UU HPP

Soal Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan, Kemenkeu Siapkan PMK Baru

Muhamad Wildan | Selasa, 30 November 2021 | 15:49 WIB
Soal Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan, Kemenkeu Siapkan PMK Baru

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan sedang menyiapkan ketentuan terkait dengan persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan EBITDA untuk keperluan penghitungan pajak.

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU PPh yang diubah dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menteri keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur batas jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak.

"Benar, bisa debt to equity ratio (DER), bisa EBITDA. Kami akan menggunakan EBITDA, PMK baru akan diterbitkan," ujar Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama, Selasa (30/11/2021).

Baca Juga:
WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Secara umum, Pasal 18 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan menggunakan metode yang lazim digunakan, sesuai dengan international best practice.

Metode yang dapat digunakan tersebut antara lain seperti metode perbandingan antara utang dan modal atau DER, perbandingan antara persentase tertentu dari biaya pinjaman dan EBITDA, atau metode lainnya.

Cakupan Pasal 18 ayat (1) UU PPh yang direvisi dengan UU HPP ini tergolong lebih luas ketimbang aturan sebelumnya. Sebelum direvisi, menteri keuangan hanya diberi kewenangan mengeluarkan keputusan mengenai besaran perbandingan utang dan modal atau DER.

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Besaran perbandingan utang dan modal atau DER Pasal 18 ayat (1) UU PPh telah ditetapkan pada PMK 169/2015. Pada PMK tersebut, DER ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1.

Ketentuan DER dalam PMK 169/2021 dikecualikan bagi 6 wajib pajak, yaitu wajib pajak perbankan, pembiayaan, asuransi dan reasuransi, wajib pajak yang bergerak di bidang migas atau pertambangan, wajib pajak yang seluruh penghasilannya dikenai PPh final, dan wajib pajak yang menjalan usaha di bidang infrastruktur. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja