RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai perbedaan penentuan tarif royalti atas objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Dasar penentuan tarif royalti ini mengacu pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Australia yang telah disepakati kedua negara.
Otoritas pajak menyatakan pembayaran royati atas know how, patents, aplication software, dan trademarks dikenakan tarif sebesar 15%. Sebaliknya, wajib pajak berpendapat atas penyediaan know how oleh pihak ketiga untuk proses produksi dikenakan tarif 10%.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan wajib pajak. Hakim menetapkan tarif PPh Pasal 26 atas royalti pada sengketa ini seharusnya dikenakan sebesar 10%. Sementara, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK. Berikut ulasan selengkapnya.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan yang dilakukan oleh pejabat otoritas pajak tertanggal 11 Juni 2012.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa wajib pajak harus melakukan pembayaran royalti karena pemakaian know-how teknologi dari pihak ketiga untuk proses produksi kegiatan usahanya.
Majelis Pengadilan Pajak berdalil kegiatan tersebut merupakan objek pajak PPh Pasal 26 berupa know-how yang dikenakan tarif sebesar 10% sesuai P3B Indonesia - Australia. Majelis Hakim Pengadilan Pajak mempertimbangkan koreksi otoritas pajak tidak dapat dipertahankan. Selanjutnya, hakim menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Pemohon Banding.
Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.53179/PP/M.IIA/13/2014 tertanggal 17 Juni 2014, otoritas pajak mengajukan Permohonan PK ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 2 Oktober 2014.
Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi Pemohon PK atas PPh Pasal 26 masa pajak Januari sampai dengan Desember 2009 terkait dengan perbedaan tarif sebesar Rp821.466.423 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK melakukan koreksi pengenaan tarif PPh Pasal 26 sesuai ketentuan P3B Indonesia-Australia atas pembayaran royalti kepada pihak ketiga. Perlu diketahui, Termohon PK bergerak di bidang jasa peledakan khusus untuk pertambangan.
Berdasarkan Explosives Technology Licence Agreement antara Termohon PK dengan pihak ketiga diketahui bahwa Termohon PK membayar royalti atas know how, patents, aplikasi software, dan trademark.
Pemohon PK berdalih bahwa benar know how, application software dan pemakaian trademark merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun, untuk memperoleh know how, application software dan pemakaian trademark, Termohon PK terlebih dahulu harus mendapatkan lisensi untuk memanfaatkan patennya. Tanpa adanya lisensi, Termohon PK tidak bisa menjalankan kegiatan usahanya.
Termohon telah terbukti memperoleh hak dari pihak ketiga untuk memanfaatkan paten. Oleh karena itu, berdasarkan P3B Indonesia – Australia, pembayaran royalti dikenakan tarif PPh sebesar 15%. Menurut Pemohon PK, Majelis Hakim Pengadilan Pajak dianggap keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (contra legem) dalam memutus perkara.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan koreksi Pemohon PK, sebab royalti yang dibayarkan Termohon berhubungan dengan know how technology. Termohon PK berpendapat bahwa dalam rangka pemberian jasa peledakan kepada konsumen, dibutuhkan pengetahuan teknis dan dukungan teknologi. Oleh karena itu, Termohon bekerja sama dengan pihak ketiga.
Atas penyediaan “know how” oleh pihak ketiga dalam rangka proses produksi untuk menghasilkan unit produksi oksidan massal (bulk oxidizer), Termohon PK berpendapat bahwa hal tersebut sudah sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, pembayaran sehubungan dengan scientific, technical, industrial, atau commercial knowledge or information dikenakan tarif PPh Pasal 26 atas royalti 10% sesuai P3B Indonesia - Australia.
Pertimbangan Mahkamah Agung
ALASAN-alasan permohonan Pemohon PK atas koreksi Pemohon PK terkait PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan September 2009 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori PK oleh Pemohon PK, hal tersebut tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap di persidangan.
Dalam perkara a quo terikat dengan P3B antara Indonesia dan Australia. Berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis dan lex superior derogate legi inferior, pembayaran royalti terkait dengan pemakaian know how dikenakan tarif sebesar 10%.
Penggunaan tarif sebesar 15% adalah tidak benar. Oleh sebab itu, koreksi Pemohon PK dalam perkara ini tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
Majelis hakim menyatakan tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak dinyatakan ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK maka Pemohon PK merupakan pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara dalam PK.
Putusan dapat diakses melalui laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau disini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.