RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Jasa Periklanan Sebagai Objek PPh Pasal 23

Vallencia | Senin, 09 Januari 2023 | 16:21 WIB
Sengketa Jasa Periklanan Sebagai Objek PPh Pasal 23

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai jasa periklanan di media massa yang dianggap sebagai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 23.

Dalam perkara ini, wajib pajak bergerak di bidang usaha periklanan. Selama menjalankan usahanya, wajib pajak membayar jasa periklanan kepada PT X selaku perusahaan stasiun televisi dan radio. Atas transaksi tersebut, wajib pajak tidak memotong PPh Pasal 23.

Otoritas menilai pembayaran jasa periklanan dari wajib pajak kepada PT X termasuk objek PPh Pasal 23. Sebab, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, jasa periklanan di media massa tidak dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 23.

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan dalil otoritas pajak. Wajib pajak berpendapat jasa periklanan di media massa bukanlah objek PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, wajib pajak tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran jasa periklanan kepada PT X.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Baca Juga:
Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak yang Wajib Pajak Perlu Tahu

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Hakim Pengadilan Pajak berpendapat biaya jasa periklanan yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada PT X termasuk objek PPh Pasal 23.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.27015/PP/M.XI/12/2010 tanggal 9 November 2010, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Februari 2011.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 sehubungan dengan pemasangan, penyiaran, atau penayangan iklan di media massa yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Aturan Permintaan Suket Hal yang Jadi Dasar Surat Keputusan Keberatan

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK merupakan wajib pajak yang memiliki usaha di bidang periklanan.

Selama menjalankan usahanya, Pemohon PK melakukan kerja sama dengan PT X selaku perusahaan stasiun televisi dan radio. Kerja sama yang dimaksud ialah Termohon PK melakukan pemasangan iklan di stasiun televisi dan radio yang dimiliki PT X. Atas pemasangan iklan di stasiun televisi dan radio tersebut, Pemohon PK membayar biaya jasa periklanan kepada PT X.

Atas transaksi tersebut, Pemohon PK tidak memotong PPh Pasal 23. Sebab, Pemohon PK menilai bahwa jasa pemasangan iklan di media massa tidak termasuk objek PPh Pasal 23. Pendapat tersebut sejalan dengan SE-10/PJ.03/1998 yang menyatakan jasa periklanan di media massa tidak termasuk sebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23.

Baca Juga:
DJP Yogyakarta Jalin Kerja Sama Penegakan Hukum dengan Kejaksaan

Di samping itu, tidak terdapat peraturan perundang-undangan pada bidang perpajakan yang mengatur bahwa Pemohon PK harus menanggung PPh Pasal 23 yang tidak dipotong. Pemohon PK menjelaskan meskipun tidak memotong PPh Pasal 23, PT X tetap melaporkan penghasilannya dan membayar PPh badan.

Oleh sebab itu, jika Pemohon PK diminta untuk membayar PPh Pasal 23 yang tidak dipotong tersebut maka akan terjadi double taxation atau pemajakan berganda. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi dari pembentukan UU PPh itu sendiri. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, Pemohon PK tidak menyetujui koreksi DPP PPh Pasal 23 yang ditetapkan oleh Termohon PK.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan jasa periklanan termasuk objek PPh Pasal 23. Dalam Lampiran II PER-178/PJ/2006 disebutkan jasa lain merupakan objek PPh Pasal 23. Dalam konteks ini, Termohon PK menginterpretasikan jasa periklanan termasuk jasa lain yang dimaksud dalam ketentuan tersebut.

Baca Juga:
Sengketa Pajak atas Biaya Overhead dari Luar Negeri

Selain itu, PER-178/PJ/2006 tidak menyebutkan jasa periklanan dikecualikan dari objek PPh Pasal 23. Artinya, jasa periklanan tetap dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 15% dan dikalikan perkiraan penghasilan neto. Adapun penentuan besaran perkiraan penghasilan neto adalah 30% dari jumlah bruto dan tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Menurut Termohon PK, ketentuan dalam SE-10/PJ.03/1998 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, yaitu PER-178/PJ/2006. Dengan demikian, ketentuan SE-10/PJ.03/2013 yang menyatakan jasa periklanan di media massa tidak termasuk objek PPh Pasal 23 sudah tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu, Termohon PK tetap mempertahankan koreksinya.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Baca Juga:
Sengketa DPP PPN atas Penjualan Minyak Pelumas

Pertama, jasa pemasangan iklan di media massa merupakan objek PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, koreksi yang ditetapkan oleh Termohon PK sudah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.


(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Jumat, 31 Januari 2025 | 11:17 WIB PENGADILAN PAJAK

Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak yang Wajib Pajak Perlu Tahu

Sabtu, 25 Januari 2025 | 10:30 WIB KANWIL DJP DI YOGYAKARTA

DJP Yogyakarta Jalin Kerja Sama Penegakan Hukum dengan Kejaksaan

BERITA PILIHAN
Kamis, 06 Februari 2025 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

Tarif 9 Jenis Pajak Daerah yang Ditetapkan Pemkab Kutai Kartanegara

Kamis, 06 Februari 2025 | 10:30 WIB BELGIA

Uni Eropa Siapkan Retaliasi atas Kebijakan Bea Masuk Trump

Kamis, 06 Februari 2025 | 10:29 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

100 Hari Prabowo, Sri Mulyani Sebut Bea Cukai Lakukan 6.187 Penindakan

Kamis, 06 Februari 2025 | 10:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ayo Pahami Lagi Makna ‘Benar-Lengkap-Jelas’ dalam Laporan SPT Tahunan

Kamis, 06 Februari 2025 | 09:30 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Ekonomi 2024 Tumbuh 5,03 Persen, Sri Mulyani Beberkan Peran APBN

Kamis, 06 Februari 2025 | 08:55 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pakai NPWP 9990000000999000, Bupot Tak Ter-Prepopulated ke SPT Tahunan

Rabu, 05 Februari 2025 | 19:30 WIB BEA CUKAI PURWOKERTO

DJBC Cegat Mobil Penumpang di Banyumas, Angkut 280.000 Rokok Ilegal

Rabu, 05 Februari 2025 | 19:00 WIB CORETAX SYSTEM

Bukti Potong Dibuat Pakai NPWP Sementara, Perhatikan Konsekuensinya

Rabu, 05 Februari 2025 | 18:30 WIB PMK 136/2024

Definisi Pajak Tercakup Menurut Ketentuan Pajak Minimum Global

Rabu, 05 Februari 2025 | 18:17 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Pajak Minimum Global? (Update PMK 136/2024)