KETENTUAN pengenaan pajak atas dividen dalam skema internasional, memungkinkan timbulnya pengenaan pajak berganda. Hal ini terjadi apabila negara domisili dari pihak yang membayarkan dividen (negara sumber) menerapkan prinsip pemajakan territorial. Di lain pihak, negara domisili dari pihak yang menerima dividen (negara domisili) menerapkan prinsip pemajakan worldwide income. Dengan demikian, kedua negara tersebut mengklaim mempunyai hak pemajakan atas dividen tersebut.
Untuk mengatasi terjadinya pengenaan pajak berganda atas dividen, Pasal 10 OECD Model dan UN Model telah mengatur aspek pajak internasional terkait pembayaran dividen. Lang, sebagaimana dikutip oleh May (2011), menyebutkan bahwa Pasal 10 OECD Model dan UN Model berkaitan dengan alokasi hak pemajakan dalam situasi di mana suatu perusahaan yang merupakan subjek pajak dalam negeri di negara sumber membayar dividen kepada subjek pajak dalam negeri di negara domisili.
Oleh karena itu, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang bukan merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara sumber atau subjek pajak dalam negeri negara ketiga, tidak dapat menerapkan ketentuan dalam Pasal 10 OECD Model.
Dalam Pasal 10 OECD Model dan UN Model, alokasi hak pemajakan atas dividen diatur dalam Pasal 10 ayat (1). Menurut pasal ini, hak pemajakan atas dividen tidak hanya diberikan kepada negara domisili. Hal ini tercermin dari kata may be taxed yang digunakan dalam rumusan Pasal 10 ayat (1), yang mengandung arti bahwa masing-masing negara pihak dalam P3B memiliki hak pemajakan atas dividen.
Namun, hak pemajakan negara sumber atas dividen tersebut dibatasi (limited taxation right) berdasarkan suatu persentase tertentu dari jumlah bruto pembayaran dividen. Adapun pembatasan hak pemajakan negara sumber atas dividen yang dibayarkan oleh subjek pajak dalam negerinya hanya berlaku apabila penerima dividen tersebut: (i) merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili); dan (ii) merupakan penerima manfaat yang sebenarnya dari dividen tersebut (beneficial owner).
Selain pengalokasian hak pemajakan, Pasal 10 OECD Model dan UN Model juga mengatur definisi ‘dividen’. Mengacu pada definisi dividen dalam Pasal 10 ayat (3), diketahui bahwa istilah dividen pada dasarnya mengacu pada penghasilan dari kontribusi modal. Misal, dari kepemilikan saham pada suatu perusahaan, bukan dari kontribusi pinjaman. Dengan demikian, penghasilan dari utang piutang tidak termasuk dalam pengertian dividen.
Terkait dengan pemajakan atas dividen yang diterima oleh BUT yang berkedudukan di negara sumber, Pasal 10 OECD Model dan UN Model telah mengatur secara khusus ketentuan pemajakannya. Berdasarkan Pasal 10 ayat (4), dividen akan diperlakukan sebagai laba usaha (business profit) apabila pemegang saham di negara domisili memiliki hubungan efektif (effectively connected) dengan BUT yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut di negara sumber. Dalam kondisi ini, ketentuan yang berlaku dalam mengatur pemajakan atas dividen tersebut bukan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), melainkan Pasal 7 mengenai laba usaha (business profit).
Perlu diketahui bahwa Pasal 10 OECD Model dan UN Model juga memiliki ketentuan untuk mencegah suatu negara dari memajaki dividen yang dibayarkan di luar wilayah negaranya (extra-territorial dividend). Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (5).
Dengan demikian, fungsi dari ketentuan Pasal 10 ayat (5) OECD Model adalah untuk membatasi kekuasaan masing-masing negara untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang didistribusikan atau yang tidak didistribusikan pada perusahaan yang bukan merupakan subjek pajak dalam negeri negaranya, meskipun keuntungan tersebut diterima dari wilayahnya.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.