Ilustrasi. Gedung DJP.
SEKITAR akhir Desember 2014, muncul istilah DJP ‘Plus’ sebagai jalan tengah sementara penguatan kelembagaan otoritas pajak. Istilah itu muncul karena janji politik Presiden Jokowi tentang pemisahan Ditjen Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan belum dapat dieksekusi secara langsung.
Saat itu, Sofyan Djalil menjabat sebagai menko perekonomian. Adapun menteri keuangan saat itu adalah Bambang Brodjonegoro. Sementara menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (PAN-RB) pada saat itu dijabat oleh Yuddy Chrisnandi.
Dengan DJP ‘Plus’, setidaknya ada fleksibilitas pada 4 bidang. Keempatnya adalah organisasi, sumber daya manusia (SDM), remunerasi, dan anggaran. Selain itu, pemerintah juga memperkuat kerja sama DJP dengan penegak hukum lain serta memperluas kewenangan akses data perbankan.
Salah satu aspek yang sempat menyita perhatian publik kala itu adalah penguatan kelembagaan dengan penambahan 3 jabatan deputi dirjen pajak. Sempat mendapat penolakan dari menteri PAN-RB, akhirnya usulan menteri keuangan diterima tetapi dengan nomenklatur yang ada.
“Kita sepakati adanya 3 acting deputy. Kalau di nomenklatur namanya staf ahli tapi dalam praktiknya sebagai acting deputy membantu dirjen pajak," ujar Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi pada pertengahan Februari 2015.
Pada Maret 2015, Peraturan Presiden (Perpres) 28/2015 tentang Organisasi Kementerian Keuangan terbit. Perpres ini menjadi payung hukum penambahan 3 staf ahli menkeu tersebut. Selain itu, DJP diberikan keleluasaan mempunyai unit eselon II maksimal 19 unit di tingkat pusat.
Akhirnya, pada Juli 2015, 3 staf ahli resmi dilantik. Pertama, Staf Ahli Menkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Ken Dwijugiasteadi. Kedua, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo. Ketiga, Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Puspita Wulandari.
“Mengingat tugas berat dengan target tinggi maka untuk mencapai target itu dan kelola 32.000 pegawai pajak, kehadiran 3 deputi DJP diharapkan bisa mengoptimalkan DJP tahun ini dan tahun berikutnya,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro dalam pelantikan.
Kala itu, mereka mendapat mandat membantuk Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito. Adapun Sigit merupakan dirjen pajak pertama hasil dari seleksi terbuka di Kemenkeu. Dilantik pada Februari 2015, Sigit resmi mengundurkan diri per 1 Desember 2015. Ken Dwijugiasteadi menggantikannya.
Setelah itu, sosok yang menduduki jabatan dirjen pajak dan 3 staf ahli menkeu berganti beberapa kali. Hingga saat ini, ketika jabatan dirjen pajak diemban Suryo Utomo, 3 jabatan staf ahli menkeu tersebut masih dipertahankan.
Saat ini, ada Staf Ahli Menkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, serta Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti.
Dilantiknya ketiga staf ahli menkeu pada 2015 menjadi awal berjalannya penguatan kelembagaan lewat skema DJP ‘Plus’ sebelum pembentukan Badan Penerimaan Negara. Terlebih, pada tahun itu juga sudah terbitkan Perpres 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan DJP.
Jika melihat sejarahnya, adanya DJP ‘Plus’ – termasuk di dalamnya berupa penambahan 3 staf ahli menkeu – tidak dimaksudkan untuk ‘mengubur’ janji politik Presiden Jokowi untuk membentuk Badan Penerimaan Negara atau Badan Penerimaan Pajak.
Pemerintah melihat pembentukan Badan Penerimaan Negara harus dilakukan secara bertahap. Salah satu aspek yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah perubahan undang-undang (UU) sebagai payung hukum adanya nomenklatur baru.
“Mudah-mudahan waktu perubahan UU KUP tahun ini [2015], badan itu juga bisa ditentukan. Tergantung bagaimana kecepatan kita buat legislasi. Yang penting sekarang dirjen pajaknya kita perkuat dulu,” ungkap Menko Perekonomian Sofyan Djalil saat itu.
Apalagi, pada 2014, pemerintah membuat peta jalan pembentukan Badan Penerimaan Negara. Hal ini menjadi salah satu aksi dari 116 aksi penuntasan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Penyusunan peta jalan itu akhirnya dilanjutkan pada 2015.
Dalam draf revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang masuk Prolegnas 2016 sejatinya juga sudah mengakomodasi pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan. Nomenklatur baru sudah disodorkan.
Saat itu diperkenalkan istilah Lembaga untuk menggantikan Direktorat Jenderal Pajak. Lembaga didefinisikan sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan hal itu, direktur jenderal pajak juga diusulkan berubah nama menjadi kepala lembaga. Dalam Pasal 124 draf revisi UU KUP bahkan sudah diamanatkan bahwa lembaga mulai beroperasi secara efektif paling lambat tanggal 1 Januari 2017.
Sebelum Lembaga beroperasi secara efektif, tugas, fungsi, dan wewenang Lembaga dilaksanakan oleh DJP. Kemudian, terhitung mulai tanggal beroperasi Lembaga secara efektif, tugas, fungsi, dan wewenang Lembaga yang dilaksanakan oleh DJP beralih kepada Lembaga.
Lalu, semua kekayaan negara yang dikelola, diadministrasikan, dan/atau digunakan oleh DJP dialihkan statusnya kepada Lembaga. Semua dokumen negara yang diadministrasikan, dimiliki, dan/atau digunakan oleh DJP dialihkan kepada Lembaga. Semua aparatur sipil negara DJP dialihkan sebagai pegawai pada Lembaga.
Namun demikian, agenda revisi UU KUP itu seakan lenyap. Pada saat itu, pemerintah dan DPR mendahulukan agenda amnesti pajak yang digadang-gadang menjadi transisi sebelum ‘era baru’ adanya transparansi pajak.
Pascaimplementasi tax amnesty, wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara seakan menghilang perlahan. Pada 2016 akhir dan periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi menunjuk Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan.
Sekarang, setelah lebih dari 8 tahun setelah 2015, agenda pembentukan Badan Penerimaan Negara belum dieksekusi. Omnibus law UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)—yang juga merevisi UU KUP—juga tidak mengakomodasi agenda tersebut.
Sekarang, agenda pembentukan Badan Penerimaan Negara itu diambil alih presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Melihat sejarahnya, DJP ‘Plus’ menjadi kondisi yang dipersiapkan sebagai upaya transisi. Pertanyaannya, apakah Prabowo-Gibran akan merealisasikan janji politik mereka? Kita lihat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.