE-15/PJ/2018, terdapat tujuh risiko transfer pricing yang berpotensi untuk dilakukan pemeriksaan. Selain itu, perbedaan interpretasi atas definisi hubungan istimewa dan rentang kewajaran dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 22/PMK.03/2020 (PMK 22/2020) juga bisa menimbulkan sengketa di masa mendatang.
Wajib pajak dan fiskus yang berselisih paham terkait dengan risiko transfer pricing menyebabkan maraknya sengketa pajak pada saat ini. Padahal, sengketa pajak yang berlanjut ke tingkat keberatan dan banding di Pengadilan Pajak tidak selalu mudah diselesaikan karena masing-masing pihak bersikeras mempertahankan posisinya. Para pihak pun saling memberikan argumen dan bukti untuk meyakinkan penelaah keberatan dan hakim di Pengadilan Pajak.
Akibatnya, upaya untuk menyelesaikan proses sengketa pajak di tingkat keberatan dan banding cenderung memakan waktu lama. Jika ditelusuri, jangka waktu penyelesaian sengketa pajak sejak ditetapkan oleh DJP membutuhkan waktu hingga 24 bulan, yakni 12 bulan proses keberatan dan 12 bulan proses banding di Pengadilan Pajak. Proses ini bahkan bisa memakan waktu lebih lama apabila penyelesaian sengketa pajak berlanjut ke tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung.
Lantas, apakah ketentuan DJP mengenai koridor penanganan atas intrepretasi transaksi afiliasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UU PPh belum memadai?
Jawabannya tentu membutuhkan analisis yang komprehensif menyangkut tiga pihak. Pertama, DJP selaku pihak yang diwakili oleh fiskus, baik pemeriksa/fungsional, account representative (AR)/seksi waskon, maupun penelaah keberatan (PK)/keberatan. Kedua, wajib pajak bersama wakil atau kuasanya, yaitu konsultan pajak atau pengacara. Ketiga, pihak independen selaku pengadil, yaitu hakim di Pengadilan Pajak.
Sementara itu, ketentuan domestik yang digunakan fiskus saat melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi telah mengadopsi petunjuk yang ditetapkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Untuk mempercepat penyelesaian pemeriksaan transaksi afiliasi, terdapat pilihan prosedur alternatif yang perlu ditempuh. Prosedur alternatif itu, antara lain mekanisme pengungkapan ketidakbenaran dalam surat pemberitahuan (SPT), pengajuan prosedur advance pricing agreement (APA), serta pengajuan bimbingan teknis/reviu dan tim pembahas oleh tim pemeriksa.
Mitigasi Risiko
Kasus–kasus sengketa pajak menyangkut transfer pricing (sengketa transfer pricing) dari hasil pemeriksaan sebagian besar berasal dari dua jenis pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan wajib pajak yang melaporkan SPT lebih bayar. Kedua, pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko bottom up yang diusulkan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan top down yang diinstruksikan oleh Kantor Pusat DJP maupun Kantor Wilayah DJP. Dengan demikian, muara timbulnya potensi risiko sengketa transfer pricing seharusnya bisa ditangkal apabila wajib pajak segera merespons melalui komunikasi efektif dengan fiskus saat proses pemeriksaan sedang berjalan.
Dalam sengketa ini, data awal yang wajib disampaikan oleh wajib pajak adalah dokumentasi transfer pricing (TP Doc). Melalui dokumentasi yang terdiri dari dokumen lokal (local file) dan master file ini, dapat dilihat apakah transaksi afiliasi yang dilakukan oleh wajib pajak telah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau tidak.
Fiskus menekankan bahwa sistematika penyusunan TP Doc mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 213/PMK.03/2016 sebagai bagian dari rekomendasi OECD dalam BEPS Action 13. Akan tetapi, selain informasi yang wajib disajikan oleh wajib pajak dalam TP Doc, faktanya, bentuk baku dari TP Doc memang belum ditentukan secara spesifik.
Meskipun demikian, harus dipahami bahwa sejatinya penyusunan suatu TP Doc dibuat secara ex ante bagi wajib pajak yang menyelenggarakan dokumen induk dan lokal serta ex post bagi yang menyelenggarakan laporan per negara (county by country reporting/CbCr). Oleh karena itu, tanpa menunggu adanya surat perintah pemeriksaan pajak, seharusnya wajib pajak sudah menyiapkan dokumentasi mengenai dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atas transaksi afiliasi yang dilakukannya.
