DDTC TAX AUDIT & TAX DISPUTE WEBINAR SERIES

PMK 22/2020 Ubah Beberapa Ketentuan ALP, Ini Kata Praktisi Pajak

Nora Galuh Candra Asmarani | Jumat, 13 Agustus 2021 | 18:45 WIB
PMK 22/2020 Ubah Beberapa Ketentuan ALP, Ini Kata Praktisi Pajak

Associate Partner International Tax and Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung dalam webinar bertajuk Recent Updates and Case Study on Transfer Pricing Disputes, Jumat (13/8/2021)

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengubah beberapa ketentuan terkait dengan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/2020.

Associate Partner International Tax and Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung mengatakan PMK 22/2020 yang mengatur soal tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer atau advance pricing agreement (APA), ternyata juga mengatur tentang ALP.

“Meski judulnya tentang APA, tetapi PMK 22/2020 juga berlaku untuk ALP secara umum. Beberapa faktor perubahannya akan kami bahas,” katanya dalam webinar bertajuk Recent Updates and Case Study on Transfer Pricing Disputes, Jumat (13/8/2021)

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Yusuf menjabarkan setidaknya terdapat empat perubahan dalam PMK 22/2020. Pertama, korelasi jumlah pembanding dan penerapan rentang. Menurutnya, untuk melakukan analisis kesebandingan maka diperlukan jumlah pembanding yang cukup.

OECD Guidelines tidak menjelaskan lebih terperinci perihal jumlah pembanding yang dianggap cukup. Namun, PMK 22/2020 telah mengatur secara khusus berapa jumlah minimal pembanding yang diperlukan tersebut.

PMK 22/2020 mengatur apabila ada satu pembanding saja maka diperbolehkan menggunakan satu titik kewajaran. Akan tetapi, satu pembanding tersebut harus memenuhi tingkat kesebandingan yang sama persis dalam segala aspek atau sempurna.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Apabila ada dua pembanding maka diperbolehkan menggunakan full range. Sementara itu, apabila pembanding yang digunakan ada tiga atau lebih baru diperkenankan menggunakan interkuartil. Dia juga menjelaskan berapa jumlah pembanding yang andal menurut Martensen.

Kedua, penjelasan terkait dengan konsep hubungan istimewa. PMK 22/2020 mempertegas transaksi independen yang dipengaruhi hubungan istimewa masuk dalam cakupan peraturan transfer pricing. Hal ini memperluas cakupan hubungan istimewa dalam transfer pricing.

“PMK 22/2020 sebenarnya mempertegas bahwa di Indonesia memakai konsep special relationship dan ini juga mencakup transaksi yang dipengaruhi secara faktual. Namun, PMK 22/2020 belum mencegah bagaimana menghindari pajak berganda dalam hal ada koreksi,” ujar Yusuf.

Baca Juga:
Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Ketiga, menambahkan akses atau penguasaan pasar (value creation) sebagai faktor kesebandingan. Konsep ini mengadopsi OECD Guidelines terbaru yang dipengaruhi base erosion profit shifting (BEPS). Menurut Yusuf, hal tersebut juga akan memengaruhi adanya potensi penerapan bright line test.

Keempat, penambahan aturan tentang secondary adjustment. Menurut Yusuf, secondary adjustment ini dapat digunakan untuk menyesuaikan nilai transaksi setelah dilakukan primary adjustment. Namun, PMK 22/2020 belum menjelaskan corresponding adjustment untuk transaksi domestik.

Sebagai informasi, webinar ini merupakan seri terakhir dari DDTC Tax Audit & Tax Dispute Webinar Series. Acara yang digelar DDTC Academy ini diselenggarakan bersamaan dengan momentum HUT ke-14 DDTC. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja