Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pekan ini Ditjen Pajak (DJP) mengeluarkan beberapa pengumuman resmi soal kebijakan administrasi perpajakan. Salah satunya soal penggunaan aplikasi e-bupot 21/26 sebagai buntut dari penerbitan PER-2/PJ/2024. Isu ini cukup mendapat sorotan netizen dalam sepekan terakhir.
DJP menyatakan PER-2/PJ/2024 terbit pada 19 Januari 2024 dan mulai berlaku sejak masa pajak Januari 2024. Peraturan pengganti PER-14/PJ/2013 itu mencakup beberapa pengaturan terkait dengan pembuatan bukti potong dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Melalui siaran pers, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan dengan aplikasi e-bupot 21/26, pemberi kerja kini tidak harus datang ke kantor pajak untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
“Pelaporan SPT yang sebelumnya harus dilakukan di kantor pajak dengan cara mengunggah dokumen di TPT, kini dapat dilakukan dari mana saja melalui koneksi internet,” ujar Dwi.
Pokok-pokok pengaturan dalam PER-2/PJ/2024 bisa disimak secara lengkap dalam artikel 'Soal PER-2/PJ/2024 dan e-Bupot 21/26, DJP Rilis Keterangan Resmi'.
Sebagai informasi kembali, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 10 PER-2/PJ/2024, ada 2 kondisi yang dapat menyebabkan pemotong pajak dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
Adapun kedua kondisi tersebut antara lain, pertama, dalam hal pemotong pajak memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (3) PER-2/PJ/2024, tetapi tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik.
Kedua, dalam hal tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 PER-2/PJ/2024. Sesuai dengan pasal tersebut, pemotong pajak yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa dalam bentuk formulir kertas untuk masa-masa pajak berikutnya.
Selain soal e-bupot 21/26, DJP juga menerbitkan keterangan resmi soal penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada sistem administrasi perpajakan. Pengumuman tersebut disampaikan melalui PENG-6/PJ.09/2024.
Melalui beleid yang ditetapkan pada 13 Februari 2024, DJP mengatur sejumlah ketentuan sehubungan dengan penggunaan NPWP dalam administrasi perpajakan pasca terbitnya PMK 136/2023. PENG-6/PJ.09/2024 ini diteken oleh Dwi Astuti.
“… PMK 136/2023 yang mengatur bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP dan NPWP dengan format 16 digit baru dapat digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan tanggal 30 Juni 2024,” bunyi salah satu poin dalam pengumuman tersebut.
Dengan terbitnya PMK 136/2023 tersebut, terhitung mulai masa pajak Januari 2024, format NPWP yang digunakan dalam administrasi perpajakan bagi orang pribadi yang merupakan penduduk adalah NPWP dengan format 15 digit (NPWP lama) atau NIK.
Adapun NIK yang dapat digunakan dalam administrasi perpajakan adalah NIK yang diadministrasikan oleh Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP (NIK telah diaktivasi jadi NPWP).
Sementara itu, untuk wajib pajak orang pribadi bukan penduduk, wajib pajak badan, dan wajib pajak instansi pemerintah menggunakan NPWP dengan format 15 digit (NPWP lama).
Baca artikel lengkapnya, 'Perhatian! DJP Rilis Pengumuman Soal Penggunaan NPWP, Simak Detailnya'.
Selain kedua berita di atas, ada pula beberapa topik yang juga menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, perpanjangan izin kuasa hukum wajib pajak, putusan MK soal uji materiil bukper pajak, hingga pelantikan 30 pejabat eselon II Kemenkeu.
1. Izin Kuasa Hukum Berdasarkan PER-1/PP/2018 Tak Bisa Diperpanjang
Izin kuasa hukum yang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan sebelumnya, yakni PER-01/PP/2018 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku izin kuasa hukum yang dimaksud.
Namun, izin kuasa hukum yang diterbitkan berdasarkan PER-01/PP/2018 tidak dapat diperpanjang. Saat masa berlaku izin kuasa hukum habis maka pemohon harus mengajukan permohonan baru sesuai dengan Pasal 3 PER-1/PP/2024.
Secara umum, PER-1/PP/2024 mengatur setiap orang yang hendak beracara di Pengadilan Pajak perlu memiliki izin kuasa hukum. Nanti, permohonan izin diajukan kepada ketua Pengadilan Pajak secara elektronik melalui laman resmi Pengadilan Pajak, yaitu IKH Online.
2. MK Nyatakan Pemeriksaan Bukper Pajak Inkonstitusional Bersyarat
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023, MK menyatakan frasa 'pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan' dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak terdapat tindakan upaya paksa'.
"Sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU 7/2021 tentang HPP menjadi 'Dirjen pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa'," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
3. NIK Sudah Masuk Sistem DJP, Tarif PPh Lebih Tinggi Tidak Dikenakan
Pemotongan/pemungutan pajak dengan tarif lebih tinggi tidak dikenakan terhadap wajib pajak yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP.
Dalam membuat bukti potong PPh atau faktur pajak PPN, pemotong/pemungut wajib mencantumkan NPWP 15 digit atau NIK dari orang pribadi penerima penghasilan atau pembeli BKP/JKP. Bila yang dicantumkan NIK, tarif lebih tinggi dapat tidak dikenakan.
"Dalam hal identitas penerima penghasilan…diisi dengan NIK yang telah diadministrasikan oleh Disdukcapil serta telah terintegrasi dengan sistem DJP…tarif lebih tinggi…tidak dikenakan atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh terhadap orang pribadi penduduk dimaksud," bunyi poin nomor 7 PENG-6/PJ.09/2024.
4. Sri Mulyani Lantik 30 Pejabat Eselon II Kemenkeu, Terbanyak dari DJP
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi melantik 30 pejabat pimpinan tinggi pratama atau pejabat eselon II dan pejabat noneselon setara pejabat pimpinan tinggi pratama di lingkungan Kementerian Keuangan, Jumat (17/2/2024).
Pejabat Kemenkeu yang dilantik hari ini terdiri atas 27 pejabat eselon II dan 3 pejabat pada unit organisasi noneselon. Simak daftar pejabat yang dilantik dengan mengeklik judul di atas.
5. Pembetulan SPT Tahunan Bikin Kurang Bayar, Perhatikan Konsekuensinya
Wajib pajak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sepanjang dirjen pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan.
Pertanyaan mengenai pembetulan SPT Tahunan juga masih sering diterima Ditjen Pajak (DJP) melalui media sosial X. Namun, apabila hendak melakukan pembetulan SPT Tahunan, wajib pajak tetap perlu cermat karena pembetulan SPT Tahunan yang menyebabkan kurang bayar atau utang pajak menjadi lebih besar, terhadapnya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar.
"Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan ... dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi," bunyi Pasal 8 ayat (2b) UU KUP. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.