Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memperkuat ketentuan antipenghindaran kewajiban akses informasi keuangan demi kepentingan perpajakan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (7/8/2024).
Penguatan ketentuan antipenghindaran kewajiban akses informasi keuangan demi kepentingan perpajakan tersebut dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 47/2024 yang memperbarui regulasi sebelumnya, yaitu PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 19/2018.
"PMK 70/2017…sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PMK 19/2018…belum mengatur ketentuan antipenghindaran sesuai standar pelaporan umum sehingga perlu dilakukan perubahan," bunyi bagian pertimbangan PMK 47/2024.
Dalam Pasal 30A ayat (1) PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 47/2024, ditegaskan setiap orang dilarang melakukan kesepakatan ataupun praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban-kewajiban yang diatur dalam UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (UU AEOI).
Setiap orang atau pihak tertentu yang dimaksud dalam pasal 30A ayat (1) termasuk LJK, LJK lainnya, entitas lainnya, pimpinan/pegawai LJK, pimpinan/pegawai LJK lainnya, pimpinan/pegawai entitas lain, pemegang rekening keuangan orang pribadi, pemegang rekening keuangan entitas, penyedia jasa, perantara, dan/atau pihak lain.
Apabila terjadi kesepakatan atau praktik yang bertujuan untuk menghindari kewajiban pertukaran informasi keuangan untuk keperluan pajak, praktik tersebut dianggap tidak terjadi dan kewajiban dalam PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 47/2024 harus dipenuhi oleh setiap orang dimaksud.
Tak hanya itu, pasal 30A ayat (4) pun mengatur setiap orang dilarang untuk membuat pernyataan palsu atau ataupun menyembunyikan informasi yang sebenarnya.
Bila terdapat indikasi pelanggaran atas pasal 30A ayat (1) ataupun ayat (4), DJP berhak melakukan penelitian lalu melakukan klarifikasi. DJP akan menyampaikan teguran tertulis jika klarifikasi tidak disampaikan dalam waktu 14 hari sejak diterimanya permintaan klarifikasi.
Selain ulasan mengenai PMK 47/2024, ada pula topik terkait dengan evaluasi pemberian insentif PPN rumah dalam tahun berjalan ini. Selain itu, ada pula ulasan mengenai permintaan insentif pajak dari Kementerian Perhubungan dalam rangka menurunkan harga tiket pesawat.
Merujuk pada Pasal 33 ayat (1) PMK PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 47/2024, jika berdasarkan teguran tertulis ternyata pihak-pihak tertentu belum memenuhi kewajiban AEOI atau terindikasi tetap melakukan pelanggaran, DJP dapat melakukan pemeriksaan.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan ditemukan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, DJP dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Selanjutnya, pemeriksaan bukti permulaan tersebut dapat dilanjutkan dengan penyidikan oleh DJP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Pemerintah berencana mengevaluasi pemberian insentif pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) atas pembelian rumah, yang kini diberikan sebesar 50%.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemberian insentif PPN DTP telah berdampak positif pada kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II/2024, terutama dari sektor konstruksi dan perumahan.
Pemerintah pun berupaya menjaga kontribusi sektor tersebut terhadap PDB pada kuartal III dan IV/2024. "Yang terkait dengan [insentif pajak untuk] konstruksi dan perumahan, akan kita evaluasi," katanya. (DDTCNews)
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengusulkan sederet kebijakan untuk menurunkan tiket pesawat terbang domestik.
Kepala Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Robby Kurniawan mengatakan harga tiket yang dibayarkan masyarakat terdiri atas komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
Menurutnya, insentif perpajakan dapat diberikan untuk menurunkan harga tiket pesawat tersebut. "Kebijakan ini [penurunan harga tiket pesawat] harus diambil secara lintas sektoral, tidak hanya oleh Kementerian Perhubungan sendiri," tuturnya. (DDTCNews)
Pemerintah tengah menyiapkan mekanisme baru untuk skema bagi hasil gross split (new gross split) di sektor hulu migas. Langkah ini diambil untuk menumbuhkan daya tarik investasi bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menyederhanakan komponen gross split sehingga dalam pelaksanaannya lebih implementatif. Sejalan dengan itu, pemerintah juga merampungkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 27/2017 dan PP 53/2017 terkait dengan perpajakan hulu migas dan pembebasan indirect tax, termasuk PBB tubuh bumi tahap eksploitasi.
"Kita juga akan memberikan insentif di kegiatan hulu migas dengan keputusan menteri untuk membuat keekonomian KKKS menarik," kata Menteri ESDM Arifin Tasri. (DDTCNews)
Ketika coretax administration system (CTAS) diimplementasikan, proses bisnis pembuatan faktur pajak dan bukti potong pajak turut berubah.
Dalam laman resminya, DJP menyatakan pada sistem yang digunakan saat ini, faktur pajak dan bukti potong pajak dibuat dengan menggunakan 2 aplikasi berbeda. Aplikasi yang disediakan DJP adalah e-faktur dan e-bupot.
“Dengan implementasi sistem yang baru, faktur dan bukti potong pajak dibuat dalam sistem coretax, dengan nomor seri faktur dan nomor bukti potong yang diberikan secara otomatis oleh sistem,” tulis DJP. (DDTCNews)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.