OPINI PAJAK

Perlakuan Pajak atas Imbalan Tertentu Menurut SE-24/2018

Jumat, 08 Maret 2019 | 17:35 WIB
Perlakuan Pajak atas Imbalan Tertentu Menurut SE-24/2018

Bambang Pratiknyo, Pemerhati Perpajakan.

PADA 29 November 2018, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak menerbitkan penegasan terkait pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas imbalan yang diterima pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli.

Penegasan ini tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2018 (SE-24) tentang Perlakuan Perpajakan atas Imbalan yang Diterima oleh Pembeli sehubungan dengan Kondisi Tertentu dalam Transaksi Jual Beli. SE-24 ini telah lama ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis yang banyak menggunakan skema pemberian imbalan kepada pembeli dalam rangka memelihara atau meningkatkan penjualannya.

Sebelum SE-24 terbit, terdapat berbagai persoalan terkait perlakuan pajak atas imbalan tersebut. Misalnya, dalam pemungutan PPN. Pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli harus dikenai PPN atau tidak. Masalah lainnya terkait pertanyaan apakah atas imbalan tersebut merupakan obyek pemotongan PPh dan apabila iya, berapa persen tarif yang harus diterapkan?

Terbitnya SE-24 memberikan pedoman mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli. Tentu saja, aturan ini diharapkan dapat menjawab masalah-masalah di atas.

Berikut disajikan uraian isi dari SE-24. Selain itu, untuk lebih memperluas pengetahuan pembaca, dalam uraian berikut juga ditambahkan catatan dari penulis atas ketentuan yang tertuang dalam SE tersebut.

Pengertian Penjual dan Pembeli

SE-24 mendefinisikan penjual sebagai pihak yang menjual produknya kepada pembeli termasuk produsen, distributor, dan agen. Sementara itu, pembeli didefinisikan sebagai pihak yang membeli produk dari penjual untuk dijual kembali, termasuk distributor, agen, atau retailer.

Adanya pengertian atau pendefinisian ini, menyebabkan berlakunya SE-24 bersifat terbatas, yaitu hanya atas pembeli yang bertujuan menjual kembali produk yang dibeli. Artinya, ketentuan dalam SE-24 tidak berlaku bagi konsumen akhir.

Kondisi Tertentu yang terjadi dalam Transaksi Jual Beli

SE-24 mencoba melingkupi berbagai kondisi yang mungkin terjadi dalam transaksi jual beli. Caranya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kondisi tertentu sebagai keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari penjual kepada pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis. Kondisi tertentu dimaksud antara lain:

  • Pencapaian syarat tertentu;
  • Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu; atau
  • Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima terkait dengan masing-masing kondisi di atas.

Imbalan atas Pencapaian Syarat Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya

Berdasarkan perikatan jual beli, penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada pembeli dalam rangka menjaga hubungan dalam kegiatan usaha serta memelihara atau meningkatkan penjualan. Penjual biasanya memberikan imbalan kepada pembeli atas tercapainya syarat tertentu. Pencapaian syarat tertentu dapat berupa:

  • pembelian oleh pembeli mencapai jumlah tertentu;
  • penjualan oleh pembeli mencapai jumlah tertentu; dan/atau
  • pelunasan oleh pembeli sesuai jangka waktu tertentu.

Imbalan yang diterima oleh pembeli atas tercapainya syarat tertentu sebagaimana disebut di atas dapat berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban. SE-24 mendefinisikan imbalan seperti itu sebagai penghargaan. SE-24 juga menyatakan bahwa termasuk dalam pengertian penghargaan adalah bonus yang diberikan penjual kepada pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu.

Selain penghargaan, SE-24 juga mendefinisikan imbalan yang diterima atas pencapaian syarat tertentu sebagai jasa manajemen. Namun, terdapat dua syarat yang harus terpenuhi agar imbalan ini dianggap sebagai imbalan atas jasa manajemen.

Pertama, dalam perikatan berupa kontrak kerja sama dicantumkan adanya aktivitas jasa. Kedua, terdapat pengakuan penghasilan atas jasa atau penagihan atas penyerahan jasa. Tanpa terpenuhinya kedua syarat tersebut, imbalan yang diberikan kepada pembeli tidak dapat dinyatakan sebagai imbalan atas jasa manajemen, melainkan tetap sebagai penghargaan.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan berupa penghargaan dan jasa manajemen berdasarkan SE-24.

Tabel 1 Perlakuan Perpajakan atas Imbalan Berupa Penghargaan dan Jasa Manajemen Berdasarkan SE-24



Sumber: diolah oleh Penulis dari SE-24.

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya perlakuan PPh untuk imbalan penghargaan dalam SE ini mengacu pada PER-11/PJ/2015. Namun, dalam SE-24, penghargaan dirumuskan lebih lanjut sebagai imbalan yang diberikan karena terpenuhinya syarat tertentu.

Selain itu, SE-24 juga tidak mempertimbangkan lagi aspek pencatatan imbalan tersebut pada sisi penjual dan pembeli. Ini tentunya berbeda dengan surat-surat jawaban Dirjen Pajak yang diterbitkan sebelum SE-24, misalnya Surat Dirjen Pajak Nomor S-29/PJ.43/2003 tentang Penegasan Pengenaan PPh atas Potongan Harga dan Insentif Penjualan dan S-822/PJ.31/2003 tentang Penegasan Karakteristik Hadiah.

Pada surat-surat tersebut, penentuan perlakuan PPh atas imbalan kepada pembeli bergantung pada pencatatan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli. Apabila imbalan yang diberikan kepada pembeli dicatat sebagai pengurangan harga untuk menentukan nilai penjualan bersih bagi penjual dan nilai harga pokok penjualan bagi pembeli, imbalan tersebut bukan merupakan obyek pemotongan pajak, baik PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23.

Hal menarik dari perlakuan perpajakan yang dikemukakan oleh SE-24 adalah mengenai perlakuan PPN. Sebelum berlakunya SE-24, Dirjen Pajak pernah menerbitkan surat jawaban berkenaan dengan kasus yang sama, yaitu Surat Dirjen Pajak Nomor S-1112/PJ.322/2005. Dalam surat ini disebutkan bahwa pemberian penghargaan kepada pembeli sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya atau imbalan prestasi dikenai PPN.

Berkebalikan dengan surat tersebut, SE-24 menetapkan bahwa imbalan penghargaan kepada pembeli atas pencapaian syarat tertentu dalam jual beli ditetapkan bukan sebagai objek PPN. Dengan kata lain, imbalan tersebut tidak dapat dikenai PPN.

Perlu diperhatikan bahwa perlakuan PPN di atas hanya berlaku apabila penghargaan yang diberikan kepada pembeli berwujud uang atau pengurang kewajiban pembeli. Apabila penghargaan tersebut diberikan dalam bentuk Barang Kena Pajak (BKP), SE-24 menetapkan pemberian tersebut sebagai penyerahan BKP yang dikenai PPN. Penjual yang sesuai ketentuan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), wajib memungut PPN yang terutang, membuat faktur pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP.

Hal lain yang menarik dari SE-24 ini adalah adanya penegasan perlakuan perpajakan jika penerima imbalan berada di luar daerah pabean. Penegasan tersebut patut diapresiasi mengingat bukan tidak mungkin pihak pembeli berada di luar negeri.

Perlakuan PPh atas imbalan yang diberikan kepada pembeli yang merupakan subjek pajak dari negara yang mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia tentu harus merujuk kepada P3B yang bersangkutan. Merujuk kepada P3B, bisa jadi imbalan penghargaan sehubungan dengan kondisi tertentu dalam jual beli tidak perlu dipotong PPh.

Alasannya, imbalan tersebut merupakan bagian dari laba usaha (business profit) dan pihak pembeli tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Sementara itu, dari sisi perlakuan PPN, atas penghargaan yang diberikan dalam bentuk BKP kepada pembeli di luar daerah pabean diperlakukan sebagai ekspor barang sehingga berlaku ketentuan PPN atas ekspor barang secara umum.

Selain penghargaan, SE-24 juga mengatur perlakuan PPN atas imbalan jasa manajemen yang diberikan oleh pembeli yang berada di luar daerah pabean kepada penjual di dalam daerah pabean. Atas pemanfaatan jasa manajemen ini tidak dikenai PPN.

Ketentuan ini tentu saja menarik karena boleh jadi para perumus SE-24 memandang pemanfaatan jasa manajemen ini terjadi di luar daerah pabean, bukan di dalam daerah pabean. Manfaat tersebut dapat berupa terpeliharanya atau meningkatnya penjualan di luar negeri. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf ‘e’ Undang-Undang PPN yang mengatur syarat pengenaan PPN atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean tidak terpenuhi.

Catatan terakhir berkenaan dengan imbalan berbentuk BKP adalah diharuskannya memakai harga kesepakatan antara penjual dan pembeli sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), baik untuk PPh maupun PPN. Khusus untuk penghargaan, apabila nilai kesepakatan tidak diketahui, DPP dihitung berdasarkan harga pasar.

Imbalan atas Penyediaan Ruang dan/atau Peralatan Tertentu

Berdasarkan perikatan jual beli, penjual dapat meminta fasilitas kepada pembeli berupa penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu untuk kepentingan penjual, yang dapat berupa lantai untuk menempatkan barang dan rak pemajangan barang penjualan, termasuk rak, rak gantungan, dan/atau etalase untuk menaruh barang yang dipamerkan dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari penjual.

SE-24 menegaskan bahwa imbalan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli atas penyediaan fasilitas ruang merupakan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan bagi pembeli. Sementara itu, imbalan yang diberikan atas penyediaan fasilitas tertentu (selain ruangan) merupakan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta bagi pembeli. Adapun imbalan ini dapat berupa uang atau barang dan/atau pengurang kewajiban.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan berupa penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu yang diatur dalam SE-24.

Tabel 2 Perlakuan Perpajakan atas Imbalan berupa Penyediaan Ruang dan/atau Peralatan Tertentu Berdasarkan SE-24



Sumber: diolah oleh Penulis dari SE-24.

Dalam praktik, seringkali ditemukan persoalan apakah penggunaan rak atau etalase diperlakukan sebagai sewa fasilitas atau sewa ruangan. Namun, berlakunya SE-24 sebagaimana diuraikan di atas cukup memberi kejelasan karena terdapat pembedaan perlakuan antara penyediaan ruangan atau harta bukan ruangan.

Mengenai perlakuan PPN, ketentuan bahwa penjual tidak wajib memungut PPN atas pemanfaatan ruangan atau peralatan dari pembeli di luar negeri tetap sejalan dengan ketentuan UU PPN. Alasannya, pemanfaatan dari sewa ruangan atau fasilitas tertentu jelas tetap terjadi di luar daerah pabean, bukan di dalam daerah pabean.

Penerimaan Kompensasi yang Diterima Sehubungan dengan Transaksi Jual Beli

Dalam perikatan jual beli, penjual dapat memberikan imbalan berupa kompensasi sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban. Pemberian kompensasi ini disebabkan adanya risiko atas terjadinya fluktuasi harga, keterlambatan pengiriman barang, atau program penjualan tertentu atas perintah penjual.

Fluktuasi harga dapat memengaruhi harga jual pada tingkat pembeli yang dapat menimbulkan potensi kerugian bagi pembeli. Oleh karena itu, penjual memberikan sejumlah kompensasi atau disebut perlindungan harga (price protection).

Keterlambatan pengiriman barang terjadi dalam hal barang sampai di tempat pembeli melebihi batas waktu yang telah disepakati. Penjual memberikan kompensasi kepada pembeli atas keterlambatan pengiriman tersebut dalam bentuk penalti.

Program penjualan tertentu atas perintah penjual. Misalnya, pemberian cicilan bunga 0% kepada pembeli akhir dan dalam skema ini, pembeli membayar beban bunga terlebih dahulu kepada lembaga pemberi pinjaman. Setelahnya, pembeli akan mendapatkan penggantian dari penjual.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan berupa kompensasi atas price protection, penalti, dan pembayaran atas program penjualan tertentu yang dirumuskan dalam SE-24.

Tabel 3 Perlakuan Perpajakan atas Imbalan berupa Kompensasi atas Price Protection, Penalti, dan Pembayaran atas Program Penjualan Tertentu Berdasarkan SE-24


Sumber: diolah oleh Penulis dari SE-24.

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa kompensasi yang diterima pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli tidak dianggap sebagai penghasilan. Tidak pula dianggap sebagai penyerahan jasa dari pembeli kepada penjual.

Ketentuan dalam SE-24 ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum mengingat sebelum berlakunya SE-24, sering terjadi perdebatan di lapangan terkait pemajakan atas kompensasi ini. Tidak hanya antara penjual dan pembeli, tetapi juga antara wajib pajak dan pemeriksa pajak.

Akhirnya, SE-24 juga menegaskan bahwa imbalan kepada pembeli berkenaan dengan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan potongan harga. Oleh karenanya, imbalan tersebut tidak dicantumkan sebagai potongan harga, baik dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun dalam faktur pajak yang mengurangi harga jual dalam menghitung DPP. Artinya, apabila penjual memasukkan imbalan tersebut sebagai potongan harga dalam faktur penjualan atau faktur pajak, potongan harga tersebut akan dikoreksi sehingga DPP yang diakui adalah sebelum potongan harga.

Untuk lebih jelas memahami penjelasan di atas, dapat dilihat contoh-contoh kasus yang tertuang dalam Lampiran SE-24 sebagai berikut.

Contoh Kasus 1: Penghargaan

  1. PT Roda Maju, sebuah produsen ban mobil, melakukan kerja sama dengan toko ban sebagai pengecer berdasarkan Trading Term Agreement (TTA) yang salah satu ketentuannya adalah PT Roda Maju memberikan insentif kepada toko.
  2. Insentif berdasarkan TTA tersebut diberikan kepada toko sebesar 3% dari nilai pembelian toko atas semua jenis produk PT Roda Maju, dalam hal toko tersebut memenuhi target pembelian senilai Rp50 juta per bulan.
  3. Pada bulan Februari 2018, CV Ban Sejahtera sebuah toko pengecer ban yang bekerja sama dengan PT Roda Maju mencapai pembelian atas produk ban PT Roda Maju senilai Rp60 juta. Oleh karena itu, PT Roda Maju memberikan insentif senilai Rp1,8 juta (3% x Rp60 juta) kepada CV Ban Sejahtera.
  4. TTA yang telah dibuat tidak memuat aktivitas jasa yang harus dilakukan oleh CV Ban Sejahtera kepada PT Roda Maju dan tidak terdapat penagihan atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh CV Ban Sejahtera, sehingga tidak ada penyerahan jasa yang dilakukan oleh CV Ban Sejahtera kepada PT Roda Maju.
  5. Perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
  • PT Roda Maju wajib memotong PPh Pasal 23 atas penghargaan sebesar 15% dari Rp1,8 juta.
  • CV Ban Sejahtera tidak membuat Faktur Pajak karena tidak ada penyerahan jasa kena pajak (JKP).
  • Dalam hal PT Roda Maju memberikan insentif dalam bentuk pemberian barang kena pajak (BKP), maka PT Roda Maju:
    • wajib memotong PPh Pasal 23 atas penghargaan sebesar 15% dari Rp1,8 juta;
    • dalam hal nilai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak diketahui, maka PT Roda Maju memotong PPh Pasal 23 atas penghargaan sebesar 15% dari harga pasar; dan
    • wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP kepada CV Ban Sejahtera dengan DPP sebesar Rp1,8 juta.

Contoh Kasus 2: Jasa Manajemen

  1. PT Nada Elektronika adalah perusahaan yang memproduksi dan menjual produk elektronik ke pasar domestik. Dalam memasarkan produknya, PT Nada Elektronika membuat kontrak kerja sama dengan para distributor untuk menjual dan mendistribusikan produk PT Nada Elektronika. Kontrak kerja sama tersebut memuat ketentuan bahwa selain menjual produk PT Nada Elektronika, distributor juga diminta melakukan kegiatan pemasaran produk PT Nada Elektronika, salah satunya dengan melakukan kegiatan promosi kepada konsumen akhir.
  2. Pada periode triwulan II diketahui bahwa PT Berkah Makmur, distributor PT Nada Elektronika untuk wilayah Bogor, telah melakukan penjualan dan kegiatan promosi sebagaimana dinyatakan dalam kontrak. Atas hal tersebut, PT Berkah Makmur menerbitkan tagihan atas penyerahan jasa manajemen sebesar nilai penggantian atas kegiatan promosi dimaksud yaitu Rp20 juta.
  3. Berdasarkan skema sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2, diketahui bahwa PT Berkah Makmur telah menyerahkan jasa manajemen (kegiatan promosi) kepada PT Nada Elektronika yang dibuktikan dengan adanya tagihan atas penyerahan jasa manajemen oleh PT Berkah Makmur kepada PT Nada Elektronika.
  4. Perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
  • PT Nada Elektronika wajib memotong PPh Pasal 23 atas jasa manajemen sebesar 2% dari Rp20 juta.
  • PT Berkah Makmur yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa manajemen kepada PT Nada Elektronika dengan DPP PPN sebesar Rp20 juta.
  • Dalam hal PT Nada Elektronika melakukan pembayaran jasa manajemen dalam bentuk pemberian BKP, maka PT Nada Elektronika wajib:
    • memotong PPh Pasal 23 atas jasa manajemen sebesar 2% dari Rp20 juta; dan
    • membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP tersebut dengan DPP berupa nilai penggantian atas jasa manajemen sebesar Rp20 juta.

Contoh Kasus 3: Penyediaan Harta Selain Ruangan

  1. PT Sinar Gemilang membuat kontrak jual beli dengan salah satu distributornya yaitu PT Maju Jaya. Dalam kontrak disebutkan bahwa selain sebagai distributor, PT Maju Jaya juga akan menyediakan peralatan tertentu untuk kepentingan pemasaran produk yang telah dibeli dari PT Sinar Gemilang.
  2. PT Maju Jaya akan menempatkan suatu produk yang telah dibeli dari PT Sinar Gemilang pada suatu etalase/tempat display tertentu dalam tokonya dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari PT Sinar Gemilang. PT Sinar Gemilang akan memberikan imbalan sebesar Rp1,5 juta atas pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan harta kepada PT Maju Jaya.
  3. Perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
  • PT Sinar Gemilang wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan harta kepada PT Maju Jaya sebesar 2% dari Rp1,5 juta.
  • PT Maju Jaya yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta kepada PT Sinar Gemilang dengan DPP PPN sebesar Rp1,5 juta.
  • Dalam hal PT Sinar Gemilang melakukan pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan harta dalam bentuk pemberian BKP, maka PT Maju Jaya wajib:
    • memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan harta sebesar 2% dari Rp1,5 juta; dan
    • membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP tersebut dengan DPP sebesar nilai penggantian atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta sebesar Rp1,5 juta.

Contoh Kasus 4: Kompensasi atas Price Protection

  1. PT NGX merupakan distributor handphone dari beberapa produsen handphone, salah satunya yaitu PT OK International. PT OK International menunjuk PT NGX sebagai salah satu distributor produknya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Penunjukan Distributor. Dalam perjanjian tersebut mengatur antara lain ketentuan mengenai price protection yang diberikan oleh PT OK International kepada PT NGX sehubungan dengan terjadinya fluktuasi harga jual handphone di pasar dalam periode tertentu sesuai perjanjian.
  2. PT NGX membeli 1.000 buah handphone tipe X10 dari PT OK International dengan harga satuan senilai Rp3 juta. PT OK International menentukan bahwa harga jual standar untuk handphone tipe X10 yaitu sebesar Rp3,2 juta.
  3. Sehubungan dengan kondisi persaingan pasar yang tinggi, handphone tipe X10 mengalami penurunan permintaan pasar sehingga PT OK International menurunkan harga jual standar handphone tipe X10 yang semula Rp3,2 juta menjadi Rp3,1 juta, dengan tujuan untuk meningkatkan penjualan handphone tersebut.
  4. Atas hal tersebut, PT NGX berhak mendapatkan price protection dari PT OK International sebesar Rp100 ribu atas setiap handphone tipe X10 yang belum terjual dalam periode tertentu sesuai perjanjian yang telah dibuat.
  5. Jumlah handphone tipe X10 yang belum terjual di PT NGX adalah sebanyak 300 buah handphone.
  6. Perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:
  • Penerimaan kompensasi berupa price protection yang diberikan kepada PT NGX bukan merupakan objek pemotongan PPh. PT NGX wajib melaporkan penerimaan kompensasi berupa price protection tersebut sebagai penghasilan dalam SPT Tahunan PPh Badan sebesar Rp30 juta ((Rp3,2 juta - Rp3,1juta) x 300 buah).
  • PT NGX tidak membuat Faktur Pajak karena tidak ada penyerahan JKP.
  • Dalam hal PT OK International memberikan kompensasi berupa price protection dalam bentuk pemberian BKP, maka:
    • PT NGX wajib melaporkan penerimaan kompensasi berupa price protection tersebut sebagai penghasilan dalam SPT Tahunan PPh Badan sebesar Rp30 juta; dan
    • PT OK International wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP kepada PT NGX sebesar Rp30 juta.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

19 Juni 2021 | 13:52 WIB

Akhirnya, SE-24 juga menegaskan bahwa imbalan kepada pembeli berkenaan dengan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan potongan harga. Oleh karenanya, imbalan tersebut tidak dicantumkan sebagai potongan harga, baik dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun dalam faktur pajak yang mengurangi harga jual dalam menghitung DPP. >>> mohon pencerahan : jadi jenis potongan harga bagaimanakah yang diakomodir oleh peraturan sehingga tidak menjadi obyek pemotongan pph dan atau ppn?... karena faktanya potongan harga adalah konsep bisnis yang lazim... dan uu ppn juga mengakomodir ( menurut saya seharusnya kalo sudah masuk faktur pajak diperbolehkan meskipun pot harga dengan kondisi tertentu ) ... dan selalu berkembang konsepnya. misal syarat belanja di atas 100ribu baru dapat pot harga atau syarat klik "like" baru dapat pot harga. dan bentuknya pun berkembang misalnya ada bentuk cashback. terimakasih. wasalam. trihandono: [email protected]

04 Juni 2021 | 11:38 WIB

Apakah pemberian insentif sesuai SE-24 diatas tersebut masuk dalam kategori BIAYA PROMOSI yang diatur dalam PMK-02 thn 2010 sehingga harus membuat daftar nominatif bagi pihak yang memberikan insetif?

03 Januari 2020 | 10:44 WIB

selamat pagi pak... saya mau bertanya tentang aplikasi perpajakan atas jasa manajemen (jasa keagenan) untuk perusahaan distributor beberapa handphone. perusahaan mendapatkan imbalan dalam bentuk jasa keagenan atau jasa perantara atas penjualan produk dan telah di potong pph pasal 23 sebesar 2%. yang ingin saya tanyakan, atas penghasilan ini jasa keagenan apakah dalam perhitungan angsuran pph pasal 25 tahun berikutnya dianggap penghasilan tidak teratur dan dikeluarkan dari dasar penentuan angsurab 25 ? terima kasih. salam Riska, Pekanbaru, RIAU

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 23 September 2024 | 17:43 WIB ANALISIS PAJAK

Paradoks Artificial Intelligence dalam Konteks Penghindaran Pajak

Selasa, 17 September 2024 | 17:11 WIB ANALISIS PAJAK

Adakah Isu Transfer Pricing atas Biaya Recharge Antarperusahaan?

Selasa, 17 September 2024 | 16:31 WIB ANALISIS PAJAK

Munculnya Significant Robot Function dalam Atribusi Penghasilan BUT

Jumat, 13 September 2024 | 16:27 WIB ANALISIS PAJAK

Mendorong Partisipasi Publik Nyata dalam Perumusan Kebijakan Pajak

BERITA PILIHAN