UJI MATERIIL

Sidang Berlanjut, Ahli Anggap Pemeriksaan Bukper Tak Boleh Diatur PMK

Muhamad Wildan | Selasa, 17 Oktober 2023 | 15:15 WIB
Sidang Berlanjut, Ahli Anggap Pemeriksaan Bukper Tak Boleh Diatur PMK

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Usfunan (kanan) dan Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir (kiri).

JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang permohonan pengujian materiil atas Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP terkait dengan pemeriksaan bukti permulaan (bukper).

Dalam sidang hari ini, Selasa (17/10/2023), pemohon menghadirkan 2 ahli, yaitu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Usfunan dan Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir.

Menurut Jimmy, kewenangan menteri keuangan mengatur tata cara pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP tidaklah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.

Baca Juga:
WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

"Adanya delegasi langsung dari undang-undang ke peraturan menteri tanpa batasan pengaturan akan memberikan ruang penafsiran yang luas dan berakibat pada luasnya pengaturan dari yang dimaksudkan dalam undang-undang," katanya.

Menurut Jimmy, menteri selaku pembantu presiden seharusnya mendapatkan delegasi secara teknis dari presiden, bukan secara langsung dari undang-undang. Fungsi untuk menjalankan undang-undang seharusnya dilaksanakan oleh presiden, bukan menteri.

"Praktik delegasi mengatur dari undang-undang kepada menteri akan berdampak negatif terhadap kedudukan antarperaturan menteri sebagai akibat seolah-olah ada kasta dalam peraturan menteri. Ada peraturan menteri yang langsung didelegasikan undang-undang, ada yang didelegasikan PP atau perpres," ujarnya.

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Apabila praktik delegasi dari undang-undang ke peraturan menteri terus berlanjut, institusi bakal berlomba-lomba memasukkan delegasi pengaturan ke dalam undang-undang sehingga memberikan kebijakan yang seakan-akan besar kepada suatu institusi.

Menurut Jimmy, Pasal 43A ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP masih membuka ruang penafsiran yang lebar. Hal tersebut dirasakan secara faktual oleh wajib pajak dan tercermin dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

Sementara itu, Mudzakkir menuturkan tata cara pemeriksaan bukper yang diatur berdasarkan PMK seperti dimaksud pada Pasal 43A ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP seharusnya hanya mencakup peraturan teknis penggunaan wewenang pemeriksaan bukper semata.

Baca Juga:
Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

"Tata cara itu seperti kepolisian mengatur SOP. Kalau itu mengatur SOP saja, menurut ahli bisa diterima. Menurut ahli mestinya tata cara itu SOP. Ini [PMK] tata cara tetapi malah mengatur norma," tuturnya.

Dengan demikian, Mudzakkir memandang pemberian kewenangan kepada menteri keuangan untuk mengatur tata cara pemeriksaan bukper bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Lebih lanjut, ia juga menilai wewenang pemeriksa bukper dalam Pasal 8 ayat (3) PMK 177/2022 tak sesuai dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Baca Juga:
Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Menanggapi pandangan-pandangan tersebut, perwakilan pemerintah yang hadir dalam persidangan tidak menyampaikan pertanyaan kepada para ahli.

"Tanggapan akan kami sampaikan bersamaan dengan penyampaian kesimpulan," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja