Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Kehadiran pajak minimum global sebagaimana dimaksud pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) berperan penting untuk mencegah perlombaan penurunan tarif PPh badan atau race to the bottom oleh yurisdiksi-yurisdiksi guna menarik investasi.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama menilai pajak minimum global seyogianya tidak dipersepsikan merugikan negara berkembang seperti Indonesia lantaran mengurangi ruang untuk memberikan insentif.
"Pilar 2 ini jangan kita lihat sebagai menguntungkan negara maju atau negara berkembang. Pilar 2 ini mencegah race to the bottom dan memastikan perusahaan multinasional dipajaki di manapun dia berada," katanya, dikutip pada Rabu (25/10/2023).
Lebih lanjut, penetapan tarif pajak efektif minimal sebesar 15% tidak hanya berlaku di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain. Artinya, daya saing Indonesia dalam menarik penanaman modal asing sesungguhnya tidaklah tergerus.
Dengan adanya pajak minimum global, batas bawah atau floor bagi yurisdiksi dalam memberikan perlakuan pajak preferensial kepada calon investor adalah sebesar 15%, bukan 0% sebagaimana yang terjadi sebelum tercapainya konsensus atas Pilar 2.
"Kami tidak melihat Pilar 2 ini menguntungkan negara tertentu, tetapi lebih kepada bagaimana kita bersama-sama memerangi perilaku dari perusahaan multinasional yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak. Ini yang menjadi latar belakangnya," tutur Mekar.
Akibat globalisasi dan perkembangan transaksi digital, lanjutnya, perusahaan multinasional selama ini dapat dengan mudah memindahkan induk usahanya ke yurisdiksi-yurisdiksi lain yang memiliki tarif pajak rendah.
Oleh karena itu, kondisi tersebut ingin dicegah melalui pajak minimum global. Bila tidak ada pajak minimum global, satu-satunya langkah yang bisa diambil yurisdiksi untuk mendorong modal kembali ke dalam negeri adalah dengan menurunkan tarif.
Untuk diperhatikan, kebijakan pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15% berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan global lebih dari €750 juta atau kurang lebih Rp11 triliun per tahun.
Pajak tambahan atau top-up tax dikenakan oleh yurisdiksi tempat ultimate parent entity (UPE) berlokasi dalam hal terdapat anak usaha di yurisdiksi lain yang dibebani pajak dengan tarif efektif di bawah 15%.
Pengenaan top-up tax oleh yurisdiksi tempat UPE berlokasi dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Walau terdapat hak oleh yurisdiksi tempat UPE berlokasi untuk mengenakan IIR, yurisdiksi pasar memiliki hak untuk terlebih dahulu mengenakan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) atas anak usaha perusahaan multinasional di yurisdiksinya.
Dengan adanya QDMTT, yurisdiksi pasar dapat mengenakan top-up tax atas laba anak usaha grup korporasi multinasional yang dipajaki dengan tarif efektif kurang dari 15%.
Apabila QMDTT dikenakan dan tarif efektif naik menjadi 15%, yurisdiksi tempat UPE berlokasi kehilangan hak untuk mengenakan top-up tax berdasarkan IIR. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.