Benny Oktis Yanurwenda
,ROBERT T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul Rich Dad Poor Dad menggambarkan perbedaan antara ayah miskin dan ayah kaya. Ayah miskin menghabiskan penghasilannya untuk kebutuhan konsumtif. Ayah kaya menggunakan penghasilannya untuk membeli aset produktif.
Dari perilaku ayah kaya, aset produktif akan ‘bekerja’ untuknya agar mencapai financial freedom. Meskipun bukan karya ilmiah, buku ini mengilustrasikan dengan baik perilaku kalangan high net worth individuals (HNWI).
Dengan literasi keuangan yang baik, kalangan HNWI menggunakan instrumen investasi berkualitas, seperti saham, obligasi, atau valuta asing. Tujuannya untuk memperoleh penghasilan pasif (passive income) yang dalam jangka panjang akan memupuk nilai akumulasi aset.
Apabila masyarakat Indonesia memiliki perilaku positif dalam berinvestasi sebagaimana gambaran tersebut, dalam jangka panjang, kelas pendapatan Indonesia diharapkan masuk ke dalam kelompok negara maju.
Hal tersebut dikarenakan selain penghasilan dari usaha atau pekerjaan, masing-masing penduduk memiliki passive income, seperti bunga, bagi hasil, capital gain, dan dividen. Secara nasional, hal ini akan meningkatkan nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal, pajak dapat berperan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam berinvestasi. Pada perspektif holistik, kebijakan pajak tersebut harus mampu menyeimbangkan dua kepentingan.
Kedua kepentingan yang dimaksud adalah mendorong masyarakat berinvestasi dan menjaga penerimaan pajak secara berkelanjutan. Oleh karena itu, perilaku masyarakat dalam berinvestasi perlu dipertimbangkan dengan saksama.
Mengacu pada penjelasan Kiyosaki sebelumnya, perilaku masyarakat dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, masyarakat yang baru berinvestasi atau memiliki proporsi investasi relatif kecil dibandingkan dengan seluruh asetnya. Kelompok ini belum menjadikan investasi sebagai kebutuhan.
Kedua, masyarakat yang mempunyai kepemilikan proporsi tinggi pada investasi dibandingkan dengan total aset. Kelompok masyarakat ini sudah memiliki kebiasaan untuk berinvestasi karena sudah memahami manfaatnya.
Kondisi adanya dua kelompok masyarakat itu perlu diperhatikan dalam menyusun desain kebijakan pajak. Idealnya, kebijakan pajak bisa menjadi faktor pendorong untuk menggerakkan kelompok pertama lebih giat berinvestasi.
Pada saat yang sama, pajak dapat menjadi sumber penerimaan yang andal dari kelompok masyarakat kedua karena mereka sudah tidak memerlukan insentif lagi untuk berinvestasi. Dengan perspektif ini, akan lebih baik jika pemajakan atas passive income menganut sistem progresif.
Apabila kita perhatikan pemajakan terhadap beberapa jenis passive income saat ini, sebagian merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang dikenakan pajak secara final. Sebagai contoh, bunga deposito dikenakan 20%, bunga obligasi dikenakan 10%, dan transaksi penjualan saham dikenakan 0,1% atau 0,5%. Hal ini dimaksudkan memberikan kesederhanaan dalam pemajakan.
Apabila diubah dengan sistem progresif, bukan berarti pemajakan atas passive income kehilangan sifat sederhananya. Teknologi dapat menjadi jawaban untuk menjaga kesederhanaan dalam pemajakan. Apalagi, ekosistem terkait dengan passive income juga lebih adaptif terhadap teknologi.
Bursa efek maupun perbankan sudah sangat maju dalam memanfaatkan teknologi pada setiap transaksinya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada saat ini juga terus mengembangkan pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem administrasi perpajakan.
Beberapa contoh administrasi perpajakan yang sudah memuat pemanfaatan teknologi adalah e-faktur, prepopulated SPT, e-bupot unifikasi, dan pengembangan coretax. Pada akhirnya, akan ada pula dukungan penggunaan teknologi dalam pemajakan passive income.
Tentu saja, apabila sistem pemajakan atas passive income bergeser dari final menjadi progresif, diperlukan juga dukungan dari sisi peraturan. Pemajakan progresif artinya pemungutan pajak akan berubah menjadi skema pemotongan PPh Pasal 23. Pemotongan PPh Pasal 23 perlu diatur tidak hanya berdasarkan pada tarif tunggal, tetapi juga mengadaptasi tarif progresif.
Pemanfaatan teknologi dalam administrasi juga perlu dibarengi dengan skema pengawasan yang kuat. Wajib pajak dengan kompetensi teknologi yang tinggi bisa saja memanfaatkannya untuk melakukan tax evasion.
Oleh karena itu, mekanisme pemeriksaan sebaiknya tidak terbatas dengan mengandalkan bukti-bukti material yang bersifat fisik. Otoritas perlu juga mengadopsi mekanisme pengawasan terhadap sistem teknologi yang digunakan wajib pajak.
Pada akhirnya, pemanfaatan teknologi dapat menjadi pilar dalam pemajakan terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi secara berkeadilan, khususnya terkait dengan passive income. Pajak juga dapat menjadi instrumen dalam mendorong perilaku gemar berinvestasi dari masyarakat.
Dengan demikian, sistem perpajakan Indonesia akan berkontribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus perolehan sumber penerimaan yang berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.