KEBIJAKAN PAJAK

Tekan Biaya Kepatuhan, Aturan Pajak di Pertambangan Perlu Lebih Simpel

Dian Kurniati | Rabu, 05 April 2023 | 19:00 WIB
Tekan Biaya Kepatuhan, Aturan Pajak di Pertambangan Perlu Lebih Simpel

Kepala Departemen Pajak PT Pamapersada Nusantara Ahmad Sihabudin Arbai saat memberikan paparan.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu terus memperbaiki ketentuan pajak di bidang pertambangan sehingga lebih berkepastian hukum.

Kepala Departemen Pajak PT Pamapersada Nusantara Ahmad Sihabudin Arbai mengatakan ketentuan pajak yang berkepastian dan sederhana tidak hanya memudahkan wajib pajak dan fiskus, tetapi juga bisa menekan biaya kepatuhan wajib pajak.

"Yang bagus adalah aturan perpajakan itu simpel sehingga menekan serendah mungkin compliance cost," katanya dalam MiningTalk Series Vol.21, Rabu (5/4/2023).

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Ahmad menuturkan ketentuan pajak di bidang pertambangan tergolong kompleks ketimbang sektor usaha lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan compliance cost yang harus dikeluarkan wajib pajak di sektor pertambangan juga terbilang tinggi.

Dia menilai penyusunan ketentuan pajak yang lebih berkepastian hukum akan efektif menurunkan compliance cost. Wajib pajak pun dapat lebih fokus menjalankan usaha sehingga lebih berkelanjutan dan dapat terus membayar pajak pada masa depan.

Selain itu, Ahmad juga berpendapat kepastian ketentuan pajak di bidang pertambangan juga dapat menekan potensi sengketa pajak. Menurutnya, sengketa kerap kali terjadi apabila terdapat perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan fiskus.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

"Kami harap pengaturan ke depan implementasi pajak ini bisa lebih pasti dan jelas sehingga peluang terjadinya sengketa bisa diminimalisasi. Sama-sama enak," ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, lanjut Ahmad, Indonesia telah mengalami perubahan rezim perpajakan. Menurutnya, perubahan peraturan perpajakan dapat menjadi tantangan tersendiri bagi industri di bidang pertambangan.

Misal, perubahan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kebijakan ini membuat adanya perubahan mekanisme jasa penambangan dari PPN yang tidak dipungut menjadi objek PPN.

Baca Juga:
Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Perubahan ini juga diharapkan dapat memperkecil restitusi PPN. Sebab, perusahaan tambang biasanya rutin memiliki lebih bayar pajak sehingga setiap bulan harus berurusan dengan pemeriksa untuk mengurusnya.

Kemudian, ada ketentuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang diatur dalam UU 7/2021 dan PP 55/2022. Lokasi tambang biasanya di area terpencil sehingga perusahaan memberikan berbagai jenis fasilitas untuk para karyawan.

Dengan berlakunya pajak atas natura dan kenikmatan, pelaku industri perlu mencermati fasilitas yang diberikan kepada karyawan di area tambang. Sayangnya, belum ada peraturan teknis yang mengatur secara detail pajak tersebut, termasuk periode transisinya.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Ahmad menyebut isu pajak alat berat juga menjadi hal yang kompleks. Jenis pajak ini awalnya sempat ditetapkan, tetapi kemudian dibatalkan setelah melalui gugatan uji materi.

Kini, pajak alat berat diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dia berharap pemerintah dapat membuat peraturan teknis yang lebih berkepastian sehingga tidak menimbulkan kebingungan dari industri.

"Bagi kami pelaku industri, yang penting adalah kepastian hukumnya. Jangan sampai ada pengaturan perpajakan yang mestinya tidak terjadi, tetapi ternyata justru terjadi, yaitu peraturan berlaku surut," tutur Ahmad.

Baca Juga:
Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Dia pun menyinggung ketentuan terkait dengan kapitalisasi biaya suku cadang (spare parts) yang masih menimbulkan multi interpretasi antara wajib pajak dan pemeriksa sehingga berakhir sengketa.

Menurutnya, pemerintah perlu membuat kejelasan definisi yang baku mengenai spare parts sebagai biaya atau merupakan harta yang dikapitalisasi.

Ahmad juga menyoroti perbedaan interpretasi kelompok penyusutan. Menurutnya, pemerintah dapat mempertimbangkan penambahan kategori baru di luar kategori yang sudah ditetapkan untuk jenis-jenis alat berat tertentu yang sesuai dengan utilisasi ataupun karakteristik alat berat. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra