DALAM seperempat abad terakhir, pemahaman tentang organisasi telah berkembang demikian pesatnya. Pendekatan yang semula diyakini ampuh untuk memahami organisasi, ternyata masih menyisakan ruang yang kemudian kian melebar hingga tak lagi memadai.
Dalam 25 tahun terakhir ini pula kita melihat bagaimana raksasa-raksasa bisnis yang sudah sedemikian lama menjadi pemimpin pasar, tiba-tiba terjungkal gulung tikar. Rumus-rumus lama yang dipakai oleh berbagai perusahaan untuk bertahan, praktis tak lagi ampuh mengatasi kerasnya persaingan.
Sebaliknya, perusahaan yang kelihatannya kecil, sepele, malah justru bisa bertahan, hingga akhirnya memimpin pasar. Sesuatu yang terlihat lemah malah sebetulnya memiliki kekuatan. Apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana memahami ini semua?
Buku berjudul The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create Dynamics of Innovation karya dua pakar bisnis Jepang Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takaeuci terbitan Oxford University Press tahun 1995 ini adalah upaya untuk memahami persoalan itu.
Pada bab I buku ini, Nonaka & Takaeuci langsung mengungkapkan kunci sukses perusahaan Jepang bersaing di kancah internasional, meski perusahaan Jepang bukanlah perusahaan yang sangat efisien, punya semangat kewirausahaan yang tinggi, atau mempunyai iklim kebebasan tinggi untuk berinovasi.
Penjelasannya tidak lain karena kemampuan dan keterampilannya ‘menciptakan pengetahuan dalam organisasi’. Dengan kemampuan itu, secara keseluruhan perusahaan dapat menciptakan pengetahuan & menyebarkannya ke seluruh lini organisasi, dan menerapkannya ke dalam produk, jasa, dan sistem.
Dari sinilah lalu inovasi dan daya saing lahir. Dengan kata lain, kemampuan menciptakan pengetahuan dalam organisasi mendorong terjadinya inovasi yang berkelanjutan. Dari inovasi tersebut, daya saing perusahaan Jepang pun dapat meningkat di kancah internasional.
Argumen ini sekaligus membantah perspektif yang datang sebelumnya terutama dari kalangan barat, yang melihat bahwa kunci keberhasilan perusahaan Jepang adalah melulu kemampuan perusahaan dalam meniru, beradaptasi dan sikap disiplin sekaligus efisien dengan berbagai perubahan situasi.
Pada bab berikutnya, Nonaka dan Takeuchi membicarakan fondasi teoritis dari pengetahuan dan bagaimana aplikasinya terhadap manajemen organisasi. Dalam konteks ini, pembahasan tentang pengetahuan berpijak dari teori pengetahuan (epistemologi); teori organisasi; dan teori inovasi.
Buku ini juga mereview bagaimana perspektif barat terhadap teori pengetahuan, dan apa saja perbedaannya dengan perspektif Jepang, terutama dari sisi tradisi filsafatnya, termasuk bagaimana kritik Jepang terhadap epistemologi barat terhadap teori pengetahuan.
Menurut, Nonaka dan Takeuchi, tradisi atau perspektif barat mendasarkan pengetahuannya pada rasionalisme sebagai sebuah proses mental yang ideal dalam menemukan kebenaran, dan empirisisme sebagai sebuah pengalaman dan penalaran dalam menemukan kebenaran.
Berbeda dari tradisi itu, meski tidak sepenuhnya menampik rasionalisme dan empirisisme dalam epistemologinya, konsepsi filsafat tradisional Jepang pada dasarnya lebih melihat pengetahuan dari sisi ‘kemanunggalan alam, tubuh, pikiran, diri sendiri dan liyan’
Melanjutkan basis teoritisnya pada bab 2, pada bab ketiga Nonaka dan Takeuchi menguraikan konsep inti penciptaan pengetahuan pada eksplisit dan tacit. Di sini diungkapkan 4 model atau kerangka konversi pengetahuan, dari tacit ke tacit, tacit ke eksplisit, eksplisit ke eksplisit, eksplisit ke tacit.
Menguraikannya lebih lanjut, bab ini membagi model konversi pengetahuan dari dua sisi, yaitu epismologikal dan ontologikal. Dengan model ini terlihat, penciptaan pengetahuan dalam organisasi adalah proses organisatoris yang memperkuat pengetahuan individu dan pengetahuan organisasi.
Ada beberapa contoh yang diungkapkan untuk memudahkan pemahaman, seperti kasus perusahaan NEC, Canon, Asahi Breweries, dan Fuji Xerox. Dengan jeli, buku ini menunjukkan bagaimana ide pokok mesin fotokopi Canon adalah produk konversi pengetahuan dari sebuah kaleng bir.
Dalam bab ini juga diuraikan model proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi , termasuk membahas bagaimana kondisi organisasi yang ideal untuk dapat mempromosikan proses penyebaran pengetahuan para personel organisasi yang menjadi dasar penciptaan pengetahuan dalam organisasi.
Matsuhita Electric
Pada bab empat, Nonaka dan Takeuchi menunjukkan argumen teoritis yang disampaikannya pada dua bab sebelumnya dengan contoh kisah perusahaan Matsuhita Electric. Kasus ini menunjukkan bahwa penciptaan pengetahuan berjalan secara berkesinambungan pada seluruh lini dan tingkat organisasi.
Matsuhita adalah produsen perlengkapan rumah tangga. Pada era 80-an, kinerjanya memburuk. Hampir tidak ada inovasi dan kreasi baru. Pasar yang kian jenuh juga membuat profit perusahaan terus berkurang. Melihat situasi ini, manajemen Matsuhita lalu mencanangkan agenda perubahan.
Perubahan diawali dengan perubahan tujuan perusahaan. Matsuhita mulai bergeser arah pasarnya dari peralatan rumah tangga yang sederhana ke arah peralatan rumah tangga berteknologi tinggi. Pergeseran tujuan serta pergeseran arah pasar menyebabkan perubahan besar dan mendasar.
Dari pemahaman itu lalu munculllah produk peralatan rumah tangga membuat roti. Pada awalnya, dalam proses penciptaan mesin tersebut, berkali-kali Matsushita gagal dalam percobaan, tapi mereka tidak berhenti mencoba. Mereka melakukan observasi, imitasi, dan praktik untuk memperoleh tacit.
Dalam proses itu, terbentuk 4 pola penciptaan pengetahuan dalam perusahaan, yaitu sosialisasi untuk belajar tacit; artikulasi untuk menerjemahkan tacit menjadi eksplisit; kombinasi untuk mewujudkan pengetahuan menjadi produk; dan internalisasi untuk memperkaya tacit melalui seluruh pengalaman.
Akhirnya, jadilah mesin pembuat roti otomatis yang pertama kali diciptakan di dunia. Pada tahun peluncurannya 1987, produk ini terjual 536.000 unit. Pada tahun kedua, 1988, produk pembuat roti otomatis ini sudah diekspor ke berbagai negara dan terjual lebih dari 1 juta unit.
Tidak berhenti di situ, keberhasilan mesin pembuat roti itu juga menunjukkan bahwa penciptaan pengetahuan tidak berakhir dengan terciptanya produk baru. Justru, hasil dari pengetahuan itu memicu perubahan besar pada sejumlah lini perusahaan, yang juga memulai proses berulang tadi.
Sejalan dengan keberhasilan itu, di perusahaan pun mulai berkembang konsep ‘manusia elektronik’ sebagai narasi besar Matsushita. Akibatnya, seluruh divisi mulai mengikuti konsep ini, yaitu bagaimana menciptakan produk elektronik yang sesuai dengan kebutuhan manusia.
Pada 10 Januari 2008, setelah melalui proses panjang pengulangan yang berkelanjutan dalam mengonversi pengetahuan personal menjadi pengetahuan organisasi—yang bermula dari mesin pembuat roti tadi—Matshusita pun mengubah namanya menjadi ‘Panasonic Corporation’.
Contoh dan implikasi dari penciptaan pengetahuan dalam organisasi ini masih diperdalam lagi pada tiga bab berikutnya. Tertarik membaca buku yang jadi bahan bacaan wajib mahasiswa pascasarjana ilmu administrasi ini? Silakan datang ke DDTC Library. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.