RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pembuktian atas koreksi pajak pertambahan nilai (PPN) terkait dengan penyerahan barang di dalam negeri.
Otoritas pajak berpendapat terdapat penyerahan barang dalam negeri yang belum dikenakan PPN. Selain itu, otoritas pajak juga menilai wajib pajak tidak beritikad baik untuk memberikan data dan informasi secara lengkap dalam proses pemeriksaan.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya telah memungut seluruh PPN atas penyerahan dalam negeri yang dilakukan. Wajib pajak juga menegaskan telah memberikan data dan keterangan yang diminta otoritas pajak secara lengkap.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 57818/PP/M.XVIIIB/16/2014 tanggal 27 November 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 Maret 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya koreksi positif penyerahan dalam negeri yang terutang PPN senilai Rp36.945.020.309 untuk masa pajak Januari 2008 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan data dan informasi yang diberikan Termohon PK.
Berdasarkan pada data dan informasi tersebut, diketahui terdapat perbedaan nilai per unit barang mulai dari persediaan awal, pembelian, pemakaian, dan penjualan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Pemohon PK menyimpulkan terdapat penyerahan barang dalam negeri yang belum dikenakan PPN.
Selain itu, Pemohon PK juga menyatakan dokumen yang disampaikan Termohon PK dalam tahap persidangan banding berbeda dengan dokumen yang digunakannya dalam proses pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 26A ayat (4) UU KUP, dokumen yang tidak diserahkan pada saat pemeriksaan tidak dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa di tahap keberatan dan selanjutnya.
Adapun dokumen yang diberikan oleh Termohon PK pada proses pemeriksaan, seperti jurnal pembelian, data penjualan, pengeluaran kas, dan buku persediaan, tidak dapat menunjukkan alur transaksi yang dilakukan Termohon PK.
Selain itu, Pemohon PK berpendapat Termohon PK tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 28 UU KUP dengan tidak mengikuti sistem akuntansi yang lazim dipakai di Indonesia. Hal itu menyebabkan dokumen dan bukti-bukti yang ada tidak dapat menjadi dasar penghitungan jumlah pajak terutang.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK berkesimpulan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak benar. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan pihaknya telah memungut PPN atas seluruh penyerahan dalam negeri yang dilakukannya. Selain itu, Termohon PK menyatakan telah menyerahkan seluruh informasi dan data yang dimilikinya kepada Pemohon PK pada tahap pemeriksaan, keberatan, ataupun banding.
Dokumen dan informasi yang diberikan oleh Termohon PK ialah invoice, bill of lading, packing list, bukti penjualan, dan surat jalan. Oleh karenanya, Termohon PK berkesimpulan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 57818/PP/M.XVIIIB/16/2014 yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan PK sudah tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK atas koreksi positif penyerahan dalam negeri yang terutang PPN senilai Rp36.945.020.309 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung, uji bukti yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar. Koreksi Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Oleh karena itu, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.