Ulwan Fakhri Noviadhista
, M.Ikom, peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)“BAPAK dan Ibu, terima kasih atas sedekah senyumnya hari ini. Andaikata senyum tidak cuma bisa jadi sedekah tapi juga bisa dipakai bayar pajak, pasti Indonesia isinya orang-orang yang suka senyum kayak bapak dan ibu, nih!”
Ah, mungkin aktivitas pengujian kepatuhan membayar pajak bisa lebih tidak menegangkan apabila interaksi di dalamnya dapat menyerempet hal-hal yang berbau humor.
Mengapa harus humor? Seperti yang dikemukakan William F. Fry, selaku profesor dari Stanford University sekaligus inisiator gelology (kajian ilmiah tentang tertawa), fungsi humor tak cuma akan mengurangi ketegangan fisik, tetapi juga psikis.
Senada, akademisi Stanford Graduate School of Business Dr. Jennifer Aaker dan Naomi Bagdonas dalam bukunya Humor, Seriously (2021) juga membuktikan humor berkorelasi positif meningkatkan kepercayaan (trust).
Untuk itu, strategi berhumor ini relevan untuk dapat diadaptasi dalam dunia perpajakan kita. Sebab humor bisa ikut menunjang ide besar penerapan paradigma modern perpajakan yang sudah diterapkan banyak negara, yaitu cooperative compliance.
Menurut OECD, cooperative compliance atau kepatuhan kooperatif adalah hubungan yang didasari kerja sama antara otoritas dan wajib pajak. Ia ditopang oleh tiga pilar utama yang mengakomodasi nilai-nilai semacam demokrasi dan penghormatan atas hak para wajib pajak: transparansi, pengertian, dan saling percaya (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, & Vissaro, 2019).
Saking pentingnya faktor rasa percaya itu, Director OECD Centre for Tax Policy and Administration Pascal Saint-Amans bahkan sampai menekankan “tax is all about trust”. Menurutnya, petugas pajak sangat perlu membangun hubungan positif yang berbasis pada kepercayaan.
Dalam literatur lain, yaitu studi tentang relasi petugas dan wajib pajak di Austria, terdapat suatu faktor yang ternyata memegang peranan penting sekaligus dianggap lebih humanis ketimbang pendekatan berbasis kekuasaan, yaitu rasa percaya implisit (implicit trust).
Dibandingkan dengan rasa percaya yang timbul dari hasil pemikiran logis wajib pajak (reason-based trust), rasa percaya implisit ini bisa dipupuk dari perlakuan-perlakuan yang tidak ada hubungannya dengan teknis (hard skill) perpajakan sama sekali.
Dalam penerapannya, implicit trust meliputi kemampuan berempati sampai ‘seremeh’ desain tampilan dokumen resmi yang menarik, intonasi suara yang bersahabat, atau menyunggingkan senyum di wajah (Gangl, Hartl, Hofmann, & Kirchler, 2019).
Di tengah euforia rasio kepatuhan SPT Tahunan 2020 yang mencapai 76,86% atau membaik dari tahun sebelumnya, momentum ini cocok dipakai untuk lebih menggencarkan lagi kepatuhan kooperatif. Harapannya, kualitas kepatuhan formal tersebut bisa sejalan dengan kepatuhan materiel.
Belajar dari studi terhadap negara-negara lain, momen perubahan paradigma menuju kepatuhan kooperatif bisa dimulai dari adanya keinginan otoritas untuk memperbaiki hubungan dengan wajib pajaknya.
Salah satu contohnya, bisa dengan mendobrak tembok penyekat otoritas dan para wajib pajak, yang sejauh ini memengaruhi tipikal interaksi yang lebih berorientasi kepada penerimaan.
Apalagi di masa pandemi dan adopsi teknologi informasi seperti sekarang, ketika pelaporan SPT sudah dilakukan secara daring. Tantangan untuk mendorong wajib pajak membayar pajak secara sukarela dan berlandaskan kepercayaan pun makin tinggi. Sementara itu, rasa percaya merupakan aspek emosional yang susah terbentuk, kecuali lewat interaksi yang humanis atau menggunakan aspek emosional.
Humor sebagai penunjang
Di Amerika Serikat, bahkan korporasi segagah Microsoft atau institusi segarang FBI saja memanggil Andrew Tarvin, seorang humor coach, untuk memberikan pelatihan implementasi humor di tempat kerja kepada tim internalnya.
