Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menyampaikan closing remarks dalam webinar bertajuk Optimalisasi Kepatuhan Pajak Pelaku UMKM di Sektor Digital: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi.
JAKARTA, DDTCNews – Beragamnya tantangan optimalisasi kepatuhan pajak UMKM dalam ekosistem digital perlu direspons dengan berbagai solusi serta melibatkan kolaborasi antarpemangku kepentingan.
Hal tersebut telah dipotret DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) dalam Policy Note bertajuk Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM. Download Policy Note di sini.
“Ragam dan besarnya tantangan optimalisasi kepatuhan pajak UMKM dalam ekosistem digital adalah suatu kenyataan yang kita temukan. Bukan hanya dari sisi literatur, melainkan ketika kita melihat lebih dalam,” ujar Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji, Kamis (10/11/2022).
Saat menyampaikan closing remarks dalam webinar bertajuk Optimalisasi Kepatuhan Pajak Pelaku UMKM di Sektor Digital: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi, Bawono mengatakan beragam tantangan (multiple challenge) salah satunya muncul dari dilema UMKM pada kebijakan publik.
Dalam konteks ini, ada pertentangan antara perspektif kontribusi aktivitas ekonomi dan perspektif kontribusi pajak. Keduanya memberi tantangan dalam desain sistem pajak dan upaya optimalisasi kepatuhan pajak.
Kemudian, sambung Bawono, ada dilema optimalisasi penerimaan. Naiknya target penerimaan tiap tahun, terbatasnya data dan SDM otoritas, serta belum terbentuknya masyarakat melek pajak memunculkan paradigma lama, yakni mengesampingkan segmen UMKM. Paradigma ini perlu diubah.
Selain itu, tantangan yang juga penting menyangkut literasi dan biaya kepatuhan. Namun, ada modal baik optimalisasi kepatuhan. Pasalnya, mayoritas perilaku kepatuhan pajak pelaku UMKM berada pada 2 kelompok, yakni memiliki keinginan untuk patuh dan hanya patuh jika terdeteksi oleh otoritas.
“Jadi, lebih banyak butuh asistensi dan kemudahan,” imbuh Bawono.
Kompleksitas tantangan yang ada, sambungnya, harus direspons dengan berbagai terobosan dan solusi (multiple solution). Setiap solusi yang dijalankan perlu dibarengi dengan solusi lain agar dapat diaktualisasikan secara optimal.
“Multiple solution itu suatu keharusan. UMKM sebagai kelompok yang heterogen. Dengan demikian, solusi tunggal atau dominan pada suatu aspek belum tentu mengoptimalkan kepatuhan seluruh kelompok. Kita tidak bicara satu obat generik yang bisa menyelesaikan seluruh masalah,” jelasnya.
Terkait dengan solusi tersebut, menurut dia, perlu ada perubahan dari tax administration centric ke customer centric. Berdasarkan The International Survey on Revenue Administration (ISORA), pada 2020, sebanyak 63,1% dari 160 negara memiliki pelayanan khusus bagi UMKM.
Kemudian, bisa dipertimbangkan pula adanya rezim pajak khusus bagi UMKM, baik dari sisi PPh, PPN, maupun administrasi. Berdasarkan pada data ISORA, pada 2020, sebanyak 68,1% dari 160 negara memiliki rezim pajak khusus bagi UMKM.
Selain itu, dengan keterbatasan SDM, otoritas bisa memanfaatkan digitalisasi dalam administrasi pajak, seperti integrasi data, compliance risk management (CRM), pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan perkembangan non-cash economy.
Bersamaan dengan upaya tersebut, dibutuhkan paradigma baru mengenai literasi pajak sejak dini agar para pelaku UMKM siap ketika sudah tidak menggunakan lagi rezim khusus. Program business development services (BDS) sebenarnya membuat Indonesia sudah berada dalam jalur yang tepat.
Namun, masih ada beberapa tantangan yang tetap perlu diperhatikan, seperti keterbatasan anggaran dan persoalan intergrasi antar-unit teknis. Otoritas bisa juga mempertimbangkan pembentukan unit khusus UMKM dan simplifikasi pajak.
Bawono mengatakan berbagai solusi tersebut perlu dijalankan bersama antarpemangku kepentingan (multiple actor). Kerja sama dan kolaborasi tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam upaya optimalisasi kepatuhan pajak UMKM dalam ekosistem digital.
“DJP tidak bisa bekerja sendirian dan harus berkolaborasi. Namun, hubungan kerja seyogianya bersifat setara dan proporsional,” katanya.
Literasi pajak, lanjut dia, merupakan tugas bersama. Menurutnya, strategi literasi yang dilakukan pemerintah sudah berada di jalurnya, tetapi belum optimal. Perlunya mendorong peran kampus dan tax center. Selain itu, keterlibatan konsultan atau praktisi pajak juga perlu ditingkatkan.
Kemudian, kerja sama dengan penyedia platform marketplace. Terkait dengan hal ini, ada beberapa isu yang perlu diperhatikan, yakni menyangkut biaya kepatuhan, skema withholding tax dan legal remittance responsibility, level playing field, serta perlindungan data pribadi.
“Tentu saja UMKM sebagai stakeholder utama yang perlu dilibatkan,” ujar Bawono.
Selain itu, Bawono juga mengatakan roadmap tentang pajak UMKM sektor digital sangat penting. Roadmap dapat menjamin proses yang partisipatif dan akseptabilitas dari setiap pemangku kepentingan. Aturan main juga menjadi jelas.
Dengan adanya roadmap, semua pihak dapat mempersiapkan dari berbagai aspek, seperti hukum, infrastruktur, koordinasi, dan sebagainya. Risiko yang berpotensi timbul, seperti perpindahan ke platform lain karena ketidaksetaraan level playing field, juga dapat dihindari. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.