Syadesa Anida Herdona
,Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya Danindya. Saya adalah wirausaha yang melakukan jual beli kendaraan bermotor bekas. Baru-baru ini saya mendengar adanya aturan turunan UU HPP baru terkait perlakuan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas.
Pertanyaan saya, seperti apa perubahan ketentuan PPN atas penyerahan kendaraan motor bekas dibandingkan dengan aturan yang lama? Adakah kewajiban PPN yang berubah? Mohon informasinya terkait hal tersebut. Terima kasih.
Danindya, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya Ibu Danindya. Menteri keuangan baru saja menerbitkan aturan turunan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terkait dengan ketentuan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas.
Beleid tersebut dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas (PMK 65/2022). PMK 65/2022 mengubah ketentuan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas yang sebelumnya dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu (PMK 79/2010).
Secara garis besar, terdapat 2 pokok perubahan utama yang dibawa PMK 65/2022. Pertama, mekanisme pengkreditan pajak masukan. Dalam Pasal 4 ayat (1) PMK 65/2022 disebutkan pajak masukan terkait penyerahaan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan.
Namun, apabila PKP melakukan penyerahan BKP yang pajak masukannya dapat dikreditkan dan tidak dapat dikreditkan maka penentuan pajak masukan merujuk pada Pasal 9 ayat (5) dan (6) UU HPP.
Sesuai Pasal 9 ayat (5) UU HPP, apabila jumlah penyerahan dari pajak masukan yang bisa dikreditkan dan yang tidak bisa dikreditkan dapat diketahui pasti dari pembukuan, PKP hanya mengkreditkan pajak masukan sesuai dengan penyerahan yang pajak masukannya bisa dikreditkan.
Akan tetapi, apabila PKP tidak dapat mengetahui secara pasti jumlah pajak masukan atas penyerahan yang pajak masukannya bisa dikreditkan atau tidak, PKP harus menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan. Ketentuan ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (6) UU HPP.
Adapun pedoman pengkreditan pajak masukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak (PMK 78/2010) s.t.d.t.d PMK 135/2014.
Berbeda dengan PMK 65/2022, besarnya kredit pajak masukan ditentukan secara tetap dalam PMK 79/2010. Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 79/2010, besaran pajak masukan yang dapat dikreditkan ditetapkan sebesar 90% dari pajak keluaran.
Kedua, penghitungan PPN terutang. Pada PMK 65/2022, PPN terutang dihitung dengan menggunakan besaran tertentu. Besaran tertentu yang ditetapkan sebesar 1,1% dari harga jual dan berlaku mulai 1 April 2022. Besaran tersebut merupakan hasil perkalian dari tarif PPN yang baru sebesar 11% dikalikan 10% dari harga jual.
Di sisi lain, pada PMK 79/2010, penghitungan PPN terutang berdasarkan pada perhitungan pajak keluaran dikurangi dengan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Dengan kata lain, tarif efektif yang dikenakan sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak (DPP), yaitu peredaran usaha.
Perbedaan mekanisme penghitungan PPN antara PMK 65/2022 dan PMK 79/2010 pada intinya mengarah pada substansi yang sama. Untuk lebih lengkapnya, berikut ringkasan perbedaan pengaturan PPN dalam PMK 65/2022 dan PMK 79/2010.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.