Salah satu pokok sengketa yang timbul dalam kasus transfer pricing adalah mengenai karakteristik usaha wajib pajak. Fiskus, dalam kasus ini pemeriksa, dapat saja menyimpulkan karakteristik usaha wajib pajak yang berbeda dengan yang tertuang dalam TP Doc wajib pajak.
TP Doc sendiri merupakan informasi awal yang dapat digunakan oleh pemeriksa. Selain itu, pemeriksa juga dapat melakukan pengamatan langsung terhadap proses bisnis wajib pajak. Hal tersebut kemudian dituangkan dalam rangkaian pertanyaan berita acara permintaan keterangan (BAPK), termasuk kelengkapan syarat perjanjian antarpihak terafiliasi, mata rantai transaksi, analisis rasio, analisis industri, serta analisis fungsi, aset, dan risiko.
Dalam melakukan asesmen terhadap kegiatan usaha yang dijalankan, baik fiskus maupun wajib pajak. perlu menuju suatu kesepahaman yang sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Alasannya, dalam proses selanjutnya, pemilihan metode pengujian transfer pricing utamanya didasarkan pada data dan informasi yang tersedia serta didokumentasikan.
Selain itu, perlu dipahami pula bahwa metode pengujian yang dilakukan oleh fiskus senantiasa harus disesuaikan dengan ketentuan penerapan PKKU. Dalam kasus ini, metode pengujian harus sesuai dengan ketentuan dalam PER-43/PJ/2010 jo. PER-32/PJ/2011.
Sebagaimana ditegaskan oleh Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji (2013), dalam proses penentuan harga, metode analisis yang digunakan bisa menjadi perdebatan karena transfer pricing bukanlah ilmu eksak. Akibatnya, bisa saja terjadi perbedaan interpretasi dalam penerapannya yang dapat berujung pada timbulnya sengketa transfer pricing.
Jika telah dicapai suatu kesepahaman pemilihan metode transfer pricing, tahap selanjutnya adalah (i) penentuan dan identifikasi data pembanding internal maupun eksternal, (ii) penentuan atau pemilihan tested party, (iii) penentuan penggunaan data beberapa tahun atau tunggal (multiple year atau single year), hingga (iv) proses penentuan harga atau laba wajar sesuai metode analisis yang digunakan.
Selain mitigasi atas risiko perbedaan penerapan prinsip PKKU atas transaksi barang berwujud, perlu juga dicapai kesepahaman mengenai kemungkinan terjadinya koreksi fiskal atas beberapa transaksi khusus. Pertama, transaksi terkait jasa intragroup. Kedua, transaksi harta tak berwujud, seperti royalti, paten, trademark, atau know how. Ketiga, transaksi jasa manajemen dari induk ke anak perusahaan.
Lebih lanjut, kesamaan pandangan dalam penentuan eksistensi, manfaat ekonomis, kewajaran secara akuntansi dan keuangan, serta aspek hukum atas transaksi khusus di atas juga penting untuk dicapai. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (7) PER-43/PJ/2010 jo. PER-32/PJ/2011 bahwa fiskus dan wajib pajak diharapkan mencapai satu pemahaman yang sama mengenai konsep penentuan eksistensi secara legal atas suatu transaksi harta tak berwujud
Setelah dicapai pemahaman yang sama atas eksistensi dan manfaat ekonomis, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh fiskus dan wajib pajak adalah melakukan analisis pembuktian kewajaran pembebanan transaksi tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi koreksi berganda dalam penentuan pembebanan transaksi yang dikategorikan sebagai pemberian jasa dari induk/afiliasi di luar negeri kepada anak perusahaan maupun grup perusahaan afiliasi di Indonesia.
Solusi Alternatif
Sebagaimana dikutip oleh Kristiaji dari Kimberly A. Clausing (2015), transaksi transfer pricing merupakan strategi profit shifting, di samping mekanisme debt shifting, yang lazim dilakukan oleh grup perusahaan dalam kelompok multinational company (MNC). Meskipun lazim, faktanya, konflik menyangkut transfer pricing yang terjadi saat pemeriksaan tidak selalu dapat diselesaikan antara fiskus dan wajib pajak.
Tidak hanya Indonesia sebagai tempat portofolio investasi dari perusahaan global. Negara domisili induk perusahaan juga mengalami kendala dalam menentukan pilihan pemajakan atas penghasilan perusahaan yang termasuk dalam transaksi afiliasi.
Melalui pemahaman yang sama antara fiskus dan wajib pajak terhadap asesmen atas transaksi afiliasi, terdapat beberapa alternatif penyelesaian sengketa transfer pricing yang perlu ditempuh.
Pertama, wajib pajak segera menyiapkan kelengkapan data dan informasi yang sinkron antara keterangan yang disajikan dalam TP Doc dengan situasi serta proses bisnis yang sebenarnya. Terutama terkait dengan kondisi karakteristik dan analisis kesebandingan yang harus sesuai dengan fakta. Dengan kata lain, antara das sein dan das sollen. Jadi, jika ada penelitian atau pemeriksaan di kemudian hari, sengketa fakta antara wajib pajak dan fiskus dapat dihindari.
Anak perusahaan di Indonesia juga harus mampu menjelaskan kondisi lingkungan usaha yang dihadapi dan menuangkannya secara gamblang dan transparan ke dalam TP Doc. Dalam kasus penyusunan TP Doc dibantu oleh konsultan, sebaiknya perlu ada brainstorming antara wajib pajak dengan konsultannya sebelum TP Doc tersebut disampaikan ke KPP bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan. Langkah ini dilakukan agar diperoleh kesamaan atas fakta yang didokumentasikan sekaligus sebagai informasi awal yang memadai ketika muncul pertanyaan atau permintaan penjelasan dari fiskus.
Kedua, wajib pajak dapat mengajukan prosedur alternatif percepatan penyelesaian pemeriksaan tanpa menunggu jangka waktu pemeriksaan berakhir. Langkah ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Yaitu, apabila fiskus telah mengkomunikasikan adanya temuan dari analisis transfer pricing, wajib pajak dapat segera mengajukan mekanisme pengungkapan ketidakbenaran dalam SPT yang disampaikan disertai dengan tambahan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar.
Ketiga, wajib pajak mengajukan APA sesuai ketentuan dalam PMK 22/PMK.02/2020 guna mendapat kepastian hukum atas transaksi afiliasi yang dilakukan oleh wajib pajak pada tahun mendatang. Perlu dipahami, APA adalah mekanisme pencegahan terjadinya sengketa transfer pricing karena kesepakatan yang dilakukan oleh fiskus dan wajib pajak menyangkut transaksi afiliasi pada masa mendatang.
Meskipun demikian, PMK 22/PMK.02/2020 juga memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan APA atas tahun pajak sebelum tahun pengajuan (roll back). Syaratnya, untuk tahun pajak tersebut, belum diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atau melewati daluwarsa penetapan dan penagihan pajak.
Keempat, pemeriksa pajak dalam jangka waktu pengujian pemeriksaan mengajukan asistensi bimbingan teknis pemeriksaan dan reviu ke Kantor Wilayah DJP maupun ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Pajak serta membentuk tim pembahas sebagaimana diatur dalam SE-15/PJ/2018. Tujuannya, agar terdapat kesepahaman dari sisi fiskus dalam menerapkan prosedur pemeriksaan yang akurat atas transaksi afiliasi.
Solusi alternatif yang telah disebutkan di atas patut dipertimbangkan oleh wajib pajak dan fiskus, dalam kasus ini pemeriksa pajak, guna mengurangi jumlah sengketa pajak yang diajukan ke Pengadilan Pajak. Tercatat, berdasarkan data tahun 2019 dari Sekretariat Pengadilan Pajak, jumlah sengketa pajak yang diajukan ke Pengadilan Pajak telah mencapai 12.888 berkas.
Sengketa pajak yang berasal dari penetapan hasil pemeriksaan transfer pricing dan berujung di Pengadilan Pajak sungguh menguras energi pihak-pihak yang bersengketa, baik waktu maupun biaya. Padahal, semakin lama proses penyelesaian sengketa pajak, semakin lama pula wajib pajak merasakan ketidakpastian. Alasannya, sebagaimana diungkapkan oleh Septriadi (2019): “justice delayed means justice denied”.
(Disclaimer)Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.