KEBIJAKAN PAJAK

Penerbitan SP2DK Tak Boleh Ganggu Usaha Wajib Pajak

Muhamad Wildan | Kamis, 09 Mei 2024 | 11:30 WIB
Penerbitan SP2DK Tak Boleh Ganggu Usaha Wajib Pajak

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Kegiatan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (P2DK) yang dilakukan oleh kantor pelayanan pajak (KPP) harus dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas.

Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan, efisiensi dan efektivitas P2DK turut menjadi pertimbangan agar kegiatan tersebut tidak meningkatkan biaya kepatuhan atau compliance cost wajib pajak.

"Penelitian kepatuhan material yang ditindaklanjuti dengan P2DK dilaksanakan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas agar tidak menambah beban kepatuhan wajib pajak dan tidak mengganggu kegiatan usahanya," bunyi SE-05/PJ/2022, dikutip pada Kamis (9/5/2024).

Baca Juga:
WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Perlu diketahui, P2DK adalah kegiatan meminta penjelasan kepada wajib pajak atas data yang sesudah dilakukan penelitian kepatuhan material menunjukkan indikasi ketidakpatuhan dan kewajiban pajak yang belum terpenuhi.

Kegiatan P2DK diawali dengan menerbitkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK). Surat ini diterbitkan oleh KPP melalui sistem informasi pengawasan dan ditandatangani oleh kepala KPP.

SP2DK bakal disampaikan kepada wajib pajak melalui faksimili, pos atau kurir, atau diserahkan langsung kepada wajib pajak. SP2DK disampaikan dalam waktu paling lama 3 hari kerja sejak tanggal penerbitan SP2DK.

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Setelah menerima SP2DK, wajib pajak berkesempatan memberikan penjelasan atas SP2DK dalam waktu maksimal 14 hari kalender sejak tanggal SP2DK, tanggal kirim SP2DK menggunakan pos atau kurir, atau tanggal penyerahan SP2DK secara langsung kepada wajib pajak.

Wajib pajak bisa memberikan penjelasan atas SP2DK secara tatap muka langsung, lewat media audiovisual, atau secara tertulis.

Penjelasan atas SP2DK secara tertulis bisa disampaikan wajib pajak melalui SPT, surat secara langsung ke KPP, atau memberikan penjelasan secara elektronik lewat akun DJP Online. Setiap penyampaian penjelasan oleh wajib pajak bakal dituangkan dalam berita acara.

Baca Juga:
Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Setelah menyampaikan SP2DK, KPP memulai penyusunan laporan hasil permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (LHP2DK). Laporan ini harus diselesaikan maksimal 60 hari kalender sejak tanggal penyampaian SP2DK.

Jika wajib pajak tidak memberikan penjelasan atas SP2DK, menyampaikan penjelasan yang tidak sesuai dengan hasil penelitian, atau tidak bersedia membetulkan SPT, LHP2DK akan merekomendasikan usulan pemeriksaan atas wajib pajak tersebut. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

12 Mei 2024 | 13:55 WIB

SP2DK itu kalau dari data kpp hanya ngasal doang. Mereka tidak menjelaskan darimana data tersebut berasal. KPP hanya selalu bilang data dari lapongan keuangan. Padahal KPP hanya mengarang indah angkanya. Sedangkan dari wajib pajak datanya harus sedetail mungkin. Setelah itu KPP Pratama tinggal cari2 masalah deh. Saya punya pengalaman dari SP2DK mereka bilang biaya iklan tidak boleh menjadi pengurang, harus dikorfis. Sesangkan saya tanya balik minta peraturannya, gag bisa menjelaskan. Sebenarnya KPP mau minta apa sih? Mau Minta duit? Seharusnya kalau KPP mau minta duit, tinggal terus terang aja kek. Saya Minta Duit Sekian. Kalau langsung ngomong begitu kan lebih baik. Daripada harus berkedok SP2DK.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja