Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Sejumlah kebijakan yang akan masuk dalam omnibus law perpajakan memberi ‘efek samping’ dari sisi penerimaan dalam jangka pendek. Ditjen Pajak (DJP) telah menyusun langkah antisipasinya. Rencana DJP tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Senin (27/1/2020).
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan pada dasarnya langkah yang akan ditempuh tetap berada di dalam dua koridor, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Namun, era transparansi telah membuat ada pembeda dari tahun-tahun sebelumnya.
“Memang klasik sih, tetap ekstensifikasi dan intensifikasi, tapi cara kerjanya diperbarui dengan data sekarang ini untuk memperluas basis pajak,” katanya.
Salah satu kebijakan yang berisiko menekan penerimaan dalam jangka pendek adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% pada 2021 dan 22% pada 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga meminta agar DJP menyiapkan langkah antisipatif.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masalah pengenaan pajak digital. Apalagi, pada pekan lalu, Prancis akhirnya mengalah dan menunda penerapan pajak digital, setelah sebelumnya berselisih dengan Amerika Serikat (AS).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan optimalisasi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi (OP) akan menjadi upaya DJP untuk mengantisipasi ‘efek samping’ dari berbagai kebijakan – terutama penurunan tarif PPh badan – dalam omnibus law.
Menurutnya, ruang untuk meningkatkan basis pajak dari wajib pajak OP masih cukup besar. Selain itu, penerimaan dari WP OP, terutama nonkaryawan, dinilai tidak terlalu rentan dengan fluktuasi ekonomi global seperti penerimaan dari WP badan. (Bisnis Indonesia)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan pengenaan pajak atas kekayaan bersih dan pajak atas warisan sebagai bagian dari upaya peningkatan penerimaan pajak. Pajak warisan bisa dikenakan sekali ketika wajib pajak menerima harta warisan.
“Umumnya pajak ini bisa dijustifikasi ketika pemungutan PPh OP di suatu negara belum optimal sehingga atas penghasilan yang belum optimal dipajaki tersebut diakumulasikan pada kekayaan,” katanya. (Bisnis Indonesia)
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah meyakini kesepakatan multilateral ataupun global seperti OECD itu tentunya akan lebih mudah diterima para pihak dibandingkan aksi unilateral, terutama dalam konteks pajak digital.
Pemerintah masih akan terus mengikuti upaya pencapaian konsensus global. Berbagai pertimbangan juga akan diambil dalam rancangan omnibus law perpajakan. Dalam konteks ini, pemerintah sudah memutuskan berencana mengoptimalkan pengenaan PPN dalam transaksi digital. (Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan Indonesia perlu terus menyuarakan pentingnya konsensus terkait pajak atas ekonomi digital, terutama bagi negara-negara yang menjadi pasar produk-produk digital tersebut.
Menurutnya, tidak etis dan tidak bermoral jika suatu perusahaan digital tidak membayar pajak di tempat mereka memperoleh penghasilan. (Kontan)
Pemerintah memberikan insentif terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) serta kegiatan penyelenggaraan panas bumi. Insentif untuk hulu migas itu termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 217/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Insentif untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi tercantum dalam PMK No. 218/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Impor Barang untukKegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi.
Insentif yang diberikan oleh pemerintah atas dua kegiatan pertambangan tersebut adalah pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk keperluan kegiatan. (Bisnis Indonesia)
Selain untuk memperbaiki pelayanan, optimalisasi penggunaan teknologi oleh Ditjen Pajak (DJP) akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan otoritas akan berusaha memberikan pengawasan yang adil. Pemeriksaan, sambungnya, hanya betul-betul untuk wajib pajak yang tidak patuh.
“Kalau orang bandel ya diperiksa. Kalau orang patuh ya jangan diperiksa karena bagaimanapun diperiksa itu pasti rasanya tidak enak. Walaupun misalnya, yakin banget bayar pajak dengan baik, tapi namanya sebaik-baiknya pemeriksaan, tetap saja pemeriksaan itu tidak enak,” kata Yon. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.