Widiyoko Adi Kusumo
,PEMERINTAH Indonesia dihadapkan pada tantangan krusial terkait dengan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio. Adapun kinerja tax ratio Indonesia pada saat ini masih relatif rendah, yaitu sekitar 10%.
Berdasarkan pada Revenue Statistic in Asia and the Pasific 2023, performa tax ratio Indonesia masih di bawah Malaysia (11,8%), Singapura (12,6%), Kamboja (18,0%), Filipina (18,1%), ataupun Vietnam (18,2%). Kinerja itu juga jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD (34,1%).
Pada kenyataannya, selain lebih rendah dibandingkan dengan performa di sejumlah negara lain, tax ratio Indonesia selama 14 tahun terakhir (2008-2022) relatif stagnan. Rasio pajak pada 2022 bahkan lebih rendah 3 poin persentase dibandingkan dengan kinerja pada 2008.
Kondisi tersebut memunculkan adanya urgensi peningkatan tax ratio. Tujuannya untuk meningkatkan kemandirian fiskal serta mengurangi ketergantungan pada sumber lain, seperti utang dan hasil sumber daya alam. Dengan demikian, risiko dari fluktuasi ekonomi global bisa berkurang.
Hal tersebut dibutuhkan mengingat ada kebutuhan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. International Monetary Fund (IMF) menyebut rasio pajak suatu negara minimal sebesar 15% terhadap PDB untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, jika Indonesia dapat meningkatkan tax ratio, ada potensi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal. Dalam konteks visi Indonesia Emas 2045, Indonesia seharusnya mempunyai rasio pajak sekitar 15% hingga 20% terhadap PDB.
Upaya untuk mengerek tax ratio itu makin menantang karena adanya pergeseran demografi, perubahan teknologi, perubahan kondisi geopolitik, dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemerintah yang baru nantinya perlu mempunyai rencana aksi yang tepat.
Tentu saja, langkah pertama yang perlu diambil terkait dengan keberlanjutan reformasi administrasi dan regulasi pajak. Seperti diketahui, implementasi coretax administration system (CTAS) – sebagai bagian dari reformasi – akan dimulai pada 2024.
Implementasi CTAS itu memunculkan harapan adanya perbaikan. Dengan dukungan teknologi, proses bisnis dan layanan pajak akan lebih baik. Namun, reformasi administrasi itu tetap harus disertai dengan reformasi regulasi, terutama terkait dengan perluasan basis pemajakan.
Dalam hal ini, pemerintah perlu memastikan penambahan pajak tidak memberatkan masyarakat sekaligus dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, keseimbangan antara penambahan basis pajak baru dan pemberian insentif sangat dibutuhkan.
PERLUASAN basis pajak sebaiknya tidak hanya fokus pada penerimaan negara dalam jangka pendek. Perlu ada perluasan basis pajak yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, pemahaman atas perilaku dan demografi menjadi penting. Harapannya, perluasan basis pajak juga disertai pemberian arah agar masyarakat mengambil keputusan yang rasional (fungsi regulerend).
Untuk mendukung upaya tersebut, fungsi redistribusi pendapatan menjadi salah satu aspek yang perlu dilihat. Fungsi ini bisa ditempuh melalui pengenaan atau peningkatan tarif pajak untuk individu dengan kekayaan tinggi. Hal ini juga termasuk pajak atas barang-barang mewah.
Selain menambah penerimaan, kebijakan tersebut juga dapat mencegah kegagalan individu yang sedang berproses menuju ke kelompok berpenghasilan tinggi. Pasalnya, dengan kebijakan itu, orang cenderung tidak melakukan konsumsi barang mewah secara berlebihan.
Kemudian, perluasan basis pajak juga dapat dilakukan melalui sin tax atas barang-barang yang dapat memberi dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Barang-barang itu seperti gula, tembakau, alkohol, makanan olahan, dan sejenisnya. Pengenaan sin tax diharapkan menjaga masa produktif masyarakat sehingga kontribusi terhadap pajak juga lebih panjang.
Selain itu, ada tren perluasan basis pajak dengan memperkenalkan jenis pajak baru berbasis lingkungan. Salah satunya terkait dengan upaya penurunan emisi karbon. Indonesia juga telah memperkenalkan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pengenaan pajak berbasis lingkungan itu juga tidak lepas dari isu perubahan iklim. Untuk memperkuat kebijakan yang sudah ada, salah satu aspek yang bisa dipertimbangkan adalah pengenaan pajak lebih tinggi atas peralatan elektronik dengan daya tinggi. Tujuannya untuk mengarahkan penggunaan peralatan hemat energi.
Selain perluasan basis pajak, salah satu aspek yang dapat mendukung peningkatan tax ratio adalah penegakan hukum. Reformasi perpajakan harus disertai dengan penegakan hukum yang kuat untuk menjaga kepercayaan publik.
Penegakan hukum perpajakan adalah prasyarat penting untuk menjaga integritas sistem perpajakan. Penegakan hukum sejalan dengan upaya penciptaan keadilan. Diperlukan adanya keadilan perlakuan antara yang patuh dan yang tidak patuh dengan ketentuan perpajakan.
EFEKTIVITAS penegakan hukum diperoleh dari peningkatan kemampuan deteksi otoritas pajak melalui kerja sama dengan pihak lain dan pemanfaatan teknologi. Kerja sama dengan pihak lain bermanfaat untuk mendeteksi mismatch data administrasi perpajakan. Makin banyak pihak yang memiliki perjanjian kerja sama dengan otoritas pajak maka makin tinggi kemampuan deteksi otoritas pajak.
Terkait dengan teknologi, penggunaan artificial intelligence (AI) memungkinkan otoritas pajak untuk meningkatkan efisiensi dalam pengambilan keputusan. OECD menyebut AI akan menjadi sentral dari manajemen kepatuhan wajib pajak pada era digital ini. Dengan menggunakan AI, analisis data dalam skala besar dapat dilakukan untuk dapat mengidentifikasi risiko ketidakpatuhan.
Integrasi risk engine antarlembaga dapat mengurangi risiko keamanan data. Namun, penjagaan efektivitas kemampuan deteksi tetap diperlukan. Hal ini dilakukan melalui pengurangan campur tangan manusia pada tahap identifikasi risiko ketidakpatuhan.
Misalnya, kombinasi risk engine analisis jaringan transaksi keuangan dari lembaga moneter untuk mendeteksi transaksi keuangan yang mencurigakan dengan risiko kepatuhan otoritas pajak. Hasil dari integrasi ini, mesin AI akan mengidentifikasi subjek atau individu yang memiliki tingkat risiko ketidakpatuhan tinggi.
Selain itu, dalam praktiknya, AI banyak digunakan untuk melakukan prediksi. Penguatan kemampuan otoritas pajak untuk memprediksi ketidakpatuhan dan ketidakpastian dapat berimplikasi pada peningkatkan efektivitas dan efisiensi pengambilan keputusan.
AI juga dapat digunakan untuk meningkatkan layanan otoritas pajak melalui penyediaan chatbot untuk tema perpajakan. Harmonisasi peraturan pajak juga dapat memanfaatkan AI untuk mengidentifikasi ketentuan yang saling bertentangan atau memerlukan ketentuan turunan.
Berbagai upaya di atas, harus disadari, tetap akan terpengaruh isu-isu nonteknis. Adapun isu-isu nonteknis itu seperti ketidakpercayaan terhadap pemerintah, persepsi korupsi, resistensi terhadap pajak, kondisi perekonomian, serta pengaruh lingkungan, serta faktor lainnya.
Oleh karena itu, kesadaran pajak perlu ditingkatkan melalui political will yang kuat serta kampanye pentingnya pajak sebagai instrumen demokrasi. Pajak tidak hanya kewajiban finansial, tetapi juga instrumen demokrasi untuk mendukung pembangunan yang berorientasi pada rakyat.
Pemimpin masa depan Indonesia harus memiliki komitmen untuk meningkatkan rasio pajak. Hal ini dikarenakan bangsa yang besar dengan gagasan besar tentu akan memerlukan pendanaan yang besar. Ini adalah langkah kunci menuju Indonesia Emas 2045.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.