PEMERINTAH telah meluncurkan skema baru pendanaan proyek pembangunan infrastruktur yakni Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA), misalnya dengan dana pensiun, asuransi jiwa, atau dana jangka panjang lainnya.
Sampai dengan tahun 2015, jumlah peserta Dana Pensiun sebanyak 238 terdiri atas 214 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 24 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dengan total asset dana pensiun sebesar Rp258,9 triliun.
Untuk meningkatkan asetnya, maka dana pensiun masih terus berkembang dan melakukan diversifikasi produk, salah satunya dengan Program Pensiun untuk Kompensasi Pesangon (PPUKP). Pada periode tersebut, kontribusi PPUKP mencapai 25,12% dari total aset. Program ini ditargetkan dapat mengumpulkan dana kelolaan sebesar Rp 150 triliun di tahun 2020.
Akan tetapi, terjadi penghentian pemasaran program tersebut akibat permasalahan besaran pajak yang dikenakan terhadap produk tersebut setelah terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2017.
Peraturan ini secara umum mengatur iuran dan manfaat pensiun pada sejumlah program pensiun dan hadirnya sejumlah opsi manfaat baru yang dapat dijalankan penyelenggara Dana Pensiun. Saat ini, penyelenggara DPLK memasarkan PPUKP dengan menekankan bahwa uang pesangon hanya akan dikenakan pajak final sebesar 5%, berupa uang manfaat pensiun.
Akan tetapi, pada hakikatnya PPUKP merupakan dana pesangon yang didefinisikan sebagai salah satu dari jenis manfaat lain, di luar program pensiun. Karena didefinisikan sebagai uang pesangon, maka PPUKP seharusnya menjadi objek pajak progresif yaitu sesuai tarif PPh 21 atas penghasilan berupa uang pesangon.
Peraturan Terkait
REGULASI tentang Dana Pensiun diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 yang membagi menjadi DPPK dan DPLK. Perbedaannya terletak pada pada penyelenggara dan jenis iuran yang disetorkan. Program pensiun sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) dan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP).
Terkait dengan hak pensiun pegawai di Indonesia, diatur dalam pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk mengikutsertakan pekerja atau buruh pada program pensiun untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak. Salah satunya dengan membayar imbalan pascakerja baik berupa pensiun atau imbalan pascakerja lain bagi pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena memiliki tujuan yang sangat mulia, maka perlu diberikan insentif pajak. Gruber (2015) menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki tabungan yang tidak cukup untuk masa pensiun seharusnya memperoleh alternatif subsidi pajak untuk tabungan pensiun, yaitu iuran dana pensiun yang dapat diakui sebagai pengurang pajak, akumulasi penghasilan pada tingkat pengembalian sebelum dikenakan pajak atau penarik dana pensiun dengan tarif pajak yang lebih rendah. Subsidi pajak ini dapat meningkatkan tingkat pengembalian rekening tabungan pensiun.
Perlakuan Pajak Dana Pensiun
PERLAKUAN pajak atas dana pensiun diatur dalam pasal 1 angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010. Uang Pesangon didefinisikan dengan penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Sedangkan pengertian, uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Perbedaan definisi tersebut berakibat pada perbedaan perlakuan pajak terhadap dua penghasilan yang berbeda, yaitu Uang Pesangon dan Uang Manfaat Pensiun. Uang pesangon dikenakan tarif berdasarkan UU PPh Pasal 17 yang mengenakan secara berjenjang sesuai besaran penghasilan yang diterima yaitu mulai 5% sampai dengan 25%. Sedangkan peghasilan berupa uang Manfaat pensiun dikenakan pajak final sebesar 5% untuk penghasilan bruto lebih dari Rp 50 juta.
Melihat adanya fenomena penghentian pemasaran PPUKP akibat masalah besaran pajak yang dikenakan pada program tersebut, Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas pengelola Dana Pensiun perlu menerbitkan aturan yang jelas mengenai produk DPLK. Hal ini bertujuan agar perlakuan perpajakannya pun menjadi jelas. Disamping itu, perlu ditambah dengan insentif pajak sebagaimana dimaksud dalam penelitian Gruber (2015).*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.