Rasa-rasanya, terbuka kemungkinan jika otoritas pajak kita ikut mengadopsi strategi Tarvin demi memperkuat kemampuan berkomunikasi menggunakan humor, sehingga dapat memperlancar ide besar dari cooperative compliance. Strategi apakah itu? Perspektif humor.
Perspektif humor yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah aktivitas lempar-melempar lelucon, tetapi sebagai sebuah cara pandang baru untuk melakukan hal-hal yang sudah jadi rutinitas dan cenderung sudah ketinggalan zaman. Salah satu bentuk terapannya adalah mempersilakan senyum bahkan tawa hadir dalam ruang interaksi antara petugas dan wajib pajak.
Tidakkah humor dan kesan ‘tidak serius’ ini akan membuat petugas wajak kehilangan wibawa? Sepertinya tidak. Justru bukan strategi mempertahankan wibawa yang seharusnya diprioritaskan, melainkan komunikasi yang menyenangkan untuk membangun hubungan yang berbasis kepercayaan.
Dalam bukunya Humor That Works (2019), Tarvin mengeklaim dialog yang ditaburi senyum dan tawa bisa merekatkan hubungan secara emosional dan psikologis. Nah, dari sini, bakal terpercik rasa nyaman untuk berbagi, sehingga menimbulkan rasa percaya antar pihak yang sudah akrab tadi. Tujuan besarnya, tentu melenggangkan implementasi kepatuhan kooperatif.
Secara konsep, perspektif humor bisa dihadirkan lewat strategi-strategi komunikasi yang praktikal. Salah satu usul Tarvin adalah mewarnai dialog dengan pertanyaan-pertanyaan yang mampu menyentil gairah lawan bicara.
Misal, alih-alih melempar pertanyaan formal dan kaku seperti “Penghasilan Bapak/Ibu ini didapat dari bisnis apa?” kepada wajib pajak, mengapa tidak mencoba “Lagi bikin inovasi apa belakangan, Pak/Bu?”.
Ketika proses pertukaran informasi terjadi dari interaksi seremeh itu, benih-benih kepercayaan implisit dalam interaksi antara otoritas dan wajib pajak sudah mulai disebar. Nanti, menuainya bisa dalam beragam bentuk, sebut saja kooperatifnya wajib pajak dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam tenggat waktu yang singkat dan tepat.
Lantas, apakah inisiatif membangun kepercayaan wajib pajak sudah cukup sampai di sini saja? Paradoksnya, yang namanya kepercayaan itu susah sekali dibangun. Sudah susah dibangun, gampang pula runtuhnya.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran bagi otoritas pajak untuk merepetisi perilaku-perilaku untuk terus membangun kepercayaan wajib pajak sembari ditunjang dengan soft skill yang memadai untuk terus menjaganya, seperti teknik komunikasi, negosiasi, dan kemampuan berempati.
Betul, bahwa tidak mungkin mengandalkan perspektif humor saja dalam menjalankan tugas mulia sebagai otoritas pajak sambil menegakkan kepatuhan kooperatif. Namun, peran perspektif humor di sini bisa sebagai penunjang technical expertise para otoritas pajak untuk memberikan pendekatan yang berbeda daripada sekadar mengandalkan kekuasaan, seperti yang direkomendasikan oleh United Nations dalam Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries (2021).
Syahdan, ketika kombinasi technical expertise dan soft skill yang ditunjang perspektif humor ini bisa diterapkan, otoritas bakal menggandeng wajib pajak melangkah menuju hubungan baru, dari basic relationship yang bercirikan tingkat saling percaya yang rendah, menuju enhanced relationship atau yang kini sering disebut cooperative compliance dengan rasa saling percaya yang lebih dalam (Owens, 2012).
Intinya, kepercayaan dalam cooperative compliance ini berperan bak kunci untuk membuka dua pintu sekaligus yaitu dengan adanya kepercayaan terhadap masyarakat, kepatuhan kooperatif bisa diimplementasikan secara lebih menyeluruh.
Alhasil tidak hanya kepatuhan yang naik, tetapi juga penurunan tingkat sengketa. Nah, ketika sengketa sudah berkurang, wajib pajak pun bakal lebih percaya kepada otoritas hingga akhirnya penerimaan pajak bisa lebih optimal.
*Tulisan ini dibuat dari hasil diskusi dengan Danny Septriadi (praktisi pajak DDTC). Penulis dapat dikontak melalui alamat e-mail: [email protected].
(Disclaimer)Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.