RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penentuan pihak penerima faktur pajak keluaran. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa wajib pajak merupakan penyedia jasa pengolahan gas alam menjadi gas cair atau disebut liquefied natural gas (LNG) kepada pihak PT X.
Otoritas pajak menilai bahwa penerbitan faktur pajak yang tujukan kepada pihak PT X dianggap tidak sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, sejak dibentuknya BP Migas, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak bagi hasil antara PT X dengan pihak lain telah beralih kepada BP Migas. Dengan demikian, BP Migas merupakan pihak yang seharusnya menerima faktur pajak yang dibuat oleh wajib pajak.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pembuatan faktur pajak keluaran yang ditujukan kepada pihak PT X sudah tepat. Sebab, dalam perjanjian telah disebutkan bahwa pembuatan invoice dan penyampaian faktur pajak keluaran ditujukan kepada pihak PT X. BP Migas bukanlah pihak yang disebutkan dan terikat dalam perjanjian.
Pada proses gugatan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan gugatan yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung kembali menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa dengan terbentuknya BP Migas, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak bagi hasil antara PT X dan pihak lain beralih kepada badan tersebut. Semua kontrak dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
Dengan demikian, dengan berlakunya UU Minyak dan Gas Bumi, faktur pajak keluaran seharusnya ditujukan kepada BP Migas. Sebab, PT X bukan lagi pemilik barang kena pajak (BKP) dan bukan sebagai kuasa pertambangan.
Majelis hakim menyatakan bahwa faktur pajak atas nama PT X dianggap telah salah dan tidak sah. Atas faktur pajak yang tidak sah tersebut, apabila pajak masukannya dikreditkan oleh pihak PT X maka berpotensi merugikan keuangan negara.
Dalam persidangan terdapat perbedaan pandangan (dissenting opinion) dari salah satu Hakim. Hakim tersebut berpendapat bahwa hubungan wajib pajak dengan PT X ialah hubungan perdata antara pemberi kerja dan penerima kerja.
Perjanjian dibuat mengikat pihak-pihak yang disebutkan dalam perjanjian. Oleh karena itu, sudah benar faktur pajak yang dibuat ditujukan kepada PT X, bukan BP Migas yang tidak terikat dengan perjanjian.
Atas permohonan gugatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan gugatan yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 66255/PP/M.XIA/99/2015 tertanggal 30 November 2015, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 Maret 2016.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah penerbitan STP Nomor 00005/107/05/081/13 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK merupakan penyedia jasa pengolahan gas alam menjadi gas cair kepada PT X.
Hal tersebut dibuktikan dengan tiga perjanjian yang disepakati pada 1974, yaitu Principles of Plant Lease Agreement dan Shareholders Agreement, Agreement for Use and Operation of Plant, dan LNG Processing Agreement.
Dalam perjanjian tersebut telah diatur terkait tanggung jawab Pemohon dan pihak PT X, ketentuan pengoperasian dan pemanfaatan kilang LNG oleh Pemohon, dan kegiatan pemrosesan gas bumi. Selain itu, dalam perjanjian juga diatur secara tegas terkait tata cara penerbitan invoice dan pembuatan faktur pajak keluaran oleh Pemohon yang ditujukan kepada PT X.
Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam perjanjian, dapat diketahui bahwa adanya transaksi yang terjadi antara Pemohon dengan pihak PT X. Atas transaksi tersebut, Pemohon PK wajib membuat faktur pajak keluaran yang ditujukan kepada pihak PT X.
Lebih lanjut, BP Migas tidak pernah menjadi salah satu pihak dalam perjanjian sehingga tidak terikat kesepakatan di dalamnya. Apabila Pemohon menerbitkan faktur pajak yang ditujukan kepada BP Migas maka Pemohon akan melanggar ketentuan yang disebutkan dalam perjanjian.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan bahwa pembuatan faktur pajak seharusnya ditujukan kepada PT X. Sebab, setelah terbentuknya BP Migas melalui UU Minyak dan Gas Bumi, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak bagi hasil antara PT X dan pihak lain beralih kepada BP Migas.
Semua kontrak dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan. Dengan beralihnya hak, kewajiban, dan kewenangan, faktur pajak keluaran seharusnya ditujukan kepada BP Migas, tidak lagi kepada PT X. Pihak PT X bukan lagi pemilik BKP dan bukan sebagai kuasa pertambangan.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa terdapat perbedaan penafsiran antara Pemohon PK dan Termohon PK. Alasan-alasan PK yang dikemukakan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Minyak dan Gas Bumi, badan yang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi telah beralih dari pihak PT X ke BP Migas. Artinya, semua hak, kewajiban, dan akibat hukum yang timbul dari kontrak bagi hasil juga beralih ke BP Migas.
Pihak PT X sudah bukan pemilik LNG dan tidak memperoleh manfaat atas barang atau jasa tertentu. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK dalam perkara a quo dinyatakan dipertahankan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.