PAJAK bukanlah perkara mudah dan sederhana yang hanya membayar dan melapor saja, melainkan akan diperiksa kebenaran perhitungan, penerapan peraturan, pembayaran, hingga pelaporannya. Karena itu, tak jarang mengurus pajak akan menimbulkan sengketa.
Secara tidak langsung, pajak telah memetakan hubungan antara Ditjen Pajak (DJP dan wajib pajak (WP) yang tak seirama. Fiskus dianggap ‘memeras’ pajak masyarakat. Sebaliknya, WP merasa ‘dikejar-kejar’ fiskus. Tidak jarang, banyak WP yang ‘kucing-kucingan’ jika bersinggungan dengan pajak.
Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2018, sengketa yang diajukan ke Pengadilan Pajak baik banding maupun gugatan pada 2017 mencapai 5.533 sengketa. Pada 2018 naik 57% menjadi 9.657 sengketa. DJP menang banding 40,26% dari 4.540 amar putusan, dan gugatan 53,55% dari 1.494 amar putusan.
Peningkatan jumlah sengketa ini menunjukkan tingginya sengketa yang tidak dapat diselesaikan di pengadilan dan luar pengadilan. Penyelesaian sengketa padjak i pengadilan tentu memerlukan waktu penyelesaian yang ekstra dan memakan biaya cukup besar.
Dengan demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan biaya waktu dan keuangan yang akan dikorbankan baik dari sisi fiskus dan WP. Apakah biaya tersebut sebanding dengan nilai sengketanya atau hanya menjadi beban anggaran saja.
Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa. ADR merupakan upaya penyelesaian sengketa pajak di luar pengadilan (nonlitigasi). Salah satu bentuk ADR yang dapat dipertimbangkan yaitu mediasi.
Dalam proses mediasi ini, para pihak yang bersengketa akan dibantu mediator sebagai penengah dalam melakukan perundingan guna mencapai kesepakatan bersama. Beberapa negara telah menggunakan mediasi untuk menyelesaikan sengketa perpajakan.
Salah satu negara yang dianggap sukses menerapkan mediasi adalah Australia. Pemerintah Australia memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan menyediakan mediator secara gratis kepada pihak yang bersengketa. Indonesia tentu dapat mencontoh Australia dalam menerapkan mediasi ini.
Mediator
SEBAGAI langkah awal, Pemerintah Indonesia harus menentukan terlebih dahulu pihak yang berperan sebagai mediator. Sebaiknya, pihak yang berperan sebagai mediator ini adalah pihak independen, yang dapat berasal dari kalangan akademisi atau praktisi yang memiliki kompetensi.
Sebenarnya pembentukan Tim Quality Assurance dalam proses pemeriksaan pajak serupa dengan rencana mediasi yang dicanangkan. Namun, pembahasan dengan Tim Quality Assurance dinilai tidak efektif, karena para anggotanya berasal dari lingkungan DJP yang tidak independen.
Sebagai percobaan, mediasi bisa dilakukan secara parsial terhadap WP tertentu, seperti WP di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Penanaman Modal Asing terlebih dahulu. Apabila dinilai efektif, proses mediasi dapat diperluas hingga merata kepada setiap WP termasuk WP orang pribadi.
Selain itu, pemerintah harus menjamin kerahasian data WP, dan kredibilitas mediator yang dipilih harus telah teruji dan dapat dipertanggungjawabkan. Mediasi dapat ditempuh sebelum sengketa diajukan permohonan ke Pengadilan Pajak.
Mediasi dapat berlangsung dalam 30-60 hari, sehingga para pihak dapat memanfaatkan mediator untuk memperoleh kesepakatan terbaik. Apabila mediasi ini berhasil, tentu akan menghemat biaya waktu dan keuangan serta meringankan beban pengadilan dalam menyelesasikan sengketa.
Untuk menyempurnakan sistem mediasi ini, perlu dilakukan evaluasi tahunan. Hasil mediasi dan putusan Pengadilan Pajak sebaiknya dapat dijadikan sebagai referensi dan acuan dalam menerapkan peraturan perpajakan, sehingga sengketa serupa kelak dapat dihindarkan.
Selain itu, semua pemangku kepentingan harus terlibat aktif dalam perumusan kebijakan, sehingga sengketa pajak akibat multitafsir peraturan dapat dikurangi. Dengan demikian, sengketa pajak bisa berkurang, kepatuhan WP dapat ditingkatkan, dan target penerimaan pajak dapat terealisasikan.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.