ANALISIS PAJAK

PPN atas Transaksi Digital Lintas Negara

Senin, 18 Mei 2020 | 11:40 WIB
PPN atas Transaksi Digital Lintas Negara

Puput Bayu Wibowo,
DDTC Consulting

PEMERINTAH Indonesia telah mempercepat ketentuan pemajakan transaksi digital melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (Perppu No.1/2020) serta peraturan pelaksananya melalui PMK No.48 Tahun 2020 (PMK 48/2020) yang diterbitkan pada tanggal 5 Mei 2020 lalu dan mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

PMK 48/2020 sendiri secara khusus mengatur tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tak berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri yang dimanfaatkan di dalam negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), mulai dari penunjukan pemungut, kewajiban pemungutan, penyetoran, hingga pelaporan PPN.

Di dunia internasional sendiri, dukungan serta rancangan mengenai penerapan PPN atas transaksi digital telah menjadi bagian dari fokus Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terkait isu pemajakan ekonomi digital, bahkan beberapa negara telah menerapkan kebijakan tersebut.

Urgensi Pemungutan PPN Transaksi Digital

Di Indonesia berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan yang terdapat dalam naskah akademik Perppu No.1/2020, total nilai transaksi barang digital yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia mencapai Rp 104,4 triliun.

Total nilai tersebut berasal dari berbagai bentuk transaksi digital, yaitu (i) sistem perangkat lunak dan aplikasi; (ii) game, video, dan musik; (iii) penjualan film; (iv) perangkat lunak khusus seperti untuk perangkat mesin dan desain; (v) perangkat lunak telpon genggam; (vi) hak siaran atau layanan televisi berlangganan; (vii) penerimaan dari media sosial dan layanan over the top (OTT). Dengan kata lain, terdapat peningkatan volume transaksi yang signifikan pada transaksi business-to-consumer atau consumer-to-consumer.

Sebagai pajak yang dikenakan atas konsumsi dan berbasis destination principles (prinsip destinasi), pertumbuhan nilai transaksi digital yang pesat ini telah menimbulkan kekhawatiran negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, terhadap besarnya potensi pendapatan negara dari PPN yang seharusnya terutang di negara tempat konsumsi dilakukan atas transaksi digital lintas negara.

Isunya adalah mekanisme reverse charge method yang pada umumnya diberlakukan dalam rangka pemungutan PPN pada transaksi lintas batas negara tidak dapat diterapkan dengan baik dalam konteks transaksi business-to-consumer (OECD, 2017).

Tidak hanya transaksi lintas batas negara, dalam konteks shadow economy pada negara berkembang seperti Indonesia, dapat dicermati bahwa transaksi consumer-to-consumer (transaksi oleh pelaku usaha yang tidak terdaftar secara resmi) juga menjadi relevan dalam potensi PPN transaksi digital.

Dalam konteks transaksi digital, formulasi substansi kebijakan pemungutan PPN seharusnya cenderung lebih sederhana bila dibandingkan dengan pengenaan pajak penghasilan (PPh), karena pemungutan PPN yang didasarkan pada prinsip destinasi.

Sementara, aspek pengenaan PPh hingga saat ini masih berputar pada pembagian dan penentuan alokasi hak pemajakan yang masih menunggu konsensus global. Namun, isu dalam desain kebijakan PPN tidak terletak pada substansi tapi cenderung pada aspek administratifnya, yaitu siapa yang dapat ditunjuk menjadi pemungut PPN transaksi digital?

Studi Komparasi Isu Administrasi PPN atas Transaksi Digital Lintas Negara

Terkait dengan komparasi di beberapa negara, setidaknya terdapat dua isu yang harus diperhatikan terhadap administasi PPN atas transaksi digital lintas negara.

Pertama, dalam konteks transaksi lintas batas negara (business-to-consumer), apakah pelaku usaha luar negeri perlu diwajibkan untuk melakukan pendaftaran di suatu negara untuk memenuhi kewajibannya berkaitan dengan PPN di negara tersebut.

Di Jepang misalnya, berkaitan dengan kewajiban PPN ini, pelaku usaha transaksi digital luar negeri diwajibkan mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran dan memiliki representatif di Jepang, misalnya telah menunjuk agen yang berkualifikasi di Jepang seperti akuntan pajak (OECD, 2019).

Di Swiss, ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran tergantung pada ambang batas berdasarkan omset penjualan worldwide sehingga adanya penjualan di Swiss yang dilakukan oleh pelaku usaha akan membuat kewajiban pendaftaran untuk PPN ini muncul apabila nilai penjualan secara worldwide yang dibukukan oleh pelaku usaha tersebut telah melebihi ambang batas (Switzerland Federal Tax Administration, 2018).

Variasi ketentuan administratif di berbagai negara juga dapat menyebabkan kompleksitas dan penerapan kebijakan yang berbeda-beda. Contohnya Airbnb telah berkewajiban memungut PPN atas setiap transaksi yang terjadi di negara yang menerapkan kebijakan electronically supplied services, seperti Swiss, Norwegia, dan Islandia. Sebaliknya, kebijakan tersebut berbeda di Kanada, yaitu kewajiban pemungutan PPN bukan terletak pada Airbnb melainkan pada host atau pemilik akomodasi.

Kedua dalam konteks transaksi consumer-to-consumer, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan pihak dalam rantai pasokan yang akan diwajibkan untuk melakukan pemungutan dan pelaporan PPN. Sebagaimana diketahui, rantai pasokan transaksi digital melibatkan beberapa pihak dari hulu hingga ke hilir, mulai dari content owner, aggregator, digital platform atau application store, penjual, hingga pelanggan akhir.

Beberapa negara, seperti negara-negara di Uni Eropa, Korea Selatan, atau Australia telah menetapkan pihak marketplace operator sebagai pihak yang berkewajiban untuk memungut dan melaporkan PPN. Hal ini juga memastikan bahwa tanggung jawab untuk memungut PPN tidak terletak pada konsumen akhir (European Commision, 2017).

Refleksi

Melalui PMK 48/2020, pemerintah telah menetapkan kewajiban administrasi PPN, termasuk pemungutan, penyetoran, dan pelaporan, dilakukan oleh pelaku usaha PMSE yang ditunjuk oleh pemerintah atau disebut pemungut PPN PMSE. Dalam peraturan tersebut, kewajiban administrasi PPN tidak dibedakan berdasarkan jenis transaksi, yaitu business-to-consumer atau consumer-to-consumer.

Lalu, siapakah pemungut PPN PMSE tersebut? Pemungut PPN PMSE merupakan pelaku usaha PMSE yang telah memenuhi kriteria tertentu dan telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP). Kriteria tersebut ditetapkan berdasarkan nilai transaksi di Indonesia dan jumlah traffic dalam periode 12 bulan.

Untuk menjalankan kewajiban PPN-nya, pemungut PPN PMSE tidak perlu mendaftarkan diri, tetapi akan mendapatkan nomor identitas dari DJP sebagai sarana administrasi untuk menjalankan kewajibannya. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.

Pemungut PPN PMSE yang telah ditetapkan wajib membuat bukti pungut PPN, yaitu dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak. Pemungutan tersebut wajib dilakukan pada saat pembayaran oleh pembeli barang dan/atau penerima jasa.

Dalam hal pelaporan, PMK 48/2020 mewajibkan kewajiban pelaporan untuk dilakukan oleh pemungut PPN PMSE secara triwulanan, untuk periode 3 (tiga) masa pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir. Namun, selain laporan triwulan tersebut, untuk kepentingan pengawasan kepatuhan, DJP dapat meminta pemungut PPN PMSE untuk menyampaikan laporan rincian transaksi PPN yang dipungut untuk setiap periode 1 (satu) tahun kalender.

Di samping aspek administrasi kewajiban pemungutan PPN yang telah diatur pemerintah dalam PMK 48/2020, dalam implementasi atau penegakan peraturan ini, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek kesiapan pelaku usaha, agar terjalin partisipasi dan kerja sama yang baik dalam proses pemenuhan kewajiban PPN. Karena, pelaku usaha butuh melakukan penyesuaian antara pemenuhan kewajiban administrasi PPN dan model bisnis transaksi digital yang mereka jalankan, terutama bagi pelaku usaha PMSE yang berkedudukan di luar negeri.

Di samping itu, pemerintah Indonesia juga perlu mengantisipasi adanya potensi penyalahgunaan PPN, yaitu potensi hilangnya pendapatan negara dari PPN. Hal ini rentan terjadi karena dari sisi otoritas pajak terdapat keterbatasan untuk mengakses data transaksi yang umumnya dimiliki oleh penjual yang berlokasi offshore, atau dimiliki oleh payment intermediaries maupun digital platform.

Uni Eropa misalnya, untuk mencegah isu ini, mereka tengah mengkaji kebijakan pemungutan PPN yang berbasis follow the money yang ditargetkan akan diterapkan pada 1 Januari 2024 (Bal, 2020). Melalui pendekatan ini, akan terdapat kewajiban pelaporan baru yang harus dilakukan oleh pihak perantara pembayaran atau payment intermediaries, seperti perusahaan penyedia jasa pembayaran elektronik, credit institution, hingga Bank Sentral Eropa.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN