PANDEMI Covid-19 yang tengah merebak dinilai cukup mengganggu roda perekonomian. Beberapa lembaga kredibel dunia bahkan sampai ‘memangkas’ proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Hal ini dilakukan lantaran banyaknya guncangan yang terjadi di sektor keuangan dan sektor riil.
Kewaspadaan akan ancaman krisis pun kerap kali terlintas, tak terkecuali bagi para otoritas pajak di berbagai belahan dunia. Terlebih, berbagai fasilitas pajak untuk menangani dampak ekonomi dari wabah semakin gencar diberikan. Sementara itu, tekanan untuk menjaga stabilitas penerimaannya juga terus meningkat.
Tak ayal, strategi pemajakan yang tepat sasaran pun menjadi suatu prioritas bagi para otoritas kala ancaman krisis mulai terasa nyata. Beberapa strategi tersebut kemudian dijelaskan oleh John Brondolo dalam kajiannya yang berjudul ‘Collecting Taxes During an Economic Crisis: Challenges and Policy Options’.
Secara garis besar, publikasi yang terbit pada 2009 ini mengulas empat strategi utama untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak kala krisis. Beberapa strategi ini difokuskan untuk menyasar dua tujuan kebijakan, yaitu memperluas basis wajib pajak patuh serta meringankan beban para wajib pajak yang sebelumnya telah patuh.
Strategi pertama yang diungkapkan Brondolo adalah meningkatkan fungsi asistensi kepada para wajib pajak. Strategi ini meliputi beberapa kebijakan pajak seperti memastikan kelancaran stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, menyesuaikan sistem restitusi pajak guna mengurangi tekanan arus kas, hingga memberikan layanan yang proaktif bagi para wajib pajak berisiko tinggi.
Terkait dengan strategi pertama ini, Brondolo juga menggarisbawahi beberapa kebijakan yang justru dapat bersifat kontrproduktif di masa depan. Beberapa di antaranya ialah program amnesti pajak serta pemberian moratorium atas audit perpajakan.
Selanjutnya, strategi perpajakan di saat krisis yang kedua yaitu memberikan penegasan lanjutan terhadap sumber penerimaan pajak yang memiliki proporsi besar dan rentan untuk hilang. Salah satu contoh kebijakan yang umum digunakan oleh otoritas perpajakan berbagai negara dalam kaitannya dengan strategi ini ialah mengamankan penerimaan dari wajib pajak besar, termasuk dengan mengatur kembali sistem penilaian dan kontrol atas bisnis yang merugi terlalu besar.
Strategi ketiga yaitu melakukan reformasi perpajakan yang lebih mengakomodasi fungsi administrasi. Di satu sisi, strategi ini memberikan relaksasi kebijakan semacam berupa penghapusan tunggakan pajak bagi beberapa bisnis yang sangat terdampak krisis meskipun dengan kondisi dan persyaratan tertentu.
Namun, untuk menyeimbangkannya, Brondolo juga mencantumkan beberapa kebijakan lain untuk menjalankan strategi ketiga ini. Salah satunya ialah pemberian kewenangan kepada otoritas pajak untuk menghadirkan pihak ketiga yang mampu memberikan jaminan dan bukti atas suatu perkara perpajakan.
Terakhir, strategi keempat adalah meningkatkan komunikasi dan keterjangkauan. Bahasan strategi keempat ini sendiri merupakan salah satu yang cukup menarik. Hal ini dikarenakan Brondolo tidak hanya menegaskan strategi ini sebagai bentuk hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Lebih dari itu, ulasan Brondolo mengenai komunikasi ini juga mencakup tentang koordinasi unit internal otoritas pajak hingga sistem komunikasi kala krisis dengan para konsultan pajak.
Sebagai penutup, meskipun beberapa kebijakan sebenarnya sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia, tidak ada salahnya untuk menggali lebih lanjut strategi pemungutan pajak kala krisis lainnya sebagaimana yang dijabarkan dalam kajian ini. Terlebih, dengan kiprahnya selama puluhan tahun sebagai ekonom senior IMF, kapasitas Brondolo tentunya tidak patut diragukan lagi